| k e p i n g e m p a t |

1.8K 275 21
                                    

Martin sudah tidak sabar ingin mendengar jawaban Melisa soal permintaannya tiga hari lalu. Ia hampir yakin seratus persen kalau cewek yang menjadi ratu di sekolahnya itu akan menuruti permintaannya. Melisa pasti tidak ingin nama baiknya rusak begitu saja.

Awalnya, Martin kembali ke Bandung untuk mencari salah satu teman masa kecilnya yang pernah ia tinggal waktu bermain sepuluh tahun lalu. Ia merasa bersalah dan sangat ingin menemukan anak perempuan itu. Namun, ia lupa siapa nama anak perempuan yang dicarinya.

Cowok itu berbelok ke kelas 11 MIPA 2 dan menunggu di depan pintu sampai guru pelajaran yang masih menjelaskan di depan. Senyum Martin muncul ketika tanpa sengaja Melisa melihat ke arahnya dan melengos, membuang wajah ke arah yang berlawanan.

Bel pulang pun berbunyi, suara hentak sepatu ke lantai terdengar. Setelah guru yang mengajar di kelas Melisa keluar, Martin langsung masuk ke dalam dan berdiri tepat di depan meja Melisa.

Ia tidak paham kenapa begitu menyenangkan membuat cewek di hadapannya ini kesal. Ia juga tidak mengerti kenapa  bicara dengan cewek itu terasa menyenangkan sekaligus lucu. Martin merasa sudah mengenal Melisa cukup lama, dan hal itu sedikit membingungkan.

"Apa?" tanya Melisa galak.

"Jawaban lo?" balas Martin dengan seringai lebar. "Waktu yang gue kasih ke lo udah habis, udah lewat dari tiga hari. Berarti lo tau kan, kalo lo harus ngasih jawabab?"

Cewek itu berdiri, menyampirkan tasnya di bahu. "Harusnya lo udah tau jawabannya," jawab Melisa. "Gue yakin lo tau, senyum lo tuh penuh kemenangan banget."

Martin menepuk dadanya, berlagak jagoan. "Gue emang tau, gue cuma mau mastiin dan denger langsung dari lo."

Melisa memutar bola matanya, sangat kesal. "Ya, gue terima tawaran lo."

"Bagus," Martin mengacungkan jempol. "Rahasia lo bakal aman sama gue, jadi posisi gue apa di tim jurnalistik lo?"

Sambil berjalan cepat, Melisa menjawab, "Wakil gue. Gue bakal terus awasin lo. Sekali aja lo bikin kesalahan, gue bakal depak lo. Dan satu lagi, gue minta bukti rekaman videonya dikasih ke gue."

"Nggak bisa," jawab cowok yang sekarang mempercepat langkahnya agar bisa berjalan di samping cewek itu, "perjanjian kita nggak ada soal serah-menyerahkan rekaman."

"Terus dari mana gue bisa tau kalo lo nggak bohong, hm?" tanya Melisa dengan pandangan tajam.

"Lo cuma perlu percaya sama gue," jawab Martin.

Langkah Melisa terhenti mendadakan dan ingatannya berputar jelas. Kalimat itu, ia sangat mengenalnya. Kalimat yang pernah keluar dari seseorang yang begitu ia percaya, tapi malah mengkhianatinya.

"Mel, are you okay?"

Mata Melisa beberapa kali berkedip, pertanyaan Martin semakin menenggelamkannya dalam kenangan masa lalu. Apalagi cowok itu menyentuh bahunya sambil sedikit menunduk, memastikan kalau Melisa baik-baik saja.

"Mel?" panggil Martin lagi saat ia melihat tubuh Melisa gemetar, cewek itu tampak aneh di hadapannya. "Lo baik-baik aja?"

"Mal?" desis Melisa pelan, sangat pelan.

Kening Martin berkerut. Ia tidak mendengar dengan jelas ucapan cewek di hadapannya ini. "Apa, Mel?"

Tubuh Melisa tersentak, ia langsung menepis tangan Martin dari bahunya. "Gue tunggu lo di basecamp jurnalistik 10 menit lagi. Lo tau tempatnya, kan?"

Martin mengangguk, kemudian Melisa meninggalkan cowok itu dengan langkah yang besar. "Lo nggak apa—"

Perkataan Martin terhenti karena cewek itu sudah begitu jauh, bahkan setengah berlari. Ia tidak mengerti apa yang terjadi dengan Melisa, cewek itu tampak berbeda dibanding biasanya. Dia terlihat lebih rapuh, dan pandangannya kosong, seperti kehilangan.

a Puzzling of Journalism [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang