| k e p i n g e m p a t b e l a s |

1.3K 210 5
                                    

Deni mengangguk. "Iya, keluarganya Median itu jago nutup mulut, bahkan soal bokapnya Median yang dirawat di rumH sakit jiwa aja mereka tutup rapi-rapi."

"Bokapnya Median, dirawat di rumah sakit jiwa?"

"Iya," jawab Darko. "Kan tadi gue bilang kalo bokapnya gila. Lo nggak nyimak, ya?"

"Kenapa?" tanya Melisa dengan suara yang sangat pelan, seolah bertanya pada dirinya sendiri. Ia tidak percaya kalau Median menjalani hidup yang lebih berat darinya.

"Mel, lo nggak apa-apa?" panggil Martin menarik kembali Melisa dari dunianya sendiri yang tenang. Melisa mengerjapkan mata beberapa kali, kemudian menggeleng.

Namun, pikiran Melisa tidak lagi di sana. Melisa terus memikirkan kemungkinan hidup yang dialami Median. Selama ini Melisa selalu mengutuk Median yang meninggalkannya di taman waktu itu. Ia selalu berharap Median menjalani hidup yang menyakitkan. Anehnya, ketika Melisa mendengar kemungkinan itu, ia malah merasa ... simpati.

Martin terus bicara pada Deni dan Darko, mencari informasi lain, tapi nyatanya tidak ada. Akhirnya Martin memutuskan untuk pulang dan meninggalkan Taruna Bhakti.

Cowok itu menarik Melisa agar mengikutinya berjalan. Ia tidak mengerti kenapa Melisa seperti mayat hidup sejak mendengar apa yang Median alami tadi. Bahkan ketika keduanya telah duduk di motor dan akan berangkat pun, Melisa tidak juga mengeluarkan suaranya.

"Mel," panggil Martin.

Tidak ada jawaban.

"Mel, lo kenapa?" tanya Martin. Ia menghentikan motornya di sebuah halte dan menoleh untuk melihat wajah Melisa. Tatapan cewek itu kosong, tidak ada kehidupan di sana. Pelan, Martin menggoyangkan tangan di depan wajah Melisa. "Mel?"

Melisa terkejut, ia mengerjapkan mata beberapa kali, lalu tersenyum ke arah Martin. "Kenapa Mart?"

"Bukannya lo yang kenapa, ya? Dari tadi gue panggilin lo, tapi lo nggak jawab. Lo kenapa? Aneh banget dari abis ngobrol sama temen gue."

Cewek itu menggigit bibirnya. "Gimana, ya," katanya ragu, "gue cuma mendadak kepikiran Median."

"Kepikiran apa?"

"Selama ini gue benci banget sama dia," kata Melisa. "Bukan yang benci gimana, gue cuma mengutuk dia karena bikin gue ada di posisi gini. Dia bikin gue takut dan trauma sama hujan, dia bikin gue kecewa dengan ninggalin gue. Dia ngilangin rasa percaya gue ke orang lain.

"Rasanya, tiap gue ingat dia, gue cuma mau dia ngejalanin sesuatu yang lebih buruk dari pada sekadar ketakutan dan sesak napas waktu hujan turun," kata Melisa lagi, ia memandang langit yang semakin gelap. "Tapi setelah gue denger kata-kata temen lo tadi Mart, gue malah jadi kasihan sama Median."

"Karena bokapnya ternyata sakit?"

Melisa mengangguk. "Salah satunya. Dan ya dia ngejalanin hidup yang berat."

Martin memandang Melisa dengan bingung. Cewek di hadapannya ini benar-benar tidak bisa ditebak. Seperti dua sisi mata koin, meskipun bersisian, tapi memiliki kisah yang berbeda di setiap sisinya.

"Terus? Kenapa lo jadi ngelamun? Lo kan nggak bertanggung jawab atas apa yang dia alamin," kata Martin lagi.

"Bukannya setiap ucapan itu doa?" tanya Melisa balik. "Dan gue sering ngucap gimana gue pengin hidup dia lebih nyeremin dari gue."

Tepat setelah Melisa mengatakan itu, hujan turun perlahan. Melisa tampak ketakutan, membuat Martin juga waspada. Ia menarik tubuh Melisa dari motor dan membawanya ke halte untuk berteduh.

a Puzzling of Journalism [END]Where stories live. Discover now