[in your pocket]

416 101 11
                                    

"Tidak ada yang sempurna. Akan selalu ada perjuangan. Kamu hanya perlu memilih dengan siapa kamu ingin berjuang."


Saga masih tercenung di depan laptopnya saat pintu kamar rumah sakit terbuka.

Kemilau Hetami muncul dari pintu dan dengan segera menunjukkan paper bag cukup besar di depannya. Kepalanya memiring sesaat kemudian maju dan menyentuh pelan bahu Saga. "Lo ngapain emang, Ga? Benerin kran air rumah sakit?" serunya.

Rilanti Nansarunai dan Monarza Arkananta yang muncul setelahnya ikut membelalak. "Ga? Lo kenapa?" tanya Mona bersamaan dengan Lanti yang segera menyuruh Saga untuk mandi dan berganti pakaian.

"Kak Anya?" lirih Lanti. "Cepat ganti, nanti masuk angin."

Sebelum hari ini, Saga memang pernah menemukan kakaknya—Anyelir Paramitha Sagala—duduk di bawah shower yang mengalir deras sambil menangis terisak. Kejadian itu sudah tujuh tahun berlalu, saat kakaknya baru saja melahirkan Dion. Yang Saga lakukan kemudian hanyalah bisa meraup tubuh kakaknya yang basah kuyup dan menggantikan pakaian sebisanya. Ia baru menyadari bahwa tubuh kakaknya demam tinggi dan itulah awal petaka yang jelas tak berkesudahan. Bahkan Saga berteriak teredam bantal, seperti masalahnya tidak cukup pelik saja saat itu.

Beruntung setelahnya karir Saga mulai stabil dan ia mendapat sokongan dari orang-orang terdekat yang bukan hanya berlaku sebagai rekan kerja. Bagi Saga, kedekatan mereka melebihi apa pun yang orang lain agung-agungkan sebagai ikatan darah. Persetan dengan ikatan darah! Bagi Saga, satu-satunya darah yang terhubung dengannya hanyalah Anyelir Paramitha Sagala dan Dion Atmadeva Sagala.

Saga melangkah ke kamar mandi tanpa menjawab ucapan Lanti. Rasanya cukup letih sejak peristiwa tadi sore saat Aliefiya meninggalkannya begitu saja di bawah hujan. Saga merasa cukup buruk karena ditinggalkan, namun hatinya jauh lebih sakit membayangkan apa yang dipikirkan oleh gadis itu sekarang. Ia hanya bisa menebak, ini ada kaitannya dengan sepasang suami istri yang mereka temui. Atau pun, kejadian itu membuka kotak memori masa lalu kelam yang ingin gadis itu lupakan. Saga tak tahu yang mana, tapi sekali lagi... saat netra bening itu mengabut dipenuhi air mata, sekali lagi pula nyeri melanda dadanya. Nyaris seperti setiap kali ia menemukan Anya merintih di bawah shower demi menghalau panas tubuhnya.

Saga keluar dengan pakaian yang cukup pantas. Ia yakin, Lanti yang memilihkan pakaian ternyaman di lemarinya dan kondisinya sudah lumayan. Meski lelah yang mendera tak dapat dipungkiri, ia berusaha tersenyum.

"Apa kabar kantor?" Saga lebih seperti bergumam.

"Datang ke sini ditanyain soal kantor," gerutu Kemi. " Lo tuh yang gimana?"

"Udah makan?" desak Lanti. Gadis perhatian itu segera menjejerkan lauk pauk di meja saji. "Makan dulu ya, Ga. Baru cerita."

Saga menyendok makanan dalam diam dan ketiga gadis itu cukup tahu diri untuk tidak berkomentar banyak. Meski Mona yang saat ini langsung mengambil alih laptop Saga sesekali bergumam. "Gue tandain yang perlu lo kroscek ulang, Ga. Jadi pas lo nanti survey lo langsung ke hal-hal yang ini. Oke?"

"Nanti gue ngomong sama King, minta beberapa proyek dialihin ke yang lain ya, Ga, untuk sementara," ucap Kemi pelan. "Gue nggak bermaksud gimana-gimana, tapi sepertinya konsentrasi lo lagi kebagi banget," tambahnya.

"Thanks, Mon, Lan, Kem. Meski kayaknya kalian udah bosan denger gue bilang. Tapi gue bener-bener berterima kasih banget."

"Lo tahu, lo selalu punya kita kan, Ga?" ujar Kemi langsung merangkul Saga dari belakang dan mengacak rambut pemuda itu. "Jadi, mau cerita?"

Saga berbalik menghadap sahabat-sahabatnya. Dahinya berkerut sebentar dan kemudian ia berucap, "Gue juga nggak tahu musti cerita apa. Tapi, tadi siang gue ketemu dia."

AMPLITUDO (Stagnasi #4)On viuen les histories. Descobreix ara