[ wake up call ]

509 106 11
                                    


Langkah tergesa terdengar menggema di pagi buta.

Satu dasi ditarik paksa dari tempatnya hingga menimbulkan bunyi robek. "Buruan! Gue nyaris gila," bentak suara lelaki pertama. Jas putihnya terlempar begitu saja ke bangku belakang bersamaan dasi yang tak berbentuk lagi. Lengan kemejanya terlipat hingga siku. Awut-awutan.

Getaran ponsel terasa di saku celana lelaki kedua yang dari tadi hanya diam tanpa suara. "Hallo?" lirih nyaris seperti bisikan.

"Gil?"

"Ya?"

"Apa pun yang terjadi, kamu harus bisa mengendalikan A'Al dari apa pun yang akan dia lakukan. Apa pun yang nanti akan dia sesali."

"Kuusahakan," jawabnya. Langsung sambungan terputus.

"Siapa?" Lelaki pertama yang sudah berulang kali menggaruk rambut hingga tak berbentuk bertanya dengan nada setengah tak sabar.

"Kalila. Siapa lagi?" tanya Agil retoris.

"Apa katanya? Kenapa dia nelpon lo? Kok nggak nelpon gue?" Setengah menggeram, injakan gas dan pindahan persneling terasa makin liar.

"Dia minta gue mencegah lo lepas kendali."

Al mendelik. Sebelah matanya menyipit dan menemukan bahwa titik lokasi terakhir ponsel adiknya terlacak sudah dekat. "Di sini?" gumamnya tak yakin

Agil hanya mengangkat bahu. Enggan menanggapi sepupunya yang nyaris seperti orang gila. Pagi buta, Aldebaran meneleponnya dan bicara layaknya orang kesetanan. Di antara teriakannya, Agil dapat menangkap bahwa Aliefiya, adik Al satu-satunya, sekaligus sepupu Agil menghilang. Tidak pulang. Dan terakhir lokasi ponselnya terlacak di salah satu klub yang entah sudah berapa tahun tak pernah Aldebaran jajaki. Satu hal yang Al syukuri, ia tak pernah menghentikan pelacak lokasi di ponsel adiknya meski Alief sudah beberapa bulan pulang ke Indonesia.

Lelaki itu kehilangan akal. Panik. Ia nyaris mendobrak pintu klub yang baru saja tertutup. Penjaga yang membuka pintu nyaris membungkuk saat mengetahui siapa yang berdiri menggedor pintu. Lebih baik menyingkir pikirnya. "Mana Beno?" nyaris seperti teriakan.

Orang yang belakangan disebut muncul menyongsong. "Al? Kita udah tutup, tapi buat lo—"

"Mana adik gue?"

"Adik?" Mata Beno menyipit.

"Lokasi terakhir ponsel adik gue di sini," tukas Al.

Beno menepuk dahinya sendiri. "Sebentar. Sebentar."

Al menerobos masuk dan hanya menemukan lengang. Tempat itu bersih, tak ada satu pun orang selain petugas kebersihan yang hilir mudik.

"Ini bukan sih?" Beno menunjukkan sebuah foto di ponsel nya. Meski gelap dan rambut gadis itu menutupi seluruh wajahnya, sekali lirik Al langsung tahu itu siapa.

"Di mana dia?" desak Al. Amarahnya sudah mencapai ke ubun-ubun. "Dan lo, lo kirim foto adik gue ke siapa?!" Kerah Beno terangkat karena Al menariknya. Lelaki di hadapannya nyaris sesak napas. "Ngapain lo ngirim foto adik gue sembarangan, hah!"

"Al...," suara rendah Agil memperingatkan. Al melepaskan cengkeramannya.

Beno terbatuk dan tersengal beberapa kali, meski tidak terima atas perlakuan Al, ia tidak yakin menyuarakan protesnya. "Gue pikir, gue ngirim ke kakaknya. Adik lo mabuk berat di sini dan di tangannya menggenggam kartu nama. Dan nomor itu lah yang gue hubungi," terangnya.

Dengan sigap Agil mengambil ponsel Beno dan menekan tombol panggil. Beberapa jeda kemudian, hanya suara operator yang memberitahukan bahwa ponselnya dalam keadaan tidak aktif.

"Sial!" rutuk Al.

"Yo, Haryo," suara Beno nyaris berteriak. Penjaga yang dari tadi siaga di pintu mendekat. "Kamu ingat nggak, cewek pakai baju selutut yang pakai jas kebesaran tadi malam?"

"Oh, yang digendong itu, Mas?"

"Digendong?" Al lagi-lagi setengah berteriak.

"Mbaknya mabuk banget, jadi sama yang jemput akhirnya digendong.

"Siapa?" tanya Agil.

"Laki-laki. Pakai kemeja gini juga," tambah Haryo menunjuk apa yang dikenakan Al.

"Cek CCTV parkiran, cari nomor plat atau apa pun," tukas Agil saat Al menggeram di sisinya.

Beno bekerja cepat. Ia memerintahkan anak buahnya memutar rekaman dan dengan cepat mereka menemukan adegan Aliefiya terseok di depan pintu. Saat itulah adiknya diraup dalam dekapan dan satpam seperti yang diceritakan membantu membukakan pintu. Saat lelaki itu berbalik dengan gestur mengucapkan terima kasih, Al menyadari sosok yang terekam di CCTV.

"Sial!" makinya. Setelahnya, entah kenapa ia bernapas sedikit lega. Paling tidak ia tahu harus ke mana mencari laki-laki itu.

Di belakang Al, Agil menggunakan ponselnya untuk kali pertama. "Lacak posisi mobil yang platnya saya kirimkan."

Lima menit kemudian, sebuah pesan singkat masuk ke ponsel Agil.

The Raikan's Sudirman.

[amplitudo]

"Saya tahu ini privasi!" Suara Al lagi-lagi menggelegar. "Tapi, saya perlu tahu kamar berapa dan minta kucinya!"

Al nyaris terengah saat menghampiri resepsionis dengan mobil yang diparkir sembarangan. Agil sebaliknya. Dengan ketenangannya ia mengambil alih kemudi dan memarkir mobil Al dalam posisi yang lebih baik. Ia berjalan pelan menyusul sepupunya. Dari lobi, ia bisa melihat Al meneriaki siapa pun yang tengah sial di depannya.

"Panggil manajer kamu!" teriak Al lagi. Perempuan di depannya mengambil handie talkie dengan tangan bergetar.

"Sabar, Al," pinta Agil, ia mengambil alih dan menggeser Al. "Maafkan sepupu saya, ya," ucapnya tulus.

Suara tergopoh datang di belakang. Keduanya berbalik ke arah suara. "Lho, Mas Agil? Ada apa?"

"Saya mau minta bantuan, Frans," Agil menyambar sebelum Al buka suara. "Adik saya tadi subuh ke sini. Sampai sekarang ponselnya tidak bisa dihubungi."

"Aliefiya Restu Bachtiar, coba cek," pungas Al.

Perempuan yang sempat gemetar akibat teriakan Al bekerja dalam diam. "Tidak ada reservasi atas nama tersebut."

"Incognito?" desak Al lagi.

Lagi-lagi perempuan itu menggeleng.

"Kalau begitu laki-laki yang check in pukul dua pagi," ucap Al menggeram lagi.

Frans mengambil alih mengecek monitor. "Adipati Paramartha Sagala."

"Kamar berapa?" tangan Al terulur.

Frans menatap Agil sekali lagi. Agil mengangguk.

Kartu akses berpindah tangan. Dan sekali lagi dua pria empat puluh tahunan itu berlari ke lift.

Bunyi drrt pelan dan pintu menjeblak terbuka.

Pemandangan di depannya membuat Al tak kuasa menahan amarahnya.

"Aliefiya Restu Bachtiar!!!" lolongnya.

Seperti adegan di sinetronklise yang biasa tayang di televisi. Pemeran perempuan duduk seraya mengucekmata dan pemeran laki-lakinya tersentak lalu duduk, dan berujar dengantersengal, "Semua ini bisa dijelaskan...."


Note:

Wakakakak...ini di luar prediksi saya. Bulan-bulan kemarin saya dilanda kesibukan kuliah dan kerjaan yang datangnya macem air bah. Saya kudu sidang akhir, revisi, konsul, ngejar dosen, dll. Intinya, semoga setelah ini bisa istiqomah..wkwk

AMPLITUDO (Stagnasi #4)Where stories live. Discover now