[prolog]

4.1K 665 22
                                    

Jakarta, sepuluh tahun lalu.

Siang itu panas terik. Cuaca itu juga yang membuat Saga menghentikan langkah dan masuk ke sebuah mini market untuk membeli sekaleng minuman dingin pelega tenggorokan. Ditenggaknya perlahan sambil menyusut keringat yang mulai turun melintasi pelipis. Ia menghela napas, sambil mengintip pantulan penampilannya di kaca besar yang terpasang di bagian atas pintu keluar. Dikeluarkannya ponsel dari saku untuk mengecek waktu, masih ada tiga puluh menit untuknya menyeberang jalan dan memasuki kantor yang beberapa waktu yang lalu mengiriminya surel pemanggilan kerja.

"Cukup oke," putusnya, mengomentari penampakan sendiri. Ia keluar dari mini market dan Jakarta seperti halnya penguasa yang kadang tak ramah kepada penghuni baru, langitnya memberontak tiba-tiba. Hujan mengucur deras membuat Saga tersentak mundur demi menyelamatkan diri. "Astaga," cetusnya. Pandangannya menyapu kaleng dingin yang isinya pun belum habis ditenggak. "Jakarta memang gila, kayak yang orang-orang bilang. Ckckck."

Saga lagi-lagi mengeluarkan ponsel dan kini menyadari waktunya hanya tersisa lima belas menit. Ia menghela napas, jelas sudah mengambil pilihan pertama. Penampilan berantakan akibat menerobos hujan masih lebih baik daripada kehilangan kesempatan mendapat pekerjaan. Ia menarik napas, matanya berkeliaran menatap beberapa tempat yang masih memiliki penutup, mencoba meminimalkan risiko basah kuyup.

Ia nyaris melangkahkan kaki saat sebuah suara menyentaknya. "Eh, tunggu!" Saga menoleh. "Mau menyeberang?" Gadis berbaju kasual dengan rambut berantakan diikat tinggi bertanya dengan alis separuh terangkat. Saga mengangguk. "Ke mana?" tanyanya lagi.

"Kantor Arven Tanudiredja."

"Tunggu bentar." Saga tidak yakin gadis itu berbicara dengannya, lebih menyerupai gumaman. Tak lama, sebuah mobil hitam dengan pintu geser terbuka tiba di hadapan mereka berdua. "Ayo, naik!" ajaknya. Saga bengong sejenak. "Daripada basah, ayo!" Kali ini lebih menyerupai perintah. Saga langsung bergegas dan wangi yang memanjakan hidung seketika menyergap penciumannya. Saga mengerjap melihat mobil semewah ini.

"Neng?"

"Puter balik depan, Pak. Anterin dulu Mas ini ke kantor di seberang sana," ucapnya tanpa jeda.

"Tapi, Neng, nanti telat lho—"

"Jalan, Pak. Puter balik di depan," ulangnya.

Sesampainya di pelataran kantor Arven Tanudiredja and Partners, pintu mobil terbuka otomatis dan Saga sempat terkesiap sebelum turun dan membungkuk sopan.

"Tunggu!" Suara itu lagi, membuat Saga menghentikan langkah. "Bawa ini, siapa tahu pulangnya nanti hujan lagi." Sebuah payung terulur, dan Saga menggeleng cepat. "Udah, nggak papa. Buruan. Udah telat kan?" Suara itu mendesak. Saga mau tak mau menerima dan jemarinya langsung merasakan pahatan huruf timbul di gagangnya. ARB. Saga mengangkat kepala dan gadis itu tersenyum hangat. "Nanti minta payung lagi, Pak, yang ini biar dibawa sama Mas ini," ucapnya riang.

"Saga," ucap Saga, meski nyaris tergeragap. "Nama saya Saga, bukan Mas ini," ucapnya sambil tertawa.

"Ah, oke. Saga." Gadis itu mengangguk-angguk. "Semoga sukses, ya." Mobil mewah itu meluncur meninggalkan Saga yang masih mematung.

"Terima kasih, ARB." Saga melafalkan tiga huruf terakhir dengan pelan."

Dan Saga mengingatnya dengan baik.

[amplitudo]

Jakarta, masa kini.

Hari ini, masih sama teriknya dengan beberapa hari belakangan. Dan hal itu tidak membuat Alief menyurutkan niat untuk melakukan ritual mingguannya, menyambangi bioskop dan menonton berbagai film. Seperti yang selalu ia lakukan selama empat tahun terakhir.

Panggilan untuk memasuki studio sudah bergema saat Alief mencetak tiketnya, lalu bergegas memasuki dan menuju seat yang selalu ia pilih. Kursi di sayap kiri tengah yang paling dekat dengan layar dan hanya terdiri dari dua seat dan dipisahkan koridor jalan untuk penonton. Kali ini ia harus menghela napas. Ada orang yang menempati sisi sebelahnya. Alief benar-benar menyesali, kenapa ia tak membeli dua seat saja sekaligus! Ia sama sekali tak kepikiran bahwa ada orang yang bakal memesan sudut paling tidak nyaman saat menyaksikan tayangan ini.

Setengah menghela napas, Alief tetap menghempaskan diri dan ia mengerutkan dahi saat menemukan orang di sebelahnya mengeluarkan dengkur halus teratur.

"Orang macam apa sih yang tidur di bioskop?" gumamnya pelan. Dan gumaman itu membuat orang di sebelahnya bergerak.

Keheningan mulai tercipta, terganti dengan suara nyaring sound system. Alief mencoba memfokuskan pandangan dan mengikuti jalan cerita, meski sejak sepuluh menit yang lalu benaknya terus berlarian antara lelaki yang sepertinya tidur nyenyak di antara gemuruh film dan rasa di hatinya yang mulai penuh menyesaki dada. Sudut matanya memanas.

Dulu ia berada di sini dengan genggaman tangan dari seseorang.

Dulu yang ada di sebelahnya adalah lengan kokoh tempat ia menyurukkan wajah saat adegan mengerikan tayang di bioskop.

Dan dulu, ada jemari yang mengucek kepalanya atau mencium pelipisnya saat ia terlena dalam film romantis di hadapannya.

Iya, itu dulu.

Dan kini, air mata mulai turun perlahan. Membasahi pipi dan terus turun meski di hadapannya justru terpampang adegan perang. Ia menyusut air mata dengan tangan dan berusaha mati-matian menahan senggukan.

Ini sudah pekan ke lima puluh yang ia lewati sendirian, dan air matanya seolah belum kehabisan stok untuk membanjiri wajahnya. Susah payah ia menghela napas dan berusaha menyeka, namun kelindan fantasi tentang tangan yang mungkin sekarang tengah mengucek kepala gadis lain membuatnya tergugu sesak. Ia memejam.

Saat ia membuka mata, Alief terkesiap. Mata yang tadi tertutup diiringi dengkur halus kini menatapnya tanpa kerjap.

"Fi-filmnya sedih," ucap Alief terbata.

Lelaki itu menoleh sebentar ke layar, menghela napas dan berucap, "Iya, filmnya sedih."

Alief sedikit terkejut karena mengira lelaki itu akan mendebat. Namun, saat keterkejutannya belum lagi hilang, tangan itu terulur menyodorkan sapu tangan. Alief menerimanya dan ia menyeka air mata yang membasahi pipi. Pandangan itu masih mengiringinya. Diikuti dengan sebotol air mineral yang tutupnya baru saja dibuka. "Minum," ucap lelaki itu. Entah kenapa, Alief hanya bisa menurut dan tegukan itu benar-benar melegakan tenggorokannya yang tersekat.

"Te-terima kasih, Mas...."

Credit title yang tayang di hadapan mereka diikuti dengan lampu yang mendadak benderang. Sebuah senyum hangat langsung tersungging dari lelaki di hadapannya. "Saga, nama saya Saga," ucap lelaki itu.

"Ah, oke. Terima kasih, Saga," ungkap Alief akhirnya. Setelahnya air matanya berhenti mengalir tiba-tiba.

Lelaki itu berdiri bergegas karena ponsel yang ia pegang layarnya menyala tanda panggilan masuk, meninggalkan Alief yang masih mencengkeramerat  sapu tangan dan botol air mineral.

Dan Alief, merasa yakin pernah melihat wajah itu dengan baik.


Notes:

Berbeda dengan tiga seri sebelumnya yang menggunakan sudut pandang orang pertama, untuk Saga kecayangan bakal menggunakan sudut pandang orang ketiga. Enjoy!

AMPLITUDO (Stagnasi #4)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang