[hands all over]

508 118 6
                                    

Andai terlambat satu detik saja, Saga jelas tak tahu seperti apa bentuk rahangnya.

Menggantung di udara, tangan Al yang terkepal kuat berhasil ditahan dengan sempurna oleh satu tangan lain. Lelaki kedua yang belum pernah dilihat Saga menggeleng tipis. "Jangan ngelakuin sesuatu yang bakal lo sesali," ucapnya pelan.

Di hadapannya, Aldebaran masih tersengal dan menggeram dengan tangan terkepal. Tapi, Agil Raikan Bachtiar juga tak kalah kuatnya untuk menghadang.

"Aliefiya." Nadanya rendah, tak terdengar meninggi apalagi membentak. Saga langsung merasakan aura berbeda dari lelaki yang barusan bicara. Susah dijelaskan, tapi mampu membuat Saga kesusahan menelan ludah. Seperti diintimidasi terang-terangan dan baru kali ini ia merasa tak memiliki energi untuk melawan. "Pakai bathrobe-nya," lanjutnya seraya melemparkan jubah mandi yang tergeletak di lantai ke arah Aliefiya yang terlindung selimut. "Kami tunggu di ruang tamu," tambahnya sambil menyeret Aldebaran yang masih mendengus penuh amarah.

"I-iya, A'Agil," cicit Aliefiya.

"Sebentar," larang Saga saat Aliefiya ingin menyibak selimutnya. "Aku ke kamar mandi sebentar baru kamu pakai bathrobe-nya, lalu kamu bisa ke kamar mandi dan berpakaian layak."

Di detik itu, Aliefiya baru menyadari kondisinya. Matanya melebar saat mengetahui bahwa ia tak mengenakan sehelas benang pun. Lalu matanya memejam, "Astaga, gila. Mati aku!"

Saga melangkah ke kamar mandi, membasuh muka dan menyikat giginya. Kemudian menghela napas. Setelah memperhitungkan beberapa saat, ia membuka pintu kamar mandi dan menemukan Aliefiya berdiri mematung. "Maaf, belum sempat nyariin kamu baju. Nggak papa, ya, pakai yang tadi malam dulu. Tadi malam bagian yang kena muntahan sudah kubersihkan dan kukeringkan."

Gadis itu hanya mengangguk. Kemudian melangkah masuk.

Saga membenahi bajunya yang juga berserakan di lantai. Mengenakan dengan otomatis tanpa berpikir. Di benaknya menari-menari banyak hal lain yang entah kenapa seperti dipaksa dijejalkan di kepalanya. Mulai dari bagaimana ia jatuh tertidur tanpa tahu apa-apa lagi hingga bagaimana kakak Aliefiya bisa masuk ke kamar mereka. Sisi kepalanya berdenyut. Dan ia benar-benar tidak memiliki asupan parasetamol atau kafein untuk meredakannya.

Aliefiya keluar dari kamar mandi mengenakan dress semalam yang meskipun lecek sedikit, tapi tetap tidak bisa meredupkan pesona dirinya di mata Saga. "Hmm... apa pun yang terjadi, kupikir ini tetap sepadan," dendang Saga.

"Apanya?" tanya Aliefiya sambil mengambil scrunchie yang tadi malam diberikan Saga dan mengikat rambutnya ke atas dengan asal-asalan.

"Nggak papa," jawab Saga. "Ehm... kalau boleh tahu, yang tadi, satunya, maksudku... lelaki satunya....?"

"Agil. Kakak sepupuku," jawab Aliefiya. "Sekaligus pemilik hotel ini," tambahnya dengan nada seperti menginformasikan kondisi cuaca.

"Oh, pantas," sahut Saga. "Yuk," ajaknya.

Kedua lelaki yang mereka temui memandang tajam. Aldebaran, duduk di sofa tunggal, sementara Agil duduk di kursi tiga seater dan Aliefiya mengambil posisi di sebelah Agil. Saga, mau tak mau duduk berhadapan dengan seorang kakak yang sedang mati-matian menahan amarah.

"Saya nggak pernah minta Anda di sini," desis Al, kentara nada pengusiran di dalam suaranya.

"Saya di sini atas kehendak saya," balas Saga, mencoba menahan nada suaranya.

"Anda siapa?" gerutu Al lagi. "Tinggalkan kami!" titahnya.

"Saya siap ditanya atau menjelaskan apa pun kepada siapa pun. Tapi menodong penjelasan sepihak dari Fiya atas sesuatu yang tidak dia lakukan, saya nggak akan membiarkan."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 14 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AMPLITUDO (Stagnasi #4)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang