[girls like you]

3.6K 616 68
                                    

-Segala sesuatu memiliki kesudahan, yang sudah berakhir biarlah berlalu dan yakinlah semua akan baik-baik saja.-


Apa memang sudah menjadi sebuah kewajaran yang umum kalau seorang ibu pasti dilengkapi dengan sifat drama.

Aliefiya sebenarnya sudah memperkirakan sambutan seperti ini, tapi tetap saja saat itu terjadi... tenggorokannya tersekat dan membuatnya sangat tidak nyaman. Hatinya rasa dicabik-cabik saat menatap bundanya yang berurai air mata. Ini juga yang membuat Alief awalnya kepingin pulang ke apartemen, tapi menurut Al... mau muncul malam ini atau kapan, tetap saja bunda akan menyambutnya dengan tangisan.

"Nda, udah, ya, Alief udah di sini," bisiknya. Dan makin kencanglah tangisan bundanya. Alief mengedarkan pandangan meminta tolong pada kakaknya. Karena hal yang ia takutkan adalah, pertahanannya jebol dan ikut menangis karena bundanya. Hatinya sakit, melihat bunda mengkhawatirkannya seperti ini. Andai boleh memilih, Alief lebih suka diomeli daripada bunda memeluknya dalam tangis.

Rasa tak nyaman itu mulai menghinggapi dan Alief tanpa sadar menempatkan tangannya di pundak ibunya. Didorongnya pelan agar sang bunda tak merasa tersinggung, "Nda, udah, Nda," ucapnya.

Kali ini bunda beralih ke pelukan kakak lelakinya. Dan lagi-lagi tersedu di situ. Berbeda dengan Alief, Aldebaran justru memeluk erat dan mengusap punggung ibunya menenangkan.

Mau tak mau, sedikit banyak Alief merasa lega. Kalau dulu, ia sering sekali menenangkan bundanya setiap kali kakaknya berbuat onar—seperti memacari perempuan tak jelas yang entah ketemu di mana—tapi kini, giliran kakaknya menenangkan bunda.

"Nda, udah, ya... Alief sekarang udah di sini," ucap Al. "Alief juga perlu istirahat, kalau kita semua pada berdiri di sini sampai beberapa jam, takutnya kakinya pada kram semua. Ngomong-ngomong Al tadi udah berdiri nyaris empat jam, lho, pas operasi," oceh kakaknya. Dan itu membuat senyum sedikit terkembang di antara mereka.

Bunda melepaskan pelukan. Beliau hanya mengangguk saat Alief berlalu menuju tangga disertai Al yang menggeret kopernya di belakang. Saat menaiki tangga, satu tangan lagi merangkul Alief dalam pelukan. Alief bisa merasakan wanita mungil itu harus berjinjit dan dengan pengertian Alief menurunkan rangkulan itu ke pinggangnya. Ia ganti melingkupi pundak kakak iparnya dengan pelukan yang sama eratnya.

"Livie, sehat?" Hanya itu yang mampu Kalila ucapkan.

Alief mengangguk dan ketiganya beranjak menuju kamar Alief. Alief menghempaskan diri di kasurnya sementara Al meletakkan koper. Ia memejam, lalu berbisik pelan, "Thanks, A'Al, Teh Lila."

"Untuk?"

"Untuk membuat Bunda tidak bertanya apa pun saat ini."

"Tetehmu yang banyak menenangkan Bunda. Lief. Tetehmu juga yang bilang kalau Bunda harus mengontrol emosinya."

"Iya, makasih, ya, Teh. Apa jadinya tadi tanpa kalian."

Kalila menghela napas. "Bagi Bunda, Ayah, A'Al, Teh Lila, dan yang lain... hal paling penting itu adalah Alief ada di sini, di tempat yang bisa kami lihat dan kami jangkau, Lief. Sisanya... bisa dikompromikan. Lagian... Teh Lila yakin, kalau waktunya tiba, Alief pasti mau cerita. Iya kan?"

Alief mengangguk pelan. "Thanks, Teh. Padahal ini sudah setahun, tapi kok rasanya berat banget buat Alief, Teh," ungkapnya.

Kalila mendekati adik iparnya, dielusnya perlahan rambut Alief yang berbaring menelungkup. "Setiap orang, punya waktunya masing-masing. Nggak ada yang bilang lebih cepat atau lebih lambat, Lief. Semua menghadapinya dengan cara berbeda. Yang penting, Alief tahu... kalau kami nggak pernah biarin Alief sendirian. Kami akan selalu ada di sini, setiap saat Alief membutuhkan. Karena kita adalah keluarga."

AMPLITUDO (Stagnasi #4)Onde as histórias ganham vida. Descobre agora