3 - Keresahan

598 69 0
                                    

3 – Keresahan

Lewat jam makan siang, Remy baru bisa meninggalkan kantor cabang perusahaan Laksa, kakak Lana, tempat rapat darurat perusahaannya diadakan karena ada masalah di pabrik yang ada di sana. Dan itu bukan kasus biasa. Kasus karyawan yang bunuh diri dengan membakar diri di pabrik, bahkan berniat membakar pabrik juga.

Sebelum ini, Laksa sudah mendapat masalah dengan para eksekutif perusahaannya dan nyaris dilengserkan. Namun, dia terselamatkan karena pernikahan Lana dan Remy. Saham Lana sebagian dialihkan pada Remy. Sebagai gantinya, Remy juga memberikan sebagian sahamnya di perusahaannya sendiri pada Lana.

Hanya dengan begitu, Remy bisa turun tangan jika ada masalah seperti ini. Dan seolah mereka berniat menghalangi Remy, mereka memutuskan untuk menyerang Laksa di malam pernikahan Remy, itu pun di kantor cabang yang jauh dari lokasi Remy. Para orang-orang tua menyebalkan itu benar-benar tidak tahu kapan harus berhenti.

Remy tak tahu kenapa Laksa berkeras untuk mempertahankan perusahaannya yang sudah busuk itu. Remy sudah menawarinya untuk meninggalkan perusahaan itu dan bergabung dengan perusahaan Remy. Remy bahkan siap memberikan posisi terbaik untuknya di perusahaan, tapi Laksa menolaknya. Dan dia terlalu keras kepala.

Karena itu, tak ada solusi lain untuk menolong Laksa selain pernikahan Remy dengan Lana. Karena sekarang, Remy juga bagian dari keluarga mereka.

Ya. Itulah yang lucu dari perusahaan Laksa. Rapat darurat seperti ini hanya dihadiri oleh eksekutif perusahaan yang merupakan anggota keluarga mereka. Dan semua orang yang berusaha menjatuhkan Laksa ini adalah, entah paman, bibi, om, tante, sepupu orang tuanya, atau bahkan, saudara dari kakeknya yang dulunya ditunjuk sebagai ahli waris perusahaan ini.

Jika bukan karena Laksa adalah satu-satunya teman yang dia miliki, Remy tentu tidak akan mau repot-repot seperti ini sampai pergi sejauh ini di malam pernikahannya. Laksa bukan teman yang menyenangkan. Hanya saja, dia tidak seperti orang-orang lain yang mengaku teman Remy.

Laksa tidak pernah banyak bicara, tidak pernah sok ikut campur, tidak pernah sok tahu, dan tidak pernah menuntut Remy untuk bicara. Terkadang jika mereka bertemu pun, mereka hanya membicarakan masalah perusahaan. Jika tidak, mereka hanya diam sambil makan atau minum.

Namun, itulah alasan Remy mempertahankan hubungan pertemanan mereka hingga di titik ia mau menikah dengan adik Laksa untuk membantu Laksa. Dan juga ... karena ia merasa mereka begitu mirip. Ah, kecuali untuk satu hal.

Remy tidak sebodoh Laksa untuk mempertahankan perusahaan yang sudah busuk. Jika Laksa mau, dia bisa saja menendang para eksekutif itu dengan bukti penggelapan uang perusahaan, dan berbagai hal lainnya, tapi Laksa tak pernah mau melakukannya demi menjaga nama baik perusahaannya.

Jika itu Remy, dia tidak peduli. Perusahaannya juga jatuh-bangun di awal dia mengambil alih tampuk kepemimpinan dulu. Dia mulai memecat satu-persatu paman, bibi, om, tante, atau entah kerabat yang mana lagi sampai dia tidak ingat, demi menjaga perusahaannya.

Untuk anak-anak yang tidak punya orang tua yang melindungi mereka, itulah yang seharusnya mereka lakukan. Namun, Laksa terkadang terlalu baik dan terlalu keras kepala. Syukurlah, mereka sama sekali tidak mirip tentang hal itu.

***

Asha melirik ke arah Remy yang mengecek jam tangannya, entah untuk yang keberapa kalinya, dalam perjalanan menuju pulang mereka. Sementara, Neo yang tidak peka, sedari tadi tidak menambah kecepatan meski jalan tol yang mereka lewati itu sedang sepi.

"Apa perlu saya mengecek ke hotel untuk mencari tahu keberadaan Bu Lana, Pak?" tanya Asha akhirnya.

Remy menoleh ke depan, ke arah Asha, tampak kaget. "Apa? Kenapa?"

"Karena Pak Remy kelihatannya ingin buru-buru segera sampai ke hotel," jawab Asha.

Remy mendengus. "Aku cuma ingat kalau aku aku belum sempat ngasih tahu Lana jadwal hari ini. Nanti malam kan, ada jadwal makan malam di rumah ... Tante Ika? Ita? Yang mana, Sha?" Remy bahkan tak bisa mengingat nama mereka.

"Fika, Pak," jawab Asha.

Oh, hilang satu huruf.

"Saya akan membawa Bu Lana bersiap di salon sebelum acara makan malamnya," Asha berkata.

"Nggak perlu," tukas Remy. "Nggak ke salon juga dia udah ... ehm, kelihatan kayak orang kaya."

Asha tersenyum geli mendengar itu. Remy selalu buruk dalam mendeskripsikan sesuatu. "Cantik dan elegan, maksud Pak Remy?" Asha memastikan.

"Well, apa pun namanya itu," sahut Remy cuek. "Yang jelas, dengan penampilannya yang biasa pun, nggak akan ada orang di keluargaku yang berani ngomentarin penampilannya. Lagian, sejak dulu masih di sekolah juga Laksa sama adiknya itu terkenal karena tampang mereka."

"Dan prestasinya juga," Asha menambahkan.

Remy mendengus. "Aku juga nggak kalah dari Laksa," pamernya.

"Seingat saya, dulu Pak Laksa selalu peringkat satu di angkatan Pak Remy, kan?" tanya Asha.

Remy mendesis kesal. "Mau sepintar apa pun, tapi kalau dia nggak bisa tegas jadi pimpinan perusahaan, ya bakal hancur perusahaannya. Kamu lihat sendiri, kan, gimana kondisi rapat darurat tadi?"

"Tolong jangan mengalihkan pembicaraan, Pak," Asha mengingatkan.

Remy mendecak kesal. "Kamu duluan yang mulai," desisinya.

"Kalau gitu, nanti Pak Remy bisa siap-siap sendiri dengan Bu Lana untuk acara makan malamnya. Tapi, lebih baik Pak Remy segera mengabari Bu Lana sekarang agar Bu Lana bisa bersiap-siap lebih dulu," usul Asha.

"Itu dia masalahnya," desis Remy.

"Kenapa, Pak?" tanya Asha.

"Aku nggak punya nomornya Lana dan aku nggak bisa nelepon dia," jawab Remy. "Selama ini kan, aku kalau butuh ngehubungin dia selalu lewat kamu."

Asha kontan melongo mendengar itu. "Tapi ... kan, ada banyak kesempatan di mana Pak Remy ketemu sama Bu Lana dan bisa bicara berdua?"

"Ya, emangnya apa yang mau dibicarain?" Remy tampak kesal.

"Nomor telepon, misalnya," sebut Asha.

Remy seketika kicep dan membuang muka kesal.

Astaga pria ini .... Asha jadi khawatir dengan pernikahannya dengan Lana. Tidak. Ia lebih khawatir pada Lana.

***

A Cold MarriageWhere stories live. Discover now