4 - Intruder

181 20 0
                                    

4 – Intruder

Laksa akhirnya berdiri dari kursinya dan sudah akan membungkuk dalam untuk menyampaikan permintaan maaf, tapi sebuah tangan menahan bahunya. Laksa menoleh kaget ketika mendapati keberadaan Remy di belakangnya.

"Bisa nggak, kebiasaan burukmu itu diubah?" Remy berkomentar dengan nada gusar sembari berpindah ke sebelah Laksa. "Jangan menundukkan kepala dengan mudah, terutama ke musuh-musuhmu. Mereka akan nebas kepalamu." Remy menoleh pada Laksa dengan ekspresi kesal.

Ya, Remy memang tipikal orang yang seperti itu. Ia tak pernah menunduk, membungkuk, atau merendahkan kepalanya untuk siapa pun. Justru sebaliknya, dia membuat orang menunduk, membungkuk, bahkan berlutut di depannya. Jika itu Remy, dia adalah yang mendapat bagian untuk menebas, bukan ditebas.

Ruangan rapat yang cukup luas meski hanya berisi beberapa eksekutif yang merupakan kerabat Laksa itu seketika hening. Mereka tahu siapa Remy dan mereka tahu mereka tidak akan punya kesempatan jika melawan Remy. It's run or hide. Dan saat ini, dengan kehadiran Remy, mereka berusaha menyembunyikan niatan buruk mereka untuk menyingkirkan Laksa.

"Pak Remy, saya tahu sekarang Pak Remy sudah menjadi bagian dari eksekutif perusahaan kami. Meski belum secara resmi, tapi ..."

"Apa pernikahanku sama Lana kelihatan nggak resmi?" sela Remy tajam.

"Maksud saya bukan seperti itu, Pak. Tapi, karena belum ada pesta penyambutan untuk Pak Remy ..."

"Kalau kalian bisa membaca, seharusnya kalian sudah melihat namaku sebagai pemilik saham terbesar kedua setelah Laksa di perusahaan ini. Atau, kalian perlu dibacakan juga?" tukas Remy.

Laksa diam-diam menghela napas. Membiarkan Remy mencari musuh di sini bukan rencananya. Dia hanya butuh Remy untuk melindungi Lana. Maka, Laksa segera menengahi,

"Saya akan bertanggung jawab atas insiden di pabrik kali ini. Saya akan mencari tahu kebenarannya dan saya akan memastikan keluarga korban mendapat penjelasan, permintaan maaf, dan kompensasi dari perusahaan. Saya sendiri yang akan langsung menemui keluarga korban.

"Selain itu, saya juga akan menemui pimpinan karyawan pabrik dan berbicara untuk mencari tahu lebih jauh apa yang dibutuhkan karyawan pabrik itu. Saya akan mencoba memperbaiki ini dengan sebaik mungkin. Karena itu, tolong beri saya waktu dan kepercayaan untuk bertanggung jawab sepenuhnya membereskan insiden di pabrik ini."

Mungkin, ini terdengar seperti permohonan bagi mereka. Namun, ini adalah satu-satunya jalan di mana Laksa bisa turun langsung ke pabrik itu dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Meski, orang-orang ini mungkin berpikir jika Laksa hanya akan melakukan 'tugas pimpinan', seperti sebelum-sebelumnya.

Pimpinan yang harus menutup mata ketika kejahatan terjadi tepat di depan matanya. Pimpinan yang hanya bungkam ketika kebijakannya dihancurkan sendiri oleh orang-orang yang seharusnya membantunya ini. Pimpinan yang hanya dijadikan boneka untuk keserakahan para orang tua di ruangan ini.

Remy menjentikkan jari. "Then, that's good, eh?" Ia berkata sembari menarik kursi terdekat dari Laksa dan duduk di sana. "Masalah pabrik beres. Media juga masih belum tahu masalah ini. Jadi, pastikan kalian semua fokus ke situ. Jangan sampai media tahu. Kalau sampai kejadian ini bocor ke media, semua yang ada di ruangan ini akan bertanggung jawab."

"Tidak bisa seperti itu, Pak Remy," protes salah satu eksekutif. "Bagaimana kita akan menutup mulut karyawan pabrik tentang insiden ini?"

Remy mengangkat alis. "Bukankah selama ini kalian sudah menutup mulut mereka tentang gaji yang tidak dibayarkan selama berbulan-bulan?" sebut Remy. "Jadi, bukan mereka yang menjadi masalah. Tapi, kalian yang bisa dengan mudah membungkam atau menyuruh media bicara."

Remy menjentikkan jari dan sekretarisnya meletakkan tumpukan berkas di meja di depan Remy. Remy menepuk tumpukan berkas itu dengan keras.

"Ini adalah beberapa artikel berita tentang perusahaan ini. Hebatnya, bahkan setelah begitu banyak insiden di perusahaan ini, tidak banyak pemberitaan buruk media. Limbah pabrik, demo warga, bahkan hingga kasus kecelakaan kerja." Remy mendengus pelan. "Atau ..." Remy menatap seluruh orang di ruangan itu, "perlu saya mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik insiden-insiden itu?"

Itu adalah ancaman. Karena orang-orang ini jugalah yang sudah membungkam media agar tidak menghancurkan image perusahaan setelah mereka menyingkirkan Laksa. Sekarang, persiapan itu justru menjadi bumerang bagi mereka sendiri.

Terdengar deheman pelan dari salah satu eksekutif sebelum dia berbicara, "Baiklah. Kami akan menunggu hingga Pak Laksa membereskan masalah pabrik itu. Tapi, kami perlu mendengar apa rencana Pak Laksa ke depannya. Ini bukan sekadar masalah bunuh diri karyawan, tapi tentang bagaimana Pak Laksa tidak bisa mengatur karyawannya sebagai pimpinan. Karena itu ..."

Orang itu terus bicara dan terus menuntut Laksa melakukan ini dan itu ketika merekalah yang merusak semuanya. Mereka yang menggelapkan dana, mereka yang memotong tunjangan karyawan seenaknya, mereka yang mencuri uang karyawan dengan teganya, mereka yang mengabaikan teriakan protes warga ataupun karyawan karena keserakahan mereka, tapi Laksa yang harus mencari solusinya.

Ya, itu adalah tanggung jawab Laksa sebagai pimpinan. Dan seperti yang mereka inginkan, Laksa akan menjalankan tugasnya sebagai pimpinan dengan benar kali ini.

Begitu rapat darurat yang berakhir hanya seperti sesi buang waktu itu selesai siang itu, Remy langsung pergi. Laksa bahkan tak sempat bertanya apakah sesuatu terjadi. Namun, jika sesuatu terjadi, Kalia pasti akan memberitahunya. Dan Kalia tak mengatakan apa pun padanya tentang itu.

Meski begitu, ketika akan meninggalkan kantor cabang itu, Laksa bertanya pada Kalia,

"Apa ada masalah di perusahaan Remy?"

Kalia mengerutkan kening heran. "Saya tidak mendapat laporan apa pun tentang itu, Pak," jawabnya.

"Kamu yakin?" Laksa memastikan.

Kalia mengangguk. "Perusahaan Pak Remy adalah salah satu informasi prioritas yang selalu saya awasi," Kalia berkata.

"Pastiin aja sekali lagi," Laksa memerintah.

Kalia mengangguk dan mengeluarkan ponselnya, lalu segera menghubungi seseorang. Kalia menanyakan apakah ada masalah di perusahaan Remy, lalu setelah mendengar jawaban dari seberang, Kalia menoleh pada Laksa dan berkata,

"Tidak ada masalah di perusahaan Pak Remy, Pak."

Laksa menghela napas lega, lalu mengangguk. "Ya udah, kalau gitu. Sekarang kita pergi ke pabrik aja dulu."

"Baik, Pak."

***

Ruang rapat itu begitu hening, tapi kemarahan tampak di wajah setiap orang yang masih ada di sana. Terutama, tiga orang pria paruh baya yang duduk di deret terdekat dari kursi yang ditinggalkan Laksa.

"Sekarang kita sudah kehilangan kesempatan untuk menyingkirkan Laksa karena Remy sudah bisa turut campur semakin dalam," geram salah seorang dari mereka.

Hening. Lalu, terdengar suara seseorang menguap, membuat perhatian semua orang yang ada di sana tertuju padanya. Satu-satunya pria muda seumuran Remy dan Laksa yang ada di ruangan itu menghentikan kuapannya dan menatap sekitar.

"Apa?" tanya pria itu.

"Kamu ini kan, masih muda. Harusnya kamu punya cara untuk membantah Remy!" bentak salah satu dari tiga pria paruh baya yang paling kesal dengan hasil rapat itu.

Pria muda itu mengangkat alis. "Maaf, Om, tapi aku di sini untuk menggantikan Mama. Dan Om sendiri yang bilang, aku hanya diperlukan untuk voting mewakili Mama. Tapi, sedari tadi tidak ada voting. Dan aku sama sekali nggak tahu apa yang kalian bicarakan." Pria itu menyengir. "Aku kan, hanya penjual kopi yang bodoh."

Kontan jawabannya itu membuat ketiga pria paruh baya itu semakin geram, tapi mereka tak bisa membantah. Karena mereka jugalah yang memberinya julukan itu.

***

A Cold MarriageWhere stories live. Discover now