| k e p i n g d u a p u l u h |

2K 194 49
                                    

Ibu Dede menggeleng. "Biar Ibu dulu yang lihat, kamu sana dulu," perintahnya tegas. Metha pun beringsut menjauh, meninggalkan ibunya yang terus mengamati wajah Melisa

Martin menggoyangkan kaki dengan tempo cepat. Harapannya melambung, tapi bisa saja terhempas dengan begitu kejam.

"Kayaknya sih Ibu yakin anak ini ...."

Mata Martin terbuka lebar. "Benar yang ini anaknya Bu?" tanyanya dengan tidak sabar. Ia seperti menemukan sebuah kepingan yang hilang.

Ibu Dede mengembalikan ponsel milik Martin pada sang empunya. Ia mengangguk yakin. "Iya, anak perempuan ini kayaknya memang Dita. Siapa namanya?"

Seperti ada yang melesat di dada Martin, perasaan lega yang menenangkan. "Melisa, Melisa Herdita."

Sontak, Ibu Dede tertawa keras lalu menepuk bahu cowok di hadapannya itu. "Ya kasep kumaha atuh? Namina oge geus nyerminkeun Dita. Aya Dita-Ditana di namina eta neng geulis."

Martin menepuk keningnya dengan kesal. Benar yang dikatakan ibu Dede. Nama Melisa dan Dita memiliki satu kesatuan dan kenapa baru sekarang cowok itu menyadarinya? Ia terlalu sibuk mencari, mempercayai insting dan nalurinya, tapi tidak memperkirakan hal yang sudah ia percaya sejak awal.

Ia meringis ketika kembali mengingat bahwa nama teman masa kecil Melisa yang selalu Melisa ingat adalah 'Mal', yang seharusnya jika ia tidak salah duga adalah bentuk cadel dari 'Mar' atau Martin.

Martin tertawa pelan, ia lalu berpamitan pada Ibu Dede dan Metha, lalu segera menancapkan gas pada motornya. Setelah mengetahui fakta bahwa teman kecilnya memang adalah Melisa, Martin kini tahu ada hal lain yang sangat serius: Median.

Cowok bertubuh tegap itu tampak aneh karena berusaha mengambil posisinya di hadapan Melisa dan menjadi teman masa kecil Melisa yang hilang. Apa yang sebenarnya direncanakan Median?

✩ ✩ ✩

Mata bulat Melisa semakin membulat ketika ia menyadari ke mana Median membawanya. Sebuah tempat yang asri, tapi tidak menyenangkan. Pandangan cewek itu menyeluruh, menyapu sebuah bangunan di hadapannya.

"Turun yuk," kata Median menyadarkan Melisa dari lamunannya.

Cewek itu melepas sabuk pengaman yang tadi masih melingkari tubuhnya. Ia memandang Median ragu, lalu membuka mulut. "Kita mau ngapain ke sini?" tanyanya pelan, Melisa sedikit tidak nyaman dengan bangunan ini.

Median tersenyum, meremas tangan Melisa pelan, lalu menepuk punggung tangan cewek itu beberapa kali. "Gue mau nemuin seseorang di sini. Setelah gue ketemu orang itu, baru kita pergi ke tempat lain. Gimana?"

"Nemuin seseorang di sini?" ulang Melisa sedikit tidak percaya. Namun, cewek itu tetap merapikan rambutnya dan turun dari mobil. Ia terus memandangi bangunan putih tinggi di hadapannya yang dikelilingi oleh taman.

"Ayo masuk," kata Median, ia menggandeng lengan Melisa. "Gue mau nemuin bokap gue dulu di sini."

Tubuh Melisa menegang mendengar ucapan Median. "B—bokap lo?"

Median mengangguk. "Nggak usah takut. Bokap gue nggak agresif kok. Beliau udah tenang dan masih menjalani perawatan di sini."

"B—bukan gitu," Melisa terbata, "gue cuma kaget karena ...."

"Nggak masalah. Gue cuma pengin ketemu bokap sebentar, sebelum gue ngelakuin sesuatu," jawab Median, senyumnya tampak samar, ada hal aneh di dalam senyumnya itu yang entah kenapa membuat Melisa bergidik.

a Puzzling of Journalism [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang