62. Pusat Kehidupan

454 76 7
                                    

Sudah dua bulan berlalu semenjak kecelakaan kerja yang menimpa ayahnya. Semenjak itu pula Robi berubah menjadi sosok yang berbeda. Yura tak bisa mengatakan itu baik atau buruk, tetapi dengan begitu banyak hal yang menuntut perhatian Robi, bengkel dengan segenap urusan dan anak buahnya, sekolah kejar paket C yang harus dia jalani, uang sekolah untuk adik-adiknya, kebutuhan orang tuanya termasuk segala hal yang berhubungan dengan proses penyembuhan ayahnya, lalu Yura dan bayinya.

Setiap hari Robi selalu sibuk dengan berbagai beban tanggung jawab itu. Pagi hari, ia harus mengantar Nisa dan Salwa sekolah, sementara Hawa harus berangkat kerja dan emak harus mengurus bapaknya. Setelahnya, ia bekerja di bengkel sampai saat makan siang. Ia makan dengan cepat bersama Yura, kemudian langsung pergi menjemput Salwa ke sekolah dan mengantarnya pulang sekalian menjenguk bapaknya dan melakukan satu dua hal di rumah orang tuanya yang tidak bisa dikerjakan oleh emaknya sendiri.

Ia kembali bekerja sampai sore hari. Setelah mandi dan mengobrol sebentar dengan istrinya, ia membawa istrinya ke rumah orang tuanya. Setiap sore, ia menggendong bapaknya yang hanya bisa berbaring di kamar untuk duduk-duduk di ruang keluarga agar tidak bosan. Tulang-tulang yang patah telah dioperasi dan disambung kembali tetapi bapaknya masih belum bisa beraktifitas secara normal.

Bisanya Robi dan Yura berada di rumah orang tuanya sampai malam hari, setelah ia membantu bapaknya kembali berbaring di kamar, ia pulang. Terkadang, ia harus pergi lebih dulu menjemput adiknya pulang kerja ketika tidak dia tidak mendapat angkot.

Hawa bekerja di taman kanak-kanak yang direkomendasikan oleh bosnya sebagai pengasuh di tempat penitipan anaknya.

Pernah Yura mencoba membicarakan semua masalah itu dengan Robi karena merasa tidak tega bila Robi harus terus menjalani hidup yang begitu keras dan menuntut.

"Hawa sepertinya sudah sedikit lebih dewasa, Bi. Dia hanya lebih muda satu tahun dariku. Rasanya baik ojek, tidak masalah."

"Kagak, Beb." Robi menjawab tegas. "Aku nggak mau dia mengalami seperti yang pernah terjadi sama kau dulu dan berapa usiamu waktu itu? Kira-kira seumuran Hawa sekarang, kan?"

"Tapi, sampai kapan? Mungkin dia ingin mandiri juga. Kasihan kalau kamu kekang terus."

"Sampai ada laki-laki serius yang mau ambil alih dia dariku."

Yura memilih tidak mendebat suaminya bila sudah seperti itu alasan yang dikemukakan. Dengan tiga adik perempuan yang belum mentas, Robi betul-betul menjaga mereka, bahkan kelewat protektif karena sangat takut apa yang pernah menimpanya dulu terjadi pada ketiga adiknya.

"Aku laki-laki. Jadi aku tau isi kepala kaumku." Begitu kata Robi setiap kali Yura—atas permintaan Hawa dan Nisa—mencoba berbicara agar bisa memberi sedikit kelonggaran pada keduanya. "Laki-laki kalau sudah nafsu, gimanapun wajah ceweknya nggak penting! Mereka cuma butuh kebejatannya tersalurkan."

"Tapi kamu nggak gitu, kan?" Kalau Yura membaca suasana hati suaminya mulai buruk, ia mengalihkan itu dengan sedikit menggoda.

"Aku dah dapat berlian, ngapain mau ngorek-ngorek sampah."

Yah, begitulah Robi. Meski di tempat kerja dia adalah sosok yang sangat santun dan disegani, tetapi kepribadian dia yang paling mendasar masih tetap sama. Hanya saja dengan lingkungan kerja yang serba teratur dan disiplin, ia akhirnya harus menjelma menjadi sosok berbeda.

Setiap malam, Robi akan tidur sangat pulas, bahkan tidak pernah lagi terbangun ketika Yura harus pergi buang air kecil. Ia begitu kelelahan dengan segala rutinitas hariannya.  Yura memahami itu dan tidak ingin menambah beban suaminya. Sebisa mungkin, ia melayani Robi sebaik mungkin karena seperti yang selalu Robi katakan bahwa dirinya adalah tempat pulang bagi lelaki itu. Hanya dengan bersamanya, mendengar desah napasnya, Robi merasa damai, begitu katanya.

Antidotum (Cinta Manusia Biasa 2)Where stories live. Discover now