5 - Kosong

212 26 0
                                    

5 – Kosong

Malam sudah sangat larut ketika akhirnya mobil Laksa yang disetiri Kalia tiba di rumahnya. Setidaknya, ia sudah bertemu dengan perwakilan karyawan pabrik dan meminta maaf atas apa yang terjadi di pabrik. Laksa juga berjanji dia akan mengungkap apa yang sebenarnya terjadi dan mencari tahu semua masalah yang ada di pabrik.

Ketika Kalia akan turun untuk membukakan pintu, Laksa mencegahnya. "Kamu nggak perlu turun dan langsung pulang aja," ucapnya.

"Baik, Pak," jawab Kalia. "Apa besok Pak Laksa akan berangkat ke kantor seperti jam biasanya?"

"Ya," jawab Laksa. Dalam situasi seperti ini, Laksa tak punya waktu untuk berleha-leha. Ia tidak mengirim Lana pada Remy untuk ini.

"Kalau begitu, besok saya akan menjemput Pak Laksa seperti jam biasanya," ucap Kalia.

Laksa mengangguk, lalu ia turun dari mobilnya. Meski begitu, ketika Laksa tiba di pintu depan, kepala pelayan rumahnya, Sando, membukakan pintu untuknya. Satu-satunya orang di rumah ini yang tidak akan tidur sampai Laksa tidur atau sampai tiba di rumah jika ia dijadwalkan pulang, adalah Sando.

"Maaf karena kamu harus terjaga sampai larut begini," ucap Laksa penuh sesal tatkala ia masuk melewati pintu depan rumah itu.

Sando menggeleng. "Ini sudah tugas saya, Pak," jawabnya.

"Aku akan langsung tidur setelah mandi, jadi kamu bisa pergi tidur," instruksi Laksa.

"Jika Pak Laksa butuh sesuatu ..."

"Aku nggak butuh apa pun, jadi kamu bisa istirahat, Sando," Laksa menekankan.

"Baik, Pak." Sando kemudian membukuk kecil dan pamit pergi.

Sepeninggal Sando, Laksa menatap ruang depan rumahnya itu yang entah kenapa terasa kosong. Padahal, biasanya juga rumahnya selalu kosong. Inikah pemandangan yang selama ini dilihat Lana?

Laksa tersenyum getir. Sekarang ia mendapat karmanya. Ia tak pernah bisa menjadi kakak yang baik untuk Lana, dan sekarang dia malah mengirim adiknya pergi. Laksa bahkan tidak berhak protes jika adiknya itu membencinya.

Ah, seandainya orang tua mereka masih di sini ....

***

Malam itu, ketika Asha selesai membacakan dongeng untuk putranya, Akas, ia sudah akan pergi. Namun, Akas tiba-tiba bertanya,

"Apa Mama nggak mau temani aku tidur?"

Asha terkejut mendengar itu. "Kenapa? Kamu semalam mimpi buruk, Akas?"

Akas mengangguk.

Asha tersenyum kecil, lalu menangkup wajah putranya dan mendaratkan kecupan lembut di keningnya. "Kalau gitu, malam ini Mama akan temani kamu. Jadi, kamu nggak akan mimpi buruk lagi," ucap Asha.

Akas tersenyum lebar dan mengangguk. Anak itu lantas bergeser dan memberi tempat untuk Asha. Menuruti Akas, Asha pun naik ke tempat tidur. Ia menarik selimut Akas hingga ke dagu Akas, lalu tangannya merangkul putranya itu dan mengusap kepalanya lembut.

"Maaf, ya, karena tadi pagi Mama nggak ada di rumah waktu Akas bangun," ucap Asha.

"Nggak pa-pa, Ma. Aku kan, udah besar. Sekarang, aku nggak nangis lagi tiap bangun tidur nggak ada Mama di rumah," celoteh anak itu.

Asha tersenyum sendu. Ah, betapa ia merindukan saat-saat itu. Jika bisa, ia ingin Akas terus mencarinya setiap kali Asha tak ada. Sungguh, keinginan egois ketika Asha sendiri selalu sibuk dengan pekerjaannya.

"Anak Mama sekarang udah besar, makin pintar, makin keren," puji Asha. "Tapi, kamu tahu kan, Akas, bahkan meski Mama nggak bisa selalu ada di samping kamu, tapi nggak ada yang menyayangi kamu melebihi Mama di dunia ini."

"Mama juga tahu, kan, nggak ada yang menyayangi Mama melebihi aku di dunia ini?" balas putranya itu.

Asha tertawa haru dan memeluk Akas sembari mengecupi puncak kepalanya. Sungguh, Asha tak pernah menyesal memiliki Akas. Pun ia tak pernah berhenti bersyukur karena Tuhan mengirimkan anak ini padanya.

***

Laksa tersentak bangun ketika mendapati lagi-lagi mimpi tentang perempuan yang sama, dengan mimpi yang sama. Laksa tahu, itu ada hubungannya dengan malam itu. Malam di mana Laksa dijebak beberapa sampah di kampusnya. Namun, Laksa tidak sendirian malam itu. Ada orang lain yang dijebak bersamanya.

Meski begitu, sampai saat ini, Laksa tak pernah tahu siapa gadis itu. Orang-orang yang terlibat malam itu pun tak pernah mau mengatakan apa pun pada Laksa mengenai kejadian sebenarnya malam itu. Tak peduli bagaimanapun Laksa menghajar mereka.

Bahkan Remy pun tak tahu apa pun tentang gadis itu. Ketika dia datang ke tempat itu, dia bilang, gadis itu sudah pergi. Melihat bagaimana semua akses informasi tentang dia ditutup, ditambah lagi dengan tidak ada satu pun orang yang berani menyebutkan tentang identitas gadis itu, itu berarti dia berasal dari keluarga berkuasa yang mungkin berusaha menutupi kejadian itu.

Sayangnya, tak peduli bagaimanapun Laksa mengingatnya, ia tak bisa mengingat apa pun dan hanya merasakan pusing di kepalanya. Bahkan meski di banyak malam ia sering terbangun seperti karena mimpi tentang gadis itu, Laksa tak bisa mengingat siapa dia. Hanya satu yang membekas begitu kuat di ingatannya.

Air mata di balik kacamatanya.

Laksa mengernyit merasakan perasaan tak nyaman di dadanya. Ia merasa seolah mengenal gadis itu, tapi siapa? Laksa benar-benar tak bisa mengingat wajahnya. Dan itu selalu membuatnya frustrasi.

Namun, hingga dia berusaha menyembunyikan diri sejauh itu dari Laksa, sepertinya dia tak ingin lagi berhubungan dengan Laksa. Tentu saja, setelah kejadian mengerikan seperti itu, dia pasti tak ingin lagi bertemu atau berhubungan dengan Laksa.

Laksa menghela napas berat. Tangannya menyentuh dadanya yang terasa sesak dan tak nyaman.

***

Setelah mengabari Neo jika dia tidak perlu menjemput Asha pagi itu, Asha pergi mengantarkan Akas ke sekolahnya. Putranya itu tampak sangat senang dan sedari tadi menyenandungkan melodi kesukaannya. Asha bahkan sampai sekarang tak tahu itu lagu apa. Pun setiap kali Asha bertanya, Akas juga berkata jika dia hanya mendengar senandung itu saja dan dia menyukainya. Dan itu adalah senandung yang disenandungkannya setiap kali dia merasa senang.

"Kamu sesenang itu karena berangkat sekolah sama Mama?" tanya Asha.

Akas mengangguk kuat.

Asha tersenyum, sedikit merasa bersalah. "Maaf, ya, karena belakangan Mama sibuk terus."

Karena persiapan pernikahan Remy dan Lana begitu menyita waktunya, ia nyaris tidak punya waktu untuk Akas. Sepertinya Asha banyak berutang waktu pada Akas.

Ketika mereka tiba di gerbang sekolah, Asha mengantarkan Akas masuk hingga ke lobi sekolah. Di sana, banyak murid-murid lain yang juga baru tiba. Asha sudah akan berpamitan pada Akas ketika terdengar suara tawa anak kecil dari belakang. Asha menoleh dan melihat sosok anak kecil yang digendong di bahu oleh seorang pria yang berlari ke arah lobi.

Begitu ia mendarat di tanah, anak kecil itu berkata, "Papa, besok aku mau diantar Papa lagi!"

"Siap, Kapten!" balas sang Papa sembari membuat pose hormat.

Pasangan ayah dan anak itu tertawa bersama. Asha akhirnya kembali menatap Akas, tapi ia tertegun mendapat putranya itu menatap lekat ayah dan anak itu. Rasa bersalah menyelinap di benak Asha melihat itu.

Mungkin saat ini, Asha bisa menyembunyikan tentang sosok ayahnya dari putranya ini. Namun, bagaimana dengan besok, atau suatu hari nanti? Jika Akas bertanya tentang papanya, jawaban apa yang akan diberikan Asha padanya? Dan kelak ... bagaimana jika ia tahu tentang papanya?

Asha menggeleng mengusir pikiran-pikiran itu. Yang terpenting saat ini, mereka baik-baik saja. Lagipula, Asha sudah memastikan tidak adanya kemungkinan anaknya bertemu dengan pria itu.

Asha tidak akan membiarkan itu terjadi.

***

A Cold MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang