43. Aib

405 73 12
                                    

Hari itu, les private Yura bersama Bik Lastri dimulai. Mereka hanya berdua saja di rumah Lana karena sahabatnya itu ada kelas pagi dan yang pasti Furi akan setia menemani selama Lana kuliah.

Yura sudah cukup lama mengenal Bik Lastri hingga ia tak merasa canggung sana sekali ketika meminta diajari banyak hal. Bik Lastri akan mengajarinya dengan telaten.

Yura memilih belajar mencuci dan menyetrika lebih dulu karena ia tak tega bila Robi yang harus melakukan semua itu setelah lelah bekerja. Ia membawa semua cucian kotornya dan Robi dari rumah untuk dijadikan bahan belajar.

Bik Lastri mengajari dengan sabar bagaimana cara membersihkan noda juga bagian-bagian mana saja pada baju yang biasanya rawan kotoran membandel dan bagaimana cara membersihkannya dengan cepat. Selain itu, ia juga belajar bagaimana cara memeras pakaian yang sudah dicuci dan dibilas karena tak pernah tega minatnya melakukan itu.

Sambil menunggu pakaian yang sudah dijemur itu kering, Yura belajar beberapa resep sederhana dengan bahan seadanya yang sangat mungkin ia praktikkan di rumah. Yang pertama adalah nasi goreng jadul yang hanya membutuhkan nasi putih dan bawang merah serta cabai sebagai bumbu. Karena Bik Lastri berasal dari kampung yang sangat terpencil, jadi banyak resep-resep ala orang kampung yang bisa ia pelajari.

Setelah membuat nasi goreng itu, Bik Lastri izin pulang dulu karena tiba-tiba saja mama Lana menelpon meminta disiapkan makan malam dengan pantas karena akan ada kerabat yang datang menginap.

"Belajar setrika sama resep yang lainnya besok aja, nggak apa-apa, kan, Non?" Bik Lastri memasang wajah menyesal. "Bibik harus ke pasar ini."

"Iya, santai ajalah, Bik. Aku malah makasih banget ini, hari ini sudah dpast banyak pelajaran." Yura tersenyum hangat.

"Iya, ini Bibik harus segera ke depan karena Pak Diding mau jemput buat antar belanja."

"Iya, nggak apa-apa, Bik." Yura membantu merapikan dapur Lana supaya bersih seperti sedia kala. "Ehh, Bik Lastri ke pasar yang ada di dekat terminal itu, bukan?"

"Iya, Non. Lebih deket ke situ aja. Lha, ini ibuk bilangnya juga mendadak."

"Wah, aku boleh nebeng, nggak?"

"Nebeng ke mana?"

"Ya ke pasr. Aku mau anterin nasi goreng ini buat suamimu." Yura tersipu membayangkan reaksi Robi nanti. "Ini dah hampir tengah hari. Nanti aku pulangnya bareng Robi aja."

"Ohh, gitu. Boleh, deh, Non."

Setelah membungkus nasi goreng itu ke dalam kertas bungkus, keduanya menunggu Pak Diding di depan gerbang kampung. Perjalanan ke pasar tak memakan waktu lama karena siang itu jalanan tidak terlalu padat.

Yura sudah tau tempat kerja Robi dan kebetulan Pak Diding juga memilih memarkir mobilnya tak jauh dari situ. Jadi, begitu turun dari mobil, Yura mencari-cari sosok yang sangat ia cintai itu. Hatinya jumpalitan ketika sosok Robi keluar dari dalam untuk kembali menurunkan karung dari truk.

Tanpa memanggil, ia menghampiri  tempat kerja Robi. Suaminya itu sudah kembali masuk ke dalam dengan dua karung besar yang terlibat berat ada di punggungnya. Ia berdiri di depan gudang sambil menunggu suaminya itu keluar.

"Bi!" Ia setengah menjerit ketika akhirnya Robi muncul dari dalam gudang.

"Beb!" Robi melotot sampai matanya hampir lepas melihat istrinya berdiri di depan gudang. "Ngapain ke sini lagi?" Ia bertanya gusar sambil menoleh ke sekitar, berharap belum ada orang yang menyadari kehadiran istrinya yang sempat menggemparkan pasar itu.

"Anterin makan siang buat kamu." Yura tersenyum tanpa merasa bersalah.

"Kagak usah!" Robi terlihat marah. "Pulang, nggak?!"

"Kenapa, sih, Bi?" Yura cemberut. "Kasih tau dulu alasannya kenapa aku nggak boleh ke sini. Kalau masuk akal, aku pulang sekarang."

Robi berusaha keras menahan suaranya agar tidak berteriak. "Aku nggak mau ada yang melecehkanmu."

"Ohh, soal itu. Aku rasa aku bisa mengatasinya."

Robi mengacak-acak rambutnya, kesal karena Yura cukup keras kepala untuk diberi tahu. Padahal, ia sangat tidak ingin ada satu kata saja yang merendahkan istrinya. Tapi mengapa Yuranya ini seolah tak peduli pada hal itu.

Akan tetapi, sebelum Robi bisa memahamkan Yura, mandornya yang terkenal mata keranjang dan suka main perempuan keluar dari dalam gudang.

"Wah-wah, siapa ini yang datang?"

"Dia cuma antar makan siang, Bos. Bentar lagi langsung pulang." Robi berusah bicara sesopan mungkin tapi tak bisa.

"Lho, ya, jangan begitu. Istri sudah jauh-jauh datang, masak mau langsung disuruh pulang." Mandor Robi meneliti Yura sambil sesekali menjilati bibirnya sendiri. "Kalau boleh tau, siapa kemarin namanya, saya kok lupa?"

"Yura." Yura menjawab sambil tersenyum manis.

"Yah, sayang sekali wanita secantik kamu harus menikah dengan dia." Mandor itu melirik Robi dengan gestur mencemooh.

"Ohh, iya. Karena saya sejak kecil tidak bisa cebok sendiri setelah berak dan cuma dia yang mau bantu saya cebok. Makanya, saya memaksa dia menikai saya."

"A-apa?" Wajah mesum itu seketika menghilang dari wajah mandor Robi.

"Yah, mau gimana lagi. Saya tidak pandai untuk urusan semacam itu. Pembalut saya saja, dia yang pasangin dan gantiin. Yah, maklum saja, saya sejak kecil terbiasa dilayani, jadi sewaktu ayah saya bangkrut, saya betul-betul tidak bisa mengurus diri sendiri." Yura tersenyum lebar melihat ekspresi mual di wajah mandor Robi itu. "Jadi, saat Robi kerja dan saya tidak cebok atau ganti pembalut sampai dia pulang. Sekarang saja—"

Mandor Robi tak tahan lagi mendengar cerita super jorok itu. Ia berpura-pura mengambil ponsel dari saku celana dan mengangkat panggilan yang sebetulnya tidak ada sambil berjalan cepat kembali ke dalam.

Setelah bosnya pergi, Robi meledak tertawa. "Beb! Kau waras, kan?"

"Dia nggak bakal macem-macem lagi." Yura berkata puas.

"Tapi gosip itu bakal menyebar ke seluruh pasar." Robi berhenti tertawa, lalu menatap Yura khawatir. "Orang-orang bakal meledekmu."

"Bagus, dong. Jadi, nggak perlu ada yang kamu khawatirkan lagi kalau aku ke pasar karena orang-orang bakal menjauhiku."

"Kalau mereka menghina dan mencemooh?"

"Aku tak pernah peduli selama itu bukan kamu." Yura berkata mantap. "Omongan orang nggak penting lagi buatku, Bi. Kamu. Hanya kamu."

Robi langsung memeluk Yura, mengabaikan tatapan banyak orang. Satu hal lagi yang membuat cintanya pada Yura kian bertambah. Selain mau berusah payah beradaptasi dengannya, Yura mengorbankan nama baiknya sendiri demi menjaga agar tidak ada laki-laki yang Sudi mendekatinya. Ia yakin, semua itu Yura lakukan demi menjaga hatinya dari rasa was-was dan cemburu.

"Ohh, Bebi. Kau tahu betapa bersyukurnya aku memiliki kau?"

"Itu juga yang ada di pikiranku." Yura berkata sambil menatap seorang pria yang baru saja lewat dan terus menatap ke arahnya. "Ahh, Bi. Aku bau tidak? Dari tadi lagi belum cebok, nih?"

Orang itu langsung melongo, lalu bergegas menjauh.

"Kagak. Bagiku kau selalu wangi. Selalu wangi."

Jawaban Robi sukses mengundang tatapan iba sekaligus mual dari orang-orang di sekitarnya. Mereka yang awalnya merasa iba dengan Yura karena memiliki suami Robi sekarang berbalik arah, menaruh iba pada Robi karena memiliki istri jorok seperti Yura. Yah, itulah pandangan manusia. Hanya semata fisik dan apa yang tampak di luar. Mereka tidak akan pernah memahami arti cinta yang sebenarnya dan ketulusan. Tapi, itu tak penting bagi Yura dan Robi. Karena mereka akan selalu bersama dan bergandengan tangan apapun yang terjadi.

Selamanya, saling percaya dan berpegangan.

***





Antidotum (Cinta Manusia Biasa 2)Where stories live. Discover now