Lima Belas; Keputusan

2 0 0
                                    

Mama Jean datang dari balik pintu kafe dengan raut kesal tatkala melihatku dengan Jean bercanda bersama. Dirinya berkacak pinggang sambil berjalan menuju ke arah kami. Jean dan aku pun secara spontan beranjak dari tempat duduk. Tanpa kuduga , wanita paruh baya itu menarik lengan Jean paksa untuk menjauh dariku, tetapi tak digubris oleh Jean.

"Jangan paksa Jean, Ma. Bicara di sini saja," tuturnya dengan nada suara datar.

"Pernikahanmu dengan Sashee akan Mama langsungkan beberapa minggu kedepan," ucapnya tegas membuat mataku terbelalak seketika saat mendengar ungkapan yang baru saja Mama Jean lontarkan.

Tubuhku seakan mematung saat itu juga. Hatiku benar-benar remuk, mataku turut berkaca-kaca. Aku bingung harus bersikap bagaimana menanggapi ini semua. Baru saja aku tertawa lepas bersama Jean, seakan hidup berputar hanya pada kami saja. Namun sekarang, aku seakan dihantam oleh kenyataan jika Jean dan aku memang takkan mampu bersama.

Lelaki itu menggeleng, lalu membawa Mamanya menjauh dariku. Aku turut mengekorinya tanpa ia tahu. Aku bisa mendengar jika rupanya Jean tak ingin melanjutkan bisnis kedua orangtuanya. Dirinya lebih memilih menjadi laki-laki biasa dan hidup sederhana bersamaku.

Sejujurnya, senyumku sedikit terukir di sana, tetapi di sisi lain aku juga berpikir bagaimana nasib Jean nantinya jika harus bersamaku? Bukankah dia akan kehilangan segala kehidupan mewahnya?

Aku kembali mendengar saat Jean mengucap janji pada Mamanya, jika ia akan mengembangkan bisnis kafe yang sudah dijalankan dengan sepenuh hati. Sejujurnya aku merasa ragu, apakah Jean mengatakan itu dengan sungguh atau hanya ingin memanipulasi mamanya saja agar tak mendesaknya dengan Sashee?

Aku tahu Jean memyukaiku, sebaliknya juga aku. Akan tetapi, apakah Jean mampu meninggalkan segala kemewahan demi diriku? Aku merasa segan jika dia memang benar akan membuktikan ucapannya, tetapi entah firasat dari mana, tetapi aku yakin jika Mama Jean dan Sashee takkan membiarkanku dengan Jean hidup tenang begitu saja.

"Mama nggak akan merestui kalian berdua, sekalipun kamu nanti bersujud di kaki Mama, Jean." Nada suara Mama Jean meninggi dengan tatapan menukik ke arah Jean.

Lelaki itu tertunduk, lalu sesaat kemudian mengangkat dagunya mantap. "Jean sangat mencintai Misya, Ma. Apa Mama nggak senang lihat Jean bahagia? Apa menurut Mama dengan menjodohkan Sashee dan Jean akan membuat Jean merasa bahagia? Nggak, Ma!"

"Maaf, Ma, tapi Jean hidup dan bertahan selama ini dari segala tuntutan papa dan Mama itu cuma demi Misya. Ternyata sejauh apa pun kami terpisah, kami akan kembali bersama dan Jean sadar akan hal itu. Jean yakin, hanya Misya yang memang pantas menjadi pendamping hidup Jean." Jean menyambung kalimatnya.

Mama Jean yang terlihat menahan emosi sedari tadi sebab mendengar namaku berulang kali disebut oleh Jean pun, akhirnya melayangkan satu tamparan keras pada pipi Jean. Aku membulatkan mata dan menutup mulutku tak percaya. Ingin rasanya aku membawa Jean dalam pelukanku, tetapi niatku terurung. Jika itu kulakukan, maka aku akan semakin menambah rumit perseteruan diantara keduanya.

"Jean minta maaf. Tapi sungguh Jean nggak bisa membohongi perasaan Jean sendiri, Ma. Jean sama sekali nggak menyukai Sashee. Dia bukan perempuan yang baik. Jean tahu persis. Jean mohon buka mata mama. Sashee itu nggak sebaik dan sepolos yang mama duga," jelasnya mendetail.

Mama Jean terpaku mendengar seluruh penjelasan puteranya yang seakan menentang dan membantah perintahnya. "Gara-gara Misya, kamu berubah Jean. Mama nggak pernah ngerasa sakit hati seperti ini karena ucapan kamu!" ujar Mama Jean pelan, tetapi penuh penekanan.

Air matanya berlinang. Aku bisa melihatnya dari jauh, Mama Jean tengah mengusap kasar air matanya. Menurutku, ucapan Jean memang terlalu menyayat hati, apalagi ia berbicara pada mamanya sendiri. Namun mau bagaimana pun, perkataan dan paksaan dari Mama Jean juga tidak bisa dibenarkan. Jean berhak bahagia dengan pilihan dan keputusannya, bukan karena paksaan.

Kini, langkah Mama Jean mematri cepat dengan raut kecewa dan bulir air mata yang tak henti menetes. Sekarang ia pergi meninggalkan Jean sendirian di belakang taman kafenya yang sepi. Aku keluar dari persembunyian dan menghampirinya.

Jean lalu membawaku dalam dekapannya begitu erat, seakan menyalurkan rasa sakitnya yang tertoreh begitu dalam. Aku bisa merasakan tetesan air mata Jean membasahi bahuku pun, bisa mendengar isakannya di sana.

"Je ...." Aku menepuk-nepuk punggungnya lembut. "Jangan membantah Mama mu, ya?"

"Misya, aku sangat mencintaimu. Kita baru saja bersama dan bertemu kembali setelah beberapa tahun kita berpisah. Kenapa semesta seakan tak merestui kita bersama?" ujarnya masih terisak. "Aku harus bagaimana?"

"Aku sakit, tapi jika di posisimu pasti jauh lebih sakit rasanya karena tak mendapat restu Mama," sambung Jean semakin memelukku erat.

Aku membalas erat pelukannya. "Jean, kita berjuang bersama, ya?"

"Pasti, Misya. Pasti," pungkasnya dengan nada suara yang terdengar berat sebab menahan lara dalam dadanya.

Aku bisa tahu dan merasakan itu karena kami sama. Sama-sama sakit dengan segala kesenjangan ini. Terkadang aku berpikir, mungkin karena kondisi ekonomi dan keluarga ku yang tak sama dengan Jean, maka dari itu Mama Jean sangat membenciku. Mungkin mama Jean ingin memiliki menantu yang setara?

Entahlah, yang pasti posisi kami tak berubah sedikit pun. Kami masih saling mendekap satu sama lain untuk saling mengungkapkan segala kekecewaan yang mendera hingga kita merasa tenang bersama.

"Ayo kita kembali ke dalem kafe. Kita pikir masalah ini lagi nanti."

"Iya," ucapku menurut.

Kini Jean melangkah sembari masuk bersama, menggandeng tanganku. Tak kusangka, beberapa orang dalam kafe menatap keheranan pada kami berdua. Sepertinya Mama Jean dan permasalahan kita tadi berhasil mencuri perhatian banyak orang dalam kafe. Namun, untungnya Jean dengan sigap menghentikan pandangan orang-orang terhadap kami. Dia langsung mengalihkan perhatian dengan memberikan diskon secara tiba-tiba di kafenya.

Justru hal itu membuat semua karyawan termasuk Geena semakin kewalahan karena pesanan yang bertambah dari tiap pelanggan. Beruntungnya keputusan Jean rupanya membawa kedekatan yang semakin erat antar aku, karyawan juga dirinya. Aku senang karena diizinkan Jean membantu di kafenya.

Kini, kami membuat dan meracik kopi bersama, juga mengukir tawa bersama dengan para karyawan dalam dapur. Terlihat raut gembira dari tiap karyawan karena Jean yang juga begitu ramah pada tiap pekerjanya. Aku senang, kesedihan itu tak berlarut lama. Akan tetapi entah nantinya, sepulangnya aku dari sini, apa aku masih bisa tertawa sebahagia ini kembali? Saat bersama Jean?

Aku sungguh beruntung memiliki pria sepertinya. Tak membedakan siapa pun, ramah juga pekerja keras. Bagiku, sosok seperti Jean adalah idaman bagi setiap perempuan di dunia ini.


~Bersambung

Coffee Shop Where stories live. Discover now