| k e p i n g t i g a b e l a s |

1.2K 219 7
                                    

"Kalo gue bisa tetep objektif meskipun ngegebet Deska sekarang, gimana? Boleh kan?"

Mata bulat Melisa langsung memandang Martin dengan pandangan mematikan. "Lo tuh ya!"

"Apa? Gue kenapa? Apa yang salah sama pertanyaan gue?"

"Lo tuh super duper ngeselin ya, Martin?" jawab Melisa. "Gue nggak ada masalah lo mau sama Deska kek, siapa kek. Yang gue perlu itu informasi objektif. Dan kalo lo emang mau ngegebet Deska, itu urusan pribadi lo."

Setelah mengatakan itu, Melisa kembali mengetik dengan lebih tenang. Martin tidak menjawab, ia membiarkan cewek itu melanjutkan kegiatannya sekarang. Ia tahu persis di mana batasan berhenti meledek atau pun membercandai Melisa.

Bel pulang berbunyi, dan dalam lima belas menit berikutnya tim empat sudah berada di dalam ruang tim jurnalistik dengan wajah lesu. Melisa menyelesaikan artikelnya dengan cepat, lalu berpangku tangan menunggu laporan.

"Jadi ... gimana? Kenapa kalian nggak semangat gitu?" tanya Melisa memperhatikan wajah semua anggota tim satu per satu. "Ada masalah?"

Andin menaruh kepalanya di meja. "Bukan masalah lagi, Mel. Ini namanya bencana."

"Iya, bencana buat tim empat," lanjut Tari.

Melisa menahan tawa melihat kefrustrasian teman-temannya. "Ada apa emang?"

"Dia ini misterius banget," jawab Vernand. "Kita sama sekali nggak bisa nemuin apa pun tentang dia. Yang kita dapet cuma akun Instagram punya dia dan keterangan kalo dia ini pindahan dari SMA Taruna Bhakti."

"Dan kalo dia sepupuan sama gebetannya si Bobby," lanjut Fasya sambil menyikut Bobby yang duduk di sebelahnya sambil tersenyum lebar.

"Brenda gebetan lo, Bob?" tanya Melisa tidak percaya. "Disengaja apa ngga disengaja?"

"Nggak disengaja lah, Kak," jawab Bobby cepat. "Gue deket sama dia udah beberapa bulan ini. Anaknya seru aja gitu kalo gue ajakin ngobrol. Cuma ya rada males sama lingkungan sini karena sebenernya dia nggak mau masuk sini."

"Kenapa?"

"Katanya ...," Bobby menepuk keningnya, berusaha mengingat, "oh katanya dia harus jagain kakaknya yang sekolah di sini. Kakaknya itu ada sedikit gangguan kecemasan gitu atau apa ya, gue lupa."

"Gangguan kecemasan?" ulang Melisa berkali-kali. Ia mengeluarkan ponsel dan menarikan jarinya di layar besar itu. "Bipolar?"

Cepat, Bobby langsung menggeleng sambil melambaikan tangannya menolak. "Nggak, bukan bipolar. Kayaknya cuma suka panic attack gitu deh."

"Kakaknya Brenda siapa, lo tau nggak?"

Bobby menggeleng lagi. "Dia nggak mau sebut namanya, tapi setelah disatuin sama penelitian yang lain, udah jelas kan, kakaknya itu si Median?"

"Berarti Median punya gangguan kecemasan?" putus Andin. "Kalo iya, gila sih dia jago banget nutupinnya. Gue sama sekali nggak ngeliat tanda-tanda gitu dari Median."

Tari mengangkat bahu. "Mungkin?"

"Masalahnya kenapa Median yang katanya punya gangguan kecemasan itu milih untuk pindah ke sini?" ulang Martin lagi, memecah keheningan. "Coba kalian pikir, apa yang kira-kira bikin seseorang pindah sekolah?"

Melisa memandang Martin. "Gue nggak bakal pindah sekolah, sih. Ribet. Kecuali kalo gue akhirnya bisa nemuin temen kecil gue yang hilang."

"Temen kecil?" ulang Andin. "Maksudnya?"

Martin terkekeh. "Median bilang sama Melisa kalo dia itu temen kecilnya Melisa yang dulu pernah ninggalin Melisa buat pindah rumah tanpa alasan gitu."

a Puzzling of Journalism [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang