48. Beban

438 77 9
                                    

Robi tak bisa tidur malam itu. Ada yang begitu membebani pikirannya. Soal Yura dan kehamilannya. Yah, mau tak mau ia akhirnya harus menerima kondisi itu agar bisa melakukan langkah terbaik mendampingi istrinya sampai bisa melahirkan dengan aman dan selamat. Namun, untuk itu ia harus memiliki lebih banyak waktu bersama Yura dan harus memiliki pekerjaan dengan gaji yang lebih baik. Setiap bulan kontrol ke dokter tentu membutuhkan biaya, belum lagi untuk memenuhi gizi Yura setiap harinya, dan pastinya untuk menabung biaya operasi Caesar nanti juga harus menabung dari jauh-jauh hari.

Robi menatap wajah istrinya yang pulas. Hatinya terpilin. Yura, gadis yang berasal dari keluarga terpandang itu rela menghabiskan hidup susah bersamanya. Hatinya selalu meronta, berharap nasibnya berubah agar bisa membahagiakan Yura dan keluarganya. Namun, apa daya, tanpa pendidikan yang memadai, tak ada hal berarti yang bisa ia lakukan.

Robi turun dari ranjang dan berjalan tanpa suara ke luar kamar. Ia memutuskan untuk pergi dan nongkrong sebentar di pos kamling, hal yang sudah lama tak pernah ia lakukan lagi semenjak menikah. Biasanya, kawan-kawannya di kampung berkumpul di sana, selain untuk menjaga gerbang kampung juga sekalian menginap sambil main karambol.

Di pos kamling ternyata ada Furi. Ia cukup terkejut, tak menyangka kawan ya itu masih menyempatkan diri nongkrong di pos.

"Lana sama sapa?"

"Tidur. Sendiri. Yura?"

"Sama. Tidur juga."

Sementara itu, kawan-kawannya yang lain menyambut kedatangannya dengan berbagai ucapan dan pertanyaan yang cukup menyebalkan untuk didengar.

"Diusir sama Bebi?"

"Bikin salah apa, Bor, ama Bebi, sampai ditendang ke luar malam-malam gini?"

"Masalah apa? Si Bebi cemburu lagi?"

"Makanya, dah dikasih bini paket komplit, kagak usah lirik-lirik yang laen lagi."

"Kagak." Robi menanggapi sambil lalu. Tangannya meraih gelas kopi entah punya siapa yang masih sisa setengah, lalu menyeruputnya sedikit. Setelahnya, ia mengambil piring berisi ketan bubuk yang sisa sedikit di daun pisang. Kawan-kawannya tak ada yang protes. Itu sudah jadi hal biasa di antara mereka. Minum dan makan bersama dari wadah yang sama.

Saat ia makan ketan bubuk itu, kawan-kawannya melanjutkan bermain karambol dan remi. Hanya Furi yang terus mengawasinya diam-diam sambil sesekali mengomentari obrolan yang lain.

"Kau lagi ada masalah sama Yura?" Furi berbisik lirih agar yang lain tidak ikut mendengarkan.

"Kagak."

"Boy." Furi menepuk lutut Robi yang ditekuk ke atas. "Kau sudah seperti sodaraku sendiri. Sejak kecil kita bareng-bareng, kadang makan sepiring bareng. Kita sudah hafal sifat satu sama lain. Janganlah ngelak. Ada apa?"

Robi bimbang. Dari sekian banyak kawannya, Furi memang yang paling dekat. Bahkan, bisa dibilang dia adalah satu-satunya orang yang ia percaya untuk menjaga rahasianya yang paling dalam sekalipun, tetapi untuk mengatakan perihal masalahnya kali ini ia malu. Masalah pekerjaan, masalah uang, dan Yura. Karena dulu, saat ia dikeluarkan dari sekolah, Furi adalah orang yang paling bersedih dan menyayangkan hal itu melebihi kedua orang tuanya.

Saat itu, Furi mendorongnya untuk bisa kembali bersekolah, menjelaskan pentingnya sekolah.

"Sekolah nggak bikin aku kaya dan sukses, Fur!" Tegasnya saat itu.

"Memang, tapi sekolah memperbesar kemungkinan kau jadi kaya atau sukses, Boy."

Akan tetapi, saat itu ia tetap memutuskan untuk tidak lanjut sekolah. Hatinya tergerak untuk ikut bekerja membantu orang tuanya membiayai kebutuhan rumah tangga. Adik-adiknya masih kecil kala itu dan emaknya pun belum bisa membantu mencari tambahan uang seperti sekarang, berjualan jus dan membuka warung kecil-kecilan. Apalagi, ayahnya yang hanya seorang tukang juga kadang harus nganggur lama kalau tidak ada yang memakai jasanya.

Antidotum (Cinta Manusia Biasa 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang