Tujuh ; Kepedulian

8 4 0
                                    

Mentari pagi mulai merambat naik menggantikan sang bulan untuk menyinari. Kicauan burung terdengar selaras dengan ocehan pagi dari Ibu Indri yang membangunkan seluruh penghuni kos seperti biasanya. Aku memicingkan mata saat sinar sang surya berhasil memantul dari bilik jendela kamar dan membuat kilau pada penglihatanku. Perlahan aku membangunkan tubuh paksa sembari melihat sekeliling.

"Di mana Jean?" monologku.

Pandanganku mengedar. Aku melakukan sedikit peregangan tubuh sebelum benar-benar memberanjakkan diri untuk memeriksa ke dalam kamar mandi, siapa tahu lelaki itu ada di sana. Badanku rasanya pegal semua, tetapi untunglah panasku sedikit turun berkat obat juga makanan yang Jean suapkan padaku semalam.

Kuseret langkah kaki ini yang masih terasa berat. Letaknya tidak cukup jauh dari kamar tidur milikku, hanya butuh beberapa detik saja untuk segera terlihat di pintu kamar mandi. Oh, nihil. Rupanya benar jika Jean sepertinya sudah pulang dari semalam. Baguslah. Semoga mama Jean tak menghujamnya dengan berbagai pertanyaan, batinku.

Aku kembali menuju ke dalam kamar dan membuka rentetan notifikasi pesan yang terdengar berderet masuk sejak beberapa detik lalu. Nama Jean terpampang jelas di sana. Dia memberiku ucapan selamat pagi dan sedikit kata romantis yang membuat senyumku terbit tanpa sadar.

Jean ternyata masih sama seperti dulu, suka menggombal. Entah sudah berapa kali aku mengucap pada diri sendiri jika Jean tak pernah berubah. Aku membalasnya dengan cekatan. Jemariku lihai di papan ketik tersebut.

"Berhenti menggombal, Jean Narengga."

"Aku mengatakan fakta, Misya Karelia.
Kau gadis cantik yang pertama kali kutemui di tengah halte sepulang sekolah."

"Stop. Lebih baik kau kerja."

"Gadis manis yang berdiri dalam kedinginan dengan seragam khas pada hari Jumat."

"Jean!"

"HAHAHAHA. Aku sudah
bekerja dari semalam, Misya.
baiklah aku pergi dulu.
Tschüss, mein Schatz!"

"Cih! Aku sudah belajar
bahasa Jerman. Mentang
-mentang kau dari Eropa, kau
pikir aku tidak tahu?"
[read]

Desisku mencuat, beriringan dengan raut kesal saat melihat Jean yang hanya mereaksi dan membaca pesanku. Sesaat, aku membuang ponsel ke sembarang arah sambil mendengus.

"Ih! Apa-apaan Jean itu. Menyebalkan! Bodohnya sampe sekarang aku masih termakan oleh rayuan busuknya, sial!" decakku sambil mengacak rambut frustasi.

Masih dengan kekesalan yang membumbung, aku beranjak perlahan untuk membersihkan tubuhku menuju kamar mandi. Dering di ponselku berbunyi beberapa kali, tetapi tak ku gubris.

"Ah, mungkin itu si Jean. Tidak akan aku angkat sampe unta bertelur. Liat saja," pungkasku yang akhirnya masuk dalam kamar mandi dan tak lagi memedulikan notifikasi itu.

××××

Tanganku meraih sebuah alat kosmetik di depan meja riasku. Jemariku mulai lincah di sana, menggores muka dengan brush, membuat eyeliner, memakai bedak, pensil alis dan terakhir, lipstik glossy pemberian mama beberapa bulan lalu.

Tak lagi kucepol rambutku, melainkan ku bentuk gelombang dengan catokan yang ku punya dari beberapa tahun lalu. Untungnya masih berfungsi dengan baik. Rambut legamku terurai rapi sebahu.

Coffee Shop Where stories live. Discover now