Enam ; Misya dan Dongeng

7 4 0
                                    

Sambil menunggu Jean kembali, aku mencoba menggambar abstrak tentang diriku yang nantinya akan memakai sebuah gaun cantik berwarna putih. Aku tahu ini terlalu jauh, tetapi tak mengapa. Hanya berusaha menghibur diri sendiri dengan imaji. Ah, tidak. Lebih tepatnya, menyakiti diri sendiri dengan hal yang mustahil untuk kuraih.

Jean dengan dua kantong plastiknya datang selang beberapa menit. Aku tak menyangka ia akan selesai membeli secepat ini.

"Kau beli di mana, Je? Cepat sekali?"

"Aku ngebut, sekalian pinjam motor punya teman kosmu," ringainya sambil menggaruk tengkuknya tak gatal.

Hendak aku menutup buku yang baru saja kugambar, Jean berhasil melirik sekilas coretanku. "Eh, gambar siapa itu? Cantik sekali."

"Bukan apa-apa."

"Aku ingin lihat, boleh?"

Secara spontan aku menggeleng cepat. "Jangan. Privasi."

Mengatakan tidak adalah hal paling tidak mungkin dibiarkan oleh Jean. Ia tak peduli, laki-laki ini selalu ingin tahu urusanku dari dulu. Seberapa keras pun aku mencegahnya, Jean tetap mengambil buku itu dariku.

"Astaga! Kau yang menggambar ini!?" tanyanya yang hanya kuberi jawaban melengos, malas menatap ke arahnya.

"Misya, kau harus jadi designer baju pernikahan kita nanti!"

"Eh, gila, kah?"

"Kau tahu aku hanya suka jawaban iya, bukan selainnya." Jean menyerahkan buku itu kembali padaku.

Ia berjalan menuju tempat duduk asalnya. Aku kira ia akan melanjutkan pekerjaannya, tetapi aku salah, ia mengeluarkan sebuah buku dari dalam tasnya. Entah apa yang ia bawa. Jean selalu saja unik dengan segala pemikirannya.

Kini, ia berjalan mendekat ke arahku. Jean duduk tepat di sampingku, mengusap rambutku pelan seraya berucap, "Misya, kau cantik sekali."

"Iya, kau juga tampan," ucapku tanpa berpikir jauh. Jean yang mendengarnya turut merasa tersipu. Aku bisa melihat pipinya yang sedikit memerah.

Aku terbahak seketika. Akhirnya setelah sekian lama aku bisa melihat wajah ini lagi. Wajah lucu Jean tiap kali aku memujinya. Jean sekarang terlihat salah tingkah, aku tahu itu. Dia paling tidak bisa menyembunyikan ekspresinya.

"Jean Narengga, kau ini lucu sekali. Lihat, pipimu seperti tomat!" ejekku padanya.

Jean memberiku tatapan menghunus. "Berhenti menyebalkan, Sya," tuturnya pelan, tetapi penuh penekanan.

"Siapa suruh mengerjaiku setiap waktu, ha?" Aku kembali mengejeknya dengan menjulurkan lidah.

Tak pernah terpikir olehku jika Jean akan menganggap lelucon ini sebagai hal yang serius. Ia terlihat sedikit kesal. Tanpa aba, Jean mendekatkan wajahnya dengan wajahku. Jarak kita benar-benar tidak memiliki sekat. Jean mengintai setiap sudut wajahku, sementara aku hanya meneguk salivaku perlahan.

"Je ... Jean," ucapku lirih.

Dengan posisiku yang sedikit ketakutan, terlihat jelas di raut wajahku yang juga gusar. Giliran Jean tertawa. Aku tak mengerti mengapa ia tertawa begitu keras. Tidak ada yang lucu di sini.

Raut gusar menyelimuti wajahku. Aku terpaku. Mengernyit bersamaan dengan itu.

"Tenang saja. Aku tidak akan melakukan sesuatu yang dilarang di sini. Lagipula kita belum menikah."

Napas ku terhempas lega. Aku berusaha mengalihkan topik pembicaraan dengan mencoba untuk mulai membahas sebuah dongeng jaman dulu pada Jean. Namun, sebelum aku berucap ternyata Jean sudah lebih dulu membawa dongeng itu dalam genggamannya.

Coffee Shop Where stories live. Discover now