| k e p i n g s a t u |

3.3K 362 22
                                    

"Gue udah bilang, kan, kolom kirim salam itu nggak guna?" tanya seorang cewek dengan rambut panjang kecokelatan dan poni menutupi dahinya kesal. "Sekarang kalo udah gini gimana? Nggak mungkin kita nggak nyampein salamnya, tapi gue juga nggak mau ada receh romansa di majalah sekolah kita."

Cewek berkepang dua di depannya menunduk. "Majalah kita terlalu serius, Mel. Gue pikir kita butuh yang sedikit receh kayak gini."

"Dari awal gue megang jabatan sebagai ketua eskul jurnalistik, gue udah bilang sama kalian kalo gue mau majalah kita nggak receh, tapi berbobot," jawab cewek itu sambil melipat tangan di dada.

"Masa sekolah nggak cuma buat hal serius, Melisa Herdita," sahut seorang cowok berambut gondrong dan bermata sayu sedikit kesal. "Majalah lo boleh kritis, tapi juga harus fun."

Melisa berdecak kesal, ia mengetuk meja dengan jari. "Buat kali ini, gue bakal kasih acc kolom salam-salaman itu. Bulan depan, gue harap kolom itu hilang, cari topik lain."

"Bulan depan kan persiapan pemilihan ketua OSIS," jawab cowok bernama Hangga dengan senyum lebar. "Puas-puasin deh lo bahas hal kritis."

"Oh iya," sahut cewek berkepang dua yang bernama Andin. "Gue denger ada empat calon ketua OSIS, bisa dibabat tuh, Mel."

Melisa tersenyum miring, ia menjentikkan jari. "Ya udah, deal. Sekarang gue mau ngebabat yang lain dulu. Rapat gue tutup, ya."

Setelah mengatakan itu, cewek berponi yang duduk di kursi utama redaksi majalah sekolah itu pun mengambil tasnya dan berjalan keluar. Ia menarik Andin yang baru saja selesai memasukkan pensil ke dalam tas.

"Mau babat siapa lo?" tanya Andin curiga.

Melisa tidak menjawab, ia terus menarik temannya itu ke lorong kelas 10. Andin memutar bola matanya, sedikit kesal dan sudah menebak akan ke mana Melisa membawanya.

Sepanjang lorong, banyak anak laki-laki yang memandangi Andin dan Melisa, lebih tepatnya ke arah Melisa yang merupakan ratu di sekolah itu. Rambut panjang kecokelatannya bergoyang lembut mengikuti angin. Mata bulat dengan bibir penuh menjadi hal utama yang membuat Melisa disebut sebagai ratu sekolah.

"Ini kelas cewek itu," kata Melisa begitu sampai di sebuah kelas bertuliskan 10 MIPA 2. "Gue masih nggak terima."

Andin menggelengkan kepala. "Nggak terima karena apa?"

"Nggak terima karena kalah," jawabnya yakin. "Gue nggak suka siapa pun ngalahin gue. Apalagi anak baru yang masih nggak tau apa-apa."

"Kenyataannya, lo itu nggak lolos seleksi, Mel. Mau gimana lagi?"

Melisa memutar bola matanya kesal. "Nggak perlu lo ingetin juga kali ya, kalo gue nggak lolos seleksi, Ndin. Lagian, gue nggak lolos seleksi itu karena dia."

Andin mengikuti pandangan Melisa yang tertuju pada seorang cewek berbadan besar yang sedang memainkan ponsel. Cewek itu tampak seperti anak baik-baik, ia hanya sibuk dengan dirinya saja.

"Gue mau kasih pelajaran ke anak itu," ucap Melisa tiba-tiba. "Lo harus bantuin gue."

Andin menggeleng. "Jangan sangkut pautin gue sama urusan nggak penting ini. Lo harus terima kekalahan lo, Mel."

Mendengar itu, Melisa mengerucutkan bibir sambil berjalan meninggalkan Andin. "Nggak perlu bawa-bawa kekalahan gue, Ndin. Intinya tuh anak kelas satu harus dikasih pelajaran."

"Mel, bisa nggak sih, lo nggak ngelakuin hal yang berisiko kayak gjni?" tanya Andin yang berjalan di belakang cewek itu kesal. Ia tidak menyangka kalau teman sekelasnya sejak kelas satu ini bisa berbuat sedemikian menyebalkan.

a Puzzling of Journalism [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang