4. Penawar Racun

582 59 5
                                    

Lagi-lagi Lana menangis untuknya. Rupanya dia sudah mendengar kabar bahwa ia mencoba untuk mati lagi. Ia ingin mengulurkan tangan, menghapus air mata Lana dan meminta sahabatnya itu untuk berhenti menangis, tetapi tak bisa. Rasanya tubuhnya tak bertenaga dan tak ada semangat untuk melakukan apa pun.

Dalam kepalanya terus bermunculan berbagai alasan yang saat itu menurutnya masuk akal untuk mengakhiri hidup. Salah satu alasan terbesar adalah cibiran dari masyarakat. Ia tak akan sanggup menghadapi tudingan sebagai wanita murahan atau pelacur saat nanti tetap bertahan hidup berdua bersama anaknya saja.

Lagipula, apakah ia bisa merawat dan menyayangi bayi dalam perutnya? Saat ini saja ia begitu muak memikirkan keberadaan janin yang tak ia kehendaki itu.

Mengapa? Selalu pertanyaan itu yang muncul di benaknya, mengapa ia harus mengalami nasib begini tragis? Mengapa ada orang jahat yang tega melakukan perbuatan itu padanya. Apa salahnya?

"Lihat aku, Sayang." Lana memohon di sela-sela isak tangisnya. "Masa depanmu jauh lebih baik dari aku."

Yura meringis mendengar ucapan itu. Lebih baik kata Lana? Ohh, dia belum tahu saja bagaimana masyarakat memberikan penghakiman pada wanita yang memiliki anak di luar nikah. Lana belum pernah merasakan jadi dirinya: susah mencari kerja, kelaparan, dibuang, dan digunjing sana-sini.

"Jangan berkata begitu, sementara kamu dikelilingi oleh orang-orang yang menyayangi dan mendukungmu baik secara materi ataupun moril." Ia tak tahan untuk tidak menjawab. Lana harus mengerti bahwa dia jauh lebih beruntung dari dirinya. Ia tak punya masa depan lagi. Setidaknya masa depan yang lebih baik, sementara Lana masih mempunyai segalanya: orang tua dan suami yang setia.

"Kamu masih punya aku atau Karen, Sayang. Kami akan selalu ada untuk kamu."

Ia yang semula menolak menatap Lana karena tak tahan melihat tangis sahabatnya itu pun menoleh dan cukup terkejut saat menyadari ternyata Furi, laki-laki yang pernah ia kagumi ternyata ada di sana juga. Lelaki itu berdiri diam di belakang Lana sembari mengusap lembut pundak istrinya itu. Furi cukup bijak dengan berpura-pura tidak mendengar percakapan antara dirinya dan Lana. Pria itu menatap satu titik di kejauhan dengan pandangan seolah titik itu begitu menarik hingga tak mempedulikan sekitar. Itulah yang dulu membuatnya begitu kagum dan menginginkan Furi. Dia bijaksana dan kharismatik.

Itu dulu. Untuk saat ini, ia tak mempunyai keinginan itu lagi. Hatinya sudah menyerah berharap. Mungkin sudah takdirnya untuk selalu menjadi pusat perhatian, tapi tidak pernah dimengerti dan diperhatikan secara tulus. Itu melelahkan sekaligus menyakitkan.

"Aku bahkan membenci anak yang ada di dalam perutku ini," ujarnya lirih. "Kamu tidak akan pernah tahu rasanya, terpaksa menerima sesuatu yang tidak kamu inginkan dan—"

Ia berhenti berbicara ketika mendengar suara-suara ribut dari luar. Suara wanita yang terus berteriak, "Mana gadis itu?!"

"Siapa?" Yura menatap Lana bingung. Ia saling pandang dengan Lana yang juga tidak mengerti.

"Biar aku lihat dulu." Furi akhirnya melepaskan pelukannya di pundak Lana, lalu berjalan ke arah pintu geser yang menghubungkan kamarnya dengan kamar Lana. Akan tetapi, sebelum kakinya sempat melewati pintu itu, seorang wanita paruh baya sudah menerobos masuk sambil sekali lagi bertanya, "Di mana gadis itu?"

Wanita itu menatap Furi lalu mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Pandangannya berhenti di selimut yang menutupi perutnya yang besar, membuatnya merasa tak nyaman karena ditatap seperti itu. Ia merasa seperti pernah melihat wanita itu, tapi lupa di mana.

"Ohh, kamu?" Ia bertanya prihatin, lalu menghambur ke arahnya.

Yura terkejut tiba-tiba dipeluk oleh wanita paruh baya itu. Tak hanya memeluknya, wanita itu juga menangis sembari mengusap rambut dan punggungnya sembari terus mengucapkan kata maaf.

Antidotum (Cinta Manusia Biasa 2)Where stories live. Discover now