| k e p i n g t u j u h b e l a s |

1.2K 204 8
                                    

Lagi, Melisa melihat sendiri bukti bahwa Davia memang benar-benar tulus. Cewek itu mengecek jam di tangannya, kemudian berpamitan pada Davia. "Gue harus ngecek majalah di ruang jurnalistik, gue balik dulu ya, Dav. Have fun belajarnya."

Kemudian cewek itu pun berjalan meninggalkan Davia dengan perasaan yang ringan. Namun, langkahnya terhenti ketika seseorang memblokir jalannya menuju luar perpustakaan. Melisa mengangkat wajahnya.

"D—Devan?"

"Kenapa lo kayak ngeliat hantu gitu, Mel?" tanya Devan bingung. "Gue nggak bakal ngapa-ngapain juga, kok."

Melisa tersenyum kecil. "Nggak apa-apa, cuma kaget aja kenapa lo bisa ada di sini."

"Bukannya lo udah tau ya kalo gue bakal belajar bareng sama Davia di sini? Tadi kan lo ngobrol sama Davia," sahut Devan.

"Eh, iya," Melisa kembali kehilangan kata-kata. "Gue emang abis ngobrol sama Davia, tapi tenang aja. Gue nggak ngapa-ngapain dia, kok. Dia aman banget sama gue, lo nggak perlu khawatir. Tadi itu gue cuma minta maaf sama dia, dan bener kata lo, dia itu lebih segala-galanya dari gue. Dan gue paham kenapa akhirnya Bu Eka milih dia buat satu tim sama lo, bukan gue."

"Lo minta maaf?"

Melisa mengangguk.

"Beneran minta maaf?"

Sebuah anggukan lagi dan Devan tertawa. "Akhirnya lo minta maaf juga dan itu kemajuan besar."

"Iya, makasih ya Dev," kata Melisa pelan. "Gue cabut dulu, soalnya ada sesuatu yang harus diurus. Bye, Devan."

Devan menggeser tubuhnya agar Melisa bisa lewat, ia pun tersenyum melihat cewek itu. "Mel, kemajuan pesat juga buat majalah sekolah. Pertahanin ya."

Setelah mengatakan itu, Devan langsung menghilang dan membiarkan Melisa merasa senang tidak terkira. Dadanya penuh dengan bunga-bunga dan perutnya mual yang tidak menyenangkan.

Langkah Melisa semakin ringan menuju ruang jurnalistik. Ia masih harus memastikan beberapa surat dan kotak saran yang sejak tadi pagi sudah diisi oleh murid SMA Bhakti Tara. Setelah sampai di ruang jurnalistik, cewek itu masuk dan mengambil tumpukan surat saran dan kembali duduk di mejanya.

Melisa membiarkan pintu ruangan terbuka, karena ini adalah jam pulang sekolah dan ia sedang sendirian karena Hangga dan Andin harus segera pulang hari ini. Sementara Martin? Entahlah, dia belum melihat penampakan cowok itu lagi hari ini.

Melisa terlalu larut dalam membaca berbagai surat yang masuk. Ia begitu bahagia karena banyak ucapan positif untuk tim jurnalistiknya sehingga tidak sadar ketika pintu ruangan tiba-tiba tertutup.

Namun, tidak lama kemudian, Melisa merasa ruangan itu terlalu hening sehinga ia melihat jam di ponselnya. Ternyata masih menunjukkan pukul empat sore. Ia menoleh ke arah pintu dan menemukan bahwa pintu di ruangan itu telah tertutup.

Intuisi Melisa menajam, ia sangat yakin bahwa pintu ruangan itu tadi sengaja ia buka. Melisa berjalan pelan ke arah pintu, lalu menekan knop pintu dan berusaha membukanya.

Terkunci.

Melisa mulai panik. Ia mencoba berulang kali, dan tidak menghasilkan apa pun. Pintu itu tidak mau terbuka sama sekali. Sebuah kertas masuk dari selipan pintu, tangan Melisa yang bergetar mengambil kertas itu dan membukanya.

De javu?

Semua huruf itu tidak ditulis tangan, melainkan huruf yang tercetak dalam majalah dan dipotong sesuai dengan huruf yang dibutuhkan. Tubuh Melisa semakin bergetar, ia menjatuhkan kertasnya ke lantai lalu berlari ke arah meja yang berisi tasnya.

a Puzzling of Journalism [END]Where stories live. Discover now