60. Kewajiban

420 74 7
                                    

Sore itu bengkel tutup lebih cepat dari biasanya. Beberapa montir harus mengikuti pelatihan untuk upgrade skill di bengkel pusat. Robi tidak turut serta karena ia sudah mengikuti pelatihan itu beberapa hari sebelumnya. Pelatihan itu digilir.

Selepas mandi, Robi duduk di depan meja makan sambil menyeruput kopi buatan istrinya. Ia belum berganti baju, hanya mengenakan celana pendek sambil bertelanjang dada. "Malam nanti makan apa?" Ia bertanya pada istrinya yang terlihat sibuk di dapur.

Yah, semenjak mereka pindah ke bengkel, istrinya itu makin sering berkreasi di dapur. Ada saja yang ia buat. Apalagi dengan adanya air fryer dan microwave, istrinya itu makin sering membuat menu yang baru bagi lidahnya.

Karena tidak menjawab panggilannya, Robi berdiri menghampiri istrinya. Senyumnya merekah melihat wajah serius Yura yang sedang menggulung adonan. Dia bahkan tidak menyadari kehadirannya.

Robi bersandar di samping lemari pendingin sambil terus mengamati istrinya yang luar biasa cantik. Berjuta bahagia dan bangga menyergap dada karena dianya lelaki beruntung yang bisa memiliki Yura. Tidak hanya cantik, Yura juga sosok istri yang bisa menenangkan hatinya. Meski memiliki sifat keras kepala, tetapi Yura tahu kapan harus menahan diri dan menuruti pendapatnya. Itu satu hal yang sangat ia syukuri.

Mereka jarang bertengkar kecuali untuk masalah kecemburuan yang terkadang sulit untuk diatasi. Robi sendiri tidak mengerti mengapa Yura harus repot-repot cemburu, sementara ia rela menukar segala hal yang ia miliki demi wanita itu. Tapi, ya sudahlah, dengan kecemburuan yang terkadang meledak-ledak itu, Robi jadi tahu bahwa istrinya masih mencintainya. Justru, ketika cemburu itu sudah tidak ada lagi, ia patut merasa takut.

Tatapan Robi jatuh pada jemari lentik Yura yang menggulung-gulung entah adonan apa itu. Pikirannya langsung melayang, seandainya saja jemari lentik itu ....

Ahh! Ia menampar pikiran kotor yang muncul di kepala, lalu mengalihkan pandang. Kali ini, sorot matanya jatuh pada tengkuk istrinya yang terpapar karena rambutnya digelung tinggi ke atas. Putih, bersih, dan mulus. Itu juga yang jadi satu kebanggaan tersendiri baginya, karena meski cantik dan putih, tetapi itu semua alami.

Dulu, saat pertama kenal Yura, ia sempat mengira bahwa istrinya itu pastilah cewek mahal dengan berbagai perawatan dan skin care yang pastinya tidak murah. Dalam hatinya terus mencibir, cantik buatan buat apa?

Akan tetapi, itu hanyalah kata-kata sinis yang ia gunakan untuk meredam ketertarikan yang sulit ia tolak pada Yura kala itu. Ia begitu benci dengan rasa sukanya. Benci karena Yura adalah sosok yang tak akan bisa terjangkau saat itu. Kepalanya terus saja memuntahkan berbagai makian dan cibiran untuk Yura dengan maksud mengobati sedikit sakit di hatinya setiap kali Yura bersikap acuh padanya atau tidak mau memandangnya barang sedetik saja.

Untungnya semua makian dan hinaan itu hanya ada di dalam kepalanya saja saat itu. Karena kalau sampai terlontar, ia tak tahu bagaimana cara meminta maaf dan menebusnya pada Yura.

Robi memutus jarak antara dirinya dan Yura. Ia memeluk istrinya itu dari belakang, lalu mencium tengkuk yang sejak tadi menarik perhatiannya.

"Bentar, Bi." Yura menggerakkan kepalanya ke samping, menolak dengan halus perlakuan mesra suaminya.

"Adonan itu lebih penting dari aku?" Robi bertanya tanpa melepas pelukannya.

"Bukan gitu." Yura menjawab tanpa menoleh. Tangannya terangkat, membuka pintu rak di atas, dan mengeluarkan plastik wrap. Ia membungkus baskom berisi adonan tadi dengan plastik itu, lalu memasukkan baskom tadi ke dalam chiller.

Ia bergeser dengan sedikit kesusahan menuju wastafel untuk cuci tangan. Robi masih mengikuti setiap gerakannya dengan memeluk pinggangnya erat. Setelah mengeringkan tangan, ia berbalik menghadap Robi. "Maaf, aku tidak bermaksud mengabaikan mu."

Antidotum (Cinta Manusia Biasa 2)Where stories live. Discover now