01

211 30 4
                                    

Dering ponselku menyala melantunkan sebuah melodi pertanda seseorang menghubungi. Terlihat sebuah nama tertera pada layar, aku menghela nafas lelah karena dia menghubungiku lagi.

Aku menutup sebuah novel yang kubaca tadi dengan kasar. Ahh seperti biasanya aku akan menjalani hari-hari yang membosankan agar bisa menjadi anak yang sempurna.

"Apa?"

Hahh seharusnya aku memilih tidak mengangkat panggilan ini, sudah pasti dia akan menekan dan terus mendorongku pada jurang kesengsaraan.

"Baiklah, aku mengerti."

Yahh pada akhirnya akan tiba waktu dimana aku harus kembali ke sana.

Jadi persiapkan dirimu sebaik mungkin  Park Jiyeon, pastikan menghilangnya dirimu selama tiga tahun adalah sebuah perkembangan untuk dia dan mereka.

"Ohh Jiyeon! What are you doing here? Kita bisa telat jika kau masih santai begitu."

Setidaknya aku masih memiliki satu orang teman, ya itu lebih baik dari pada sendirian di negara orang.

"Kang Daniel? Kenapa kau bisa berada di kamarku? What are you doing here? Seharusnya aku yang bertanya pertanyaan itu."

"Ayolah Ji aku berbaik hati untuk menjemput mu, tapi kau malah tidak perduli akan keberadaan ku."

Baiklah sepertinya aku harus bilang jika disetiap hariku selama tiga tahun terakhir di hiasi dan di isi oleh manusia bernama Kang Daniel.

Singkatnya pertemuan pertama kami berdua cukup mengesalkan bagiku, Dia—Kang Daniel dan aku sama-sama telat pada hari pertama kelas sebagai mahasisiwi baru di Stanford University. Ahh bisa dibayangkan bagaimana rasanya bukan? Niatnya aku tidak ingin mempunyai teman atau seseorang yang mengganggap aku sebagai teman,

Yang namanya teman—mereka akan sangat merepotkan nanti, tapi berbeda dengan Kang Daniel. Dia—Daniel kami setelah mendapat hukuman anak itu selalu mengikuti kemana pun aku pergi dengan alasan.

"Kita di takdirkan untuk berteman karena kita telat, ahh dan kita sama-sama berdarah Korea! Bukankah itu sebuah takdir persahabatan bagi kita bedua!"

Alasan klasik! Berdarah korea? Ada banyak orang korea di sini, Satu minggu pertama aku terus menolak kehadiran Daniel, semakin aku mencoba menghindar semakin ada cara anak itu mendatangiku. Pada akhirnya aku menyerah dan berakhir seperti sekarang, kami berdua ahh tidak! Aku rasa hanya Daniel yang selalu bersama aku.

Banyak orang-orang bilang jika kami berpacaran, tapi Daniel yang selalu membantah sambil tertawa. Dia bilang.

"Tidak mungkin Park Jiyeon bukanlah tipe ideal harapanku."

Benar, kejujuran Daniel dapat di percaya. Mungkin?

"Jiyeon apakah kau sudah memikirkan tawaran Prof. Archer?"

"Tidak. Aku tidak berminat dalam seni musik"

"Serius? Kau sangat berbakat dalam permainan Biola, kenapa tidak mencoba ikut ekstrakurikuler seni musik?"

"Bermain alat musik tidak bisa membuat aku lepas dari dia."

"Jadi jika kau terus belajar hingga sekarat dia akan membebaskan kau begitu?! Dasar gila!"

"Sudalah kelas kita akan di mulai ayo berangkat."

Aku tau Daniel saat ini kesal kepada keputusan yang ku buat, tapi memang itu adalah kebenaran nya, aku tidak akan pernah diakui jika hanya menjadi seorang Violinist. Tidak! Aku tidak ingin tiga tahunku menjadi sia-sia karena keinginan dan impian bodoh yang bahkan tidak akan pernah di izinkan oleh dia.

[2] Fake PrincessWhere stories live. Discover now