3 - No Other Choice

192 16 0
                                    

3 – No Other Choice

Asha mengecek jam. Jika mereka berangkat besok pagi, mereka mungkin akan terlambat. Kalaupun mereka tidak terlambat, mereka tidak akan bisa melakukan cukup persiapan untuk situasi terburuk. Terlebih, Remy juga belum tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Jika mereka besok terlambat datang dan Remy datang tanpa persiapan, maka posisi Laksa akan berada dalam bahaya. Jika harus menghadapi orang-orang perusahaan Laksa, mereka harus menyiapkan banyak hal. Karena Laksa sendiri tak mungkin bisa bertindak banyak untuk melindungi dirinya dan Lana.

Jika sampai Laksa membuat masalah dengan para eksekutif perusahaan, bisa-bisa mereka menekan Laksa menggunakan Lana. Dan itu adalah hal terakhir yang Laksa inginkan.

Asha akhirnya memutuskan, ia harus menghubungi Remy. Ia tak punya pilihan lain. Saat ini, prioritas mereka adalah Laksa.

"Kita ke hotel sekarang," putus Asha.

Neo mengangguk. Asha lantas pergi menyiapkan barang-barang yang harus ia bawa. Mulai dari laptop dan dokumen, hingga pakaian ganti. Pakaian ganti Remy di mobil masih ada, jadi ia hanya perlu menyiapkan pakaian gantinya sendiri.

Setelah bersiap dengan cepat, Asha pergi ke kamar dengan pintu yang penuh dengan stiker anak-anak. Asha masuk dan menghampiri sosok kecil yang tampak lelap di tempat tidur. Asha berlutut di samping tempat tidur, lalu mencondongkan tubuh ke arah anak itu dan mengecup keningnya.

Keluar dari kamar itu, Asha meninggalkan pesan di post it yang tertempel di kulkas. Di saat Asha harus mendadak pergi seperti ini, Bik Sih bisa diandalkan. Maka, setelah memastikan urusan rumah juga sudah beres, barulah Asha mengajak Neo pergi ke hotel tempat Remy berada.

Neo melajukan mobil dalam kecepatan penuh, sementara Asha mencoba menghubungi sekretaris Laksa lagi untuk memastikan situasi saat ini. Namun, sama seperti tadi, sekretaris Laksa itu masih tak mengangkat teleponnya. Dia pasti saat ini sedang sangat sibuk hingga dia tak bisa menerima telepon Asha.

Asha menghela napas berat. "Apa Laksa udah pergi ke sana?" tanyanya.

"Dia langsung pergi begitu dengar kabar itu," jawab Neo.

"Mereka pasti sekarang lagi sibuk banget," gumam Asha.

"Apa kamu khawatir sama dia?" ledek Neo.

Asha kembali menghela napas. "Apa menurutmu, ini cuma tentang dia?" balasnya. "Kamu tahu sendiri hubungan Remy sama Laksa. Kamu pikir, Remy akan tinggal diam kalau sesuatu terjadi sama Laksa? Terutama sekarang, setelah adik Laksa jadi istrinya."

Neo mendengus pelan. "Orang-orang kaya itu benar-benar merepotkan. Mereka bahkan nggak bisa ngurus masalah mereka sendiri," sengitnya.

Kebencian Neo untuk Laksa, Remy, dan orang-orang kaya di luar sana memang bukan rahasia lagi bagi Asha. Neo selalu seperti itu, bahkan sejak mereka masih remaja. Namun, Asha tahu lebih baik dari siapa pun, tak peduli betapa pun dia menghujat Remy, tapi dia sebenarnya juga peduli pada Remy.

Ketika mobil yang dikemudikan Neo sudah semakin dekat dari hotel, Asha sudah akan menelepon Remy ketika Neo berkata,

"Kalau aku jadi kamu, aku akan ngirim chat aja daripada telepon."

Asha mempertimbangkan itu sesaat dan akhirnya menuruti Neo. Jika sampai dini hari nanti tidak ada balasan dari Remy, barulah Asha mencoba meneleponnya. Maka, ia pun segera mengirim pesan pada Remy. Ia menjelaskan situasi yang terjadi, lalu menutup dengan,

'Jika Pak Remy sudah tidak sibuk, tolong segera kabari saya. Maaf mengganggu waktunya. Saya akan menunggu di pelataran parkir hotel.'

Asha baru akan meletakkan ponselnya ke pangkuan ketika ponselnya bergetar menandakan ada panggilan masuk. Dari Remy. Begitu mengangkat teleponnya,

"Aku turun sekarang. Tunggu di lobi."

Hanya itu yang dikatakan Remy sebelum dia menutup teleponnya.

Ketika mendengar suara Remy tadi, Asha jadi merasa tidak enak karena sudah mengganggu malam pernikahan Remy.

"Heh, dia masih bisa telepon?" celetuk Neo. "Kayaknya dia perlu belajar lebih banyak lagi."

Asha benar-benar harus menyumpal mulut Neo jika pria itu berkomentar lagi.

***

Begitu mereka bertemu di lobi, Asha langsung meminta maaf,

"Pak Remy, maaf ..."

Namun, permintaan maafnya dipotong Remy dengan kibasan tangan. "Kamu tahu itu bukan salahmu, jadi kamu nggak perlu minta maaf," ucap pria itu.

"Tapi, ini malam pernikahan Pak Remy ..."

"Dan aku tahu, kamu pasti udah berusaha nyari solusi sebelum kamu akhirnya terpaksa harus ngabarin aku, kan?" tebak Remy.

"Saya benar-benar sudah berusaha, Pak," aku Asha.

"Seberusaha apa pun kamu, kamu cuma sekretaris dan lawanmu eksekutif. Makanya, udah aku bilang, kenapa kamu nggak mau jadi eksekutif aja dan bantuin aku ..."

"Pak Remy," Asha menegur tajam, seketika menghentikan kalimat Remy.

Remy membalas dengan deheman canggung. Asha hanya bisa menghela napas pelan. Lebih dari siapa pun, Remy tahu kenapa Asha hidup seperti ini. Bahkan meski pria itu menawari Asha menjadi CEO di perusahaannya, Asha akan langsung menolak tanpa ragu.

Demi menjaga keluarganya, Asha harus hidup setenang dan sesederhana mungkin. Dia tidak ingin menarik perhatian. Pun, dia tidak ingin siapa pun tertarik dengan keluarganya. Dan yang terpenting, dia tidak ingin orang-orang yang dulu pernah mengenalnya, tahu siapa dirinya. Cukuplah orang-orang yang kebanyakan berada di kalangan Remy itu tahu Asha sebagai sekretaris Remy. Tidak lebih dan tidak boleh lebih.

***

Hal pertama yang diterima Laksa ketika ia masuk ke ruang rapat di kantor cabang tempat rapat darurat diadakan, adalah teriakan-teriakan yang menuntut tanggung jawabnya. Tanggung jawab, huh?

Laksa masih belum mendalami apa motif bunuh diri karyawan pabriknya itu. Namun, ia sempat mendengar dari Kalia tentang gaji karyawan yang belum dibayarkan sejak beberapa bulan terakhir. Dan Laksa tahu ke mana perginya uang untuk pembayaran gaji itu.

Mungkin mereka benar. Ini adalah tanggung jawab Laksa. Karena dia selalu menutup mata selama ini, sebuah nyawa melayang dengan mengerikan. Dan masalah seperti ini tidak hanya terjadi sekali-dua kali. Tidak sedikit karyawan yang harus kehilangan hak mereka, bahkan pekerjaan mereka, karena perbuatan kotor dan semena-mena para eksekutif yang masih merupakan kerabat Laksa.

Namun, Laksa menutup mata dari semua itu demi melindungi adiknya. Dan itu akan berakhir hari ini. Itu harus berakhir. Terlebih, setelah sekarang ia memastikan keamanan Lana sebagai istri Remy. Tak ada lagi alasan untuk mundur kali ini.

Namun sebelum itu, saat ini Laksa harus mempertahankan posisinya sebagai pimpinan perusahaan. Hanya dengan begitu, dia bisa melanjutkan langkah berikutnya untuk menyeret orang-orang ini keluar dengan dosa-dosa mereka. Meski ia tahu, ini akan sulit tanpa bantuan Remy.

Meski begitu, Laksa harus terbiasa dengan ini. Ke depannya, ia tak ingin lagi melibatkan Lana atau Remy. Ia harus siap untuk berperang sendiri dalam situasi apa pun. Ia bahkan sudah bersiap untuk yang terburuk. Itu bukan masalah.

"Pak Laksa! Apa Pak Laksa pikir, dengan bersikap diam seperti itu, masalah ini akan selesai dengan sendirinya?!" Suara bentakan keras itu membuat Laksa menyeret diri dari kesibukan pikirannya sendiri dan menoleh.

Dia bahkan tidak menunggu hingga Laksa duduk untuk menyerang Laksa seperti itu. Laksa mengabaikan pertanyaan itu dan duduk di kursi pimpinan. Kursi yang selama ini terasa seperti duri tajam yang menusuk dari dalam. Dan selama ia duduk di kursi ini, ia tak pernah berusaha menyingkirkan satu pun duri tajam itu.

Laksa tak punya pilihan lain. Saat ini, untuk mempertahankan posisi ini, dia harus melakukan apa pun. Bahkan meski ia harus berlutut memohon pada orang-orang ini. Untuk terakhir kalinya ....

***

A Cold MarriageWhere stories live. Discover now