[7]

566 98 3
                                    

Radi diam. Benar-benar nggak tau mau jawab apa.

Jadi, sekali lagi, Dara yang bicara, "nggak usah dijawab. Lo emang selalu nggak punya jawaban, kan?"

"Dar, gue tau gue harusnya bilang ini lima tahun lalu. Atau dari awal. But I'm sorry because I waste your time. Dulu. Dan mungkin sekarang. Gue suka sama lo, it was true. Tapi gue benar-benar minta maaf karena pada perkembangannya, I can really put my head into this. Buat jadi hubungan atau apapun."

"Ya nggak apa. Udah lima tahun juga." Tapi nada suara Dara masih tersimpan kekecewaan--atau mungkin kemarahan. Salah satu dari itu.

Radi diam. Dia mengizinkan Dara melakukan itu semua. Dia tau itu nggak ada apa-apanya dibanding kejahatan yang dia lakukan.

"Tapi, Radi.. gue mau nanya."

"Apa?"

"Lo ketemu gue buat apa? Pasti bukan buat reuni lucu-lucu kan ya. Karena itu udah minggu lalu. Mau bilang ketemu temen tanpa sebab juga gue rasa nggak perlu. Dari awal kita bukan temen. Dan kalau emang lu mau temenan, lu pasti udah ngelakuin itu satu hari dari antara lima tahun yang kelewat kan?"

Makanan mereka datang.

"Dar.."

"Gue mau makan dulu. Lu pikirin dulu jawabannya sambil makan."

Makanan itu mungkin enak. Tapi Radi nggak berselera sama sekali.

---

Dara membalik sendoknya, memberi tanda kalau makannya sudah selesai. Radi makan dengan lambat. Biasanya dia nggak kayak gitu. 

"Gue boleh nggak si nyoba lagi, Dar?"

"Lu nggak tau diri."

Radi nggak kaget sama sekali. Walau mungkin kaget. Tapi dia tau Dara berhak. Setelah semua yang dia lakukan.

"Gue nggak mau kayak dulu. Gue bahkan nggak minta eksklusif kayak lo cuma sama gue. Lo bebas deket sama siapa aja, Dar. Lu boleh ngehubungin gue kapan aja. Tapi.."

"Lu bener-bener putus asa atau emang sengaja dateng cuma buat bingung gue, Radi? Gue nggak punya waktu buat apapun yang lo mau tawarin."

"Sebagai temen." Radi menawar. Dia benar-benar putus asa. "Ayo temenan. Gue nggak akan minta lebih. Gue cuma mau temenan."

"Lu bisa temenan sama siapa aja. Tapi sama orang yang lo gantungin dua tahun? Buat nyoba aja tapi nggak juga nyoba?"

Suara Dara tenang. Meski bertengkar, percakapan mereka sama sekali tidak mencolok di restoran itu. Tenang yang terlalu tenang. Radi sedikit takut.

"Jadi nggak boleh?"

"Kayak yang lo bilang: terserah gue. Kalau nanti.. nggak tau kapan.. bisa jadi malem ini.. bisa jadi dua puluh tahun lagi.. gue butuh lo.. mungkin boleh."

Radi tersenyum lega. 

Itu sudah lebih dari cukup.

Walau nggak tau kapan.

Walau nggak tau kapan.

---

Tapi ternyata waktu itu datang lebih cepat.

Selasa pagi. Dan pagi yang dimaksud adalah pukul tiga pagi. Di hari kerja. Ponsel Radi bergetar. Nama Dara muncul di sana. Radi setengah sadar ketika mengangkat telepon itu.

"Halo..." Radi menyapa tanpa tau siapa yang menghubungi.

"Lu jahat banget sama gue.." itu suara Dara. Terisak.

Radi terdiam. Kesadarannya terkumpul dengan tiba-tiba tapi yang bisa ia rasakan cuma bingung.

"Lu bahkan nggak minta maaf. Lu nggak ada rasa bersalahnya sama sekali. Lu coba mikir.."

"Dara lu mabok ya?"

"Lu daritadi diem cuma bisa nanya gue mabok? Nggak gue gak mabok gue cuma sedih."

"Dara, gue minta maaf ya. Gue bener-bener minta maaf. Kita ngomong lagi ya nanti di jam yang wajar, di waktu lu gak mabok."

"GUE GAK MABOK!" Dara terdengar marah. "Gue gak mabok. Emang lu kira gue cuma bisa ngomong kalau mabok? Gue nggak ngomong karena gue malu di resto kemaren. Gue marah. Gue marah, Radi."

"Iya, Dara.."

"Lu.. sekarang.. ngajak gue ngomong lagi.. buat apa? Kenapa kita nggak diem-dieman aja sampai kiamat? Sampai gue happy dan nggak perlu ketemu lo lagi.."

"Dara napas ya.."

"Gue gak mabok!"

"Iya lu gak mabok.. Lu napas ya.. Lu keabisan napas.."

Dara terdengar menarik dan membuang napas.. tapi bukannya tenang.. Dara malah makin menangis.. di akhir teleponnya.. Radi mendengar suara Dara berujar dengan marah, "tiap gue salah dikit dalam hubungan gue, gue ketakutan Radi.. gue takut gue bakal gagal lagi kayak lo.. I'm questioning my worth. Gue mikir, mungkin emang gue nggak pantes ya.."

Suara Dara hilang, mungkin tertidur.

Tapi di kamarnya, kepala Radi nyeri. Dia tau, di tiap hubungannya, dia selalu mencari Dara. Membandingkan semua perempuan yang dekat bahkan sampai dalam hubungan dengan semua yang sempat ia miliki dengan Dara. Tapi semua itu nggak ada apa-apanya dibanding apa yang barusan ia dengar. Semua yang ia lakukan pada perempuan itu ternyata berbekas sebegitu besarnya.

Radi nggak pernah dan nggak akan bisa membayangkan seberapa besar itu semua terjadi. Dan seberapa kuat Dara menghadapi itu semua. 

Kepala Radi sakit, dan meski itu adalah hari kerja, Radi tidak bisa tidur lagi.

--

Dara sama sekali tidak mabuk ketika percakapan itu terjadi. Kepalanya sakit dan dadanya luar biasa sesak. Dia mencoba menahan diri, dia mencoba supaya nggak terdengar emosional atas kejadian yang sudah terjadi lima tahun lalu. Tapi nggak bisa. Dia harus berteriak, dia harus meneriaki Radi. 

Selasa pagi itu, Dara pergi bekerja dengan mata mengantuk dan pandangan yang tidak kokoh. Dia menutupi kantong matanya dengan make up tapi caranya bergerak masih tidak menunjukkan kalau ia baik-baik saja.

--

Selasa itu makin berat untuk Dara karena sore itu, ketika dia berencana pulang cepat dan tertidur, membayar hutang tidurnya semalam, Radi berdiri di depan kantornya. Mengajaknya bicara, kali ini di tempat yang memungkinkan Dara berteriak--bahkan menampar jika perlu.

20 Desember 2021. 16:32

Reuni PernikahanWhere stories live. Discover now