[9] - End

965 36 2
                                    

Malam itu Radi menginap, mereka tidur bersisian di karpet ruang tamu Dara. Dara punya tempat tidur yang cukup menampung mereka berdua, tapi mereka berdua malah tidur di karpet. Sudah dua film mereka habiskan, film terakhir tidak terlalu mendapat perhatian karena keduanya sibuk dengan satu sama lain.

Di antara sentuh dan cium pukul setengah dua pagi tadi, Dara menatap Radi, dengan suara pelan tapi yakin Dara berujar, "I love you."

Radi nggak perlu waktu lama, dia tau jawabannya, "I love you too."

Dara tersenyum sambil memegang kedua pipi Radi. "Kamu cakep kalau gelap." Lalu mengikik.

Mereka jarang pakai aku-kamu, bahkan setelah memiliki hubungan. Tapi hari itu, dengan Dara yang tertidur di pahanya, Radi terus mengusap puncak kepala perempuan itu. Dara tampak sangat bahagia meski Radi baru saja mengabaikan pesannya selama delapan belas jam dan cuma membalas "sorry gue lembur.. baru bisa ke sana jam 8 kayaknya.."

Dari dan Radi masih sama seperti dulu, mereka melihat semuanya dengan cara yang sama. Kesibukan Dara adalah hidup Dara, kesibukan Radi adalah hidup Radi. Memberikan kebebasan untuk melakukan dan berfokus pada kesibukan masing-masing adalah salah satu cara untuk mendukung satu sama lain.

Dan mungkin untuk Dara, dia seolah menolak menyadari kalau masa depan Radi adalah semua yang Radi genggam saat ini. Tidak ada Dara.

Hari-hari yang mereka lalui cuma waktu beku demi mengingat cinta lama yang seolah selalu berlarian dalam kepala satu sama lain selama bertahun-tahun. Bisa jadi, Dara yang hidup dalam benak Radi adalah Dara yang sama yang dia belikan es teh di kantin teknik lebih dari tujuh tahun lalu. Bukan siapapun yang ia sedang sentuh saat ini. Bisa jadi malam yang mereka habiskan cuma hutang yang berusaha dibayar karena gagal dipenuhi bertahun-tahun lalu. Bisa jadi semua ini cuma bayang maya yang dipaksa nyata oleh keduanya.

Mereka berciuman lagi. Kali ini Dara nggak bisa memikirkan apa-apa. Ia membiarkan raganya mendorong dan memberi tekanan, sementara dadanya terhimpit. Takutnya membesar. Ia tidak bisa mengartikulasikan pikirannya. Kemana kita harus pergi? Kemana mereka harus menuju?

Ketika sadar pipinya basah, Radi menarik wajahnya menjauh. Malam itu temaram, dan dingin. Tapi bayang wajah Dara yang basah, matanya yang berkaca-kaca--semuanya terlihat jelas dari pandangan Radi. Mereka terhubung dengan sangat dalam sampai Radi tau jelas apa yang Dara takutkan. Apa yang Dara pikirkan semua ada di dalam kepalanya.

Dia tau.

Dia juga merasakan itu semua.

"Dar.." Radi memanggil, berusaha mencoba mengembalikan Dara ke tempat ini--bukan kemanapun pikirannya sekarang berada. Dia nggak bisa nanya 'kenapa' atau lebih jelek lagi: dia nggak bisa nenangin Dara dan berjanji mereka nggak apa-apa.

"Nyokap mau ketemu lu, Radi."

"Kapan?"

"Kapan aja lu mau. Weekend. Weekend depan. Harusnya hari ini. Besok. Kapan aja lo siap."

"Tapi kita baru tiga bulan.."

"Tapi lu bakal siap nggak, Radi?" tanya Dara tanpa memperdulikan apapun yang Radi ucapkan barusan.

Radi terdiam. Dara kembali menangis, dengan tangannya yang masih digenggam Radi: Erat. Dengan hatinya yang masih dimiliki Radi: utuh. Dari awal Radi merasa Ragu. Dari awal, ragu Radi terpancar dan Dara tau itu. Tapi Dara memilih memaksa. Mencoba. Berjudi pada peluang.

Kalau-kalau. Kalau-kalau kali ini mereka berhasil. Judi paling besar dalam hidup Radi dan Dara. Dan meski mereka bersumpah akan sama-sama mempertaruhkan semuanya di meja judi, menjadi taruhan satu sama lain, Dara nggak yakin kalau dia akan sedih sama hebatnya dengan Radi. Dia tau ini semua akan datang, tapi dia juga tahu kalau luka ini, sedih ini, semuanya mungkin cuma akan jadi milik Dara seorang.

Reuni PernikahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang