| k e p i n g t u j u h |

1.5K 243 15
                                    

Martin mundur, dan berusaha melihat siluet orang yang sedang menghampirinya ini. Ia yakin orang itu berambut panjang, dengan langkah besar, memakai celana pendek selutut dan baju bertangan pendek. Jantungnya berdegup dengan sangat cepat ketika suara kunci pagar perlahan dibuka.

Klik.

Pandangan Martin langsung terpaku pada sosok yang membukakannya pagar. Ia berdiri dan menatap Martin bingung. "Maaf, cari siapa?"

"Cari, emm cari," jawab Martin terbata, ia kehilangan kata-kata begitu melihat sosok yang membukakannya pintu. Ia tidak tahu akan berkata atau menjawab apa, bahkan ia tidak mengingat nama anak perempuan itu.

Cewek di hadapannya memperhatikan dengan tatapan aneh. "Cari siapa? Mungkin gue bisa bantu," katanya berusaha mempertanyakan hal yang sama lagi.

Martin menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Gue lupa namanya."

Pandangan ramah cewek yang membukakan pintu pagar itu langsung berubah aneh. Ia memandang Martin dengan tatapan aneh sekaligus curiga. "Jadi tujuan lo dateng ke sinj sebenernya apa?"

Lagi, Martin menggaruk kepalanya dan berulang kali mengusap tengkuk belakangnya. "Gue nyari orang, tapi gue nggak tau namanya."

"Jadi?"

"Oke, gue dulu punya temen kecil, dan dia katanya tinggal di sini. Mungkin sekitar sepuluh tahun lalu? Gue pindah ke Jakarta dan nggak ngabarin dia sama sekali, tapi waktu itu gue beneran nggak bisa nolak keinginan orang tua gue buat pindah. Gue masih umur enam tahun waktu itu dan—"

"Dita?" kata cewek itu sambil mengangkat salah satu alisnya.

"Siapa?" tanya Martin dengan bingung. Ia merasa asing dengan nama yang disebutkan oleh cewek di hadapannya ini.

Cewek itu mengangkat bahu. "Dita, mungkin cewek yang lo cari namanya Dita."

"Dita?" kata Martin mengulang nama itu. "Dita?"

"Iya. Dulu emang ada yang tinggal di rumah ini, anak kecil seumur gue. Namanya Dita, dia tinggal bareng sama nenek dan papa mamanya, tapi delapan tahun lalu mereka pindah dan ngejual rumah ini ke orang tua gue," jawab cewek itu cepat. "Omong-omong, nama gue Metha."

Martin menyambut uluran tangan Metha dengan bingung. "Jadi nama cewek yang gue cari itu Dita? Dan sekarang dia udah pindah?"

Metha mengangguk.

"Kenapa dia pindah?"

"Orang tuanya meninggal di kecelakaan mobil, dia jadi diurus sama neneknya dan neneknya mutusin buat jual rumah itu terus pindah ke pusat kota," jawab Metha cepat. "Lo nyariin dia, tapi nggak tau namanya?"

Sedikit malu, Martin mengangguk. "Gue emang pelupa banget, apalagi dari kecil gue seneng main sama banyak orang dan nggak pernah bener-bener hafal nama mereka."

Metha mengangguk. "Lo mau masuk dulu?"

"Gue," Martin merasa ragu untuk menjawabnya. "Gue pengin nyari di mana Dita, lo bisa ngasih gue petunjuk, nggak?"

Metha tersenyum. "Bentar, gue bakal nanya sama nyokap gue, siapa tau nyokap punya alamat barunya keluarga Dita. Lo yakin nggak mau masuk dulu?"

Martin menggeleng, ia merasa sungkan. Metha pun mengangguk lalu berjalan ke dalam rumah. Begitu bayangan Metha hilang, Martin bersandar pada pagar dan memejamkan mata. Harapannya langsung musnah saat itu juga.

Padahal ia sudah membayangkan akan bertemu dengan teman masa kecilnya itu. Namun, takdir mengatakan hal lain. Bukan sekarang ia bisa bertemu dengannya.

a Puzzling of Journalism [END]Where stories live. Discover now