Delapan Belas ; Perjuangan Misya

0 0 0
                                    

Kelas berjalan dengan lancar. Beruntung aku bisa melakukan presentasi dengan baik meskipun PPT nya tidak seperti yang lain; menarik. Aku hanya mengandalkan kemampuan bicaraku, karena hari-hari sebelumnya aku juga sudah mempelajari dan sedikit mengulang materi mata kuliah hari ini.

Sekitar dua jam aku telah menyelesaikan kelas pagiku dengan baik. Siangnya aku harus bergegas menuju Éins Kafe tempatku bekerja. Aku harus bekerja keras hari ini, meskipun rasanya masih sangat mengantuk dan badanku juga sedikit pegal-pegal.

Saat aku berjalan hampir keluar gerbang kampus, Jean meneleponku. Ketika aku akan mengangkat panggilan tersebut, sebuah pesan masuk dari Mas Bas-teman kerjaku. Perhatianku beralih pada pesan Mas Bas, karena tak biasanya ia mengirimiku pesan di jam seperti ini, terlebih ia tahu jika jadwal kerjaku sore hari nanti.

Dalam pesan itu, Mas Bas bilang jika dirinya tengah kewalahan dan membutuhkan tenaga bantuan dariku. Aku pun membalas Mas Bas dengan segera hingga lupa telah mengabaikan pesan dan panggilan dari Jean.

Aku pun langsung memesan ojol pada aplikasi berwarna hijau. Hanya menunggu tidak lebih dari lima belas menit, seorang pria muda berkemeja hitam dengan jas hijau yang disampirkan di pundaknya pun berhenti tepat di depanku.

"Atas nama Kak Misya?"

"Iya, Mas."

Pria itu pun langsung menyodorkan helmnya padaku. "Ini mbak helmnya. Saya ojol yang baru saja pick-up. Maaf ini jaketnya saya sampirkan aja soalnya gerah," ucapnya sambil sedikit terkekeh.

"Iya, Mas, santai saja." Aku hanya mengangguk memakluminya karena hari ini mentari sedang terik-teriknya.

Aku pun bergegas menaiki motor tersebut dan menyuruhnya untuk sedikit melajukan motornya. Meskipun letak kafe tersebut tidak jauh, hanya di seberang kampusku, tetapi jujur saja aku memakainya karena ada diskon. Sayang tidak dipakai, lagipula kakiku juga sangat pegal.

Beberapa kali ojol itu mengajakku berbicara, tetapi aku tak mendengar sebab deruman motor dari orang-orang di jalan yang beriringan dengan suaranya. Hanya sedikit yang bisa kutangkap, ia bertanya apakah aku sudah memiliki pacar? Haha, aku sedikit tertawa mendengar pernyataan itu, sangat menggelitik. Namun, aku hanya terdiam, mengalihkan topik pembicaraan meskipun setelahnya aku juga tak mendengar apa yang dia utarakan.

Sesampainya di depan kafe tempatku bekerja, pria dengan tanda pengenal Zefan itu pun kembali bertanya selepas aku melepas helm. "Kak, kakak kerja di sini?"

"Bisa, nih, saya mampir tiap hari," sambungnya menggodaku.

Aku hanya menggeleng sembari tersenyum simpul. "Boleh, Mas." Aku memberikan helm itu padanya, lalu berbisik, "Nanti ketemu pacar saya, ya."

Zefan pun langsung menoleh ke arahku dengan sigap. "Eh, Kak! Astaga maaf, ya. Saya nggak tahu. Saya permisi dulu," pungkasnya yang langsung melajukan cepat motornya.

Langkahku kini tergesa masuk ke dalam kafe sambil beberapa kali menahan tawa karena ojol tersebut. Saat aku mulai membuka pintu, benar kata Mas Bas, pengunjung datang silih berganti hingga kafe yang menurutku memiliki ruangan cukup besar pun rasanya semakin sesak oleh pengunjung.

Aku langsung bergegas menuju ke belakang untuk berganti baju dan memasang Appron. Melihat Mas Bas yang kewalahan pun dengan segera aku langsung menggantikan posisinya.

"Mas, sini biar aku aja. Kamu buat pesenan yang lain."

"Eh, oke, Sya. Makasih banget, ya. Lagi hectic soalnya ada tamu besar dari anak Pak Jo, bos kita," tuturnya masih fokus menatap dan bergulat dengan racikan minuman itu di sana.

××××

Pengunjung datang silih berganti sedari siang hari hingga menjelang sore. Aku yakin Jean pasti khawatir denganku. Mungkin beberapa kali ia mengirimiku pesan dan melakukan panggilan atau mungkin marah sebab aku lupa membalas pesannya sedari pagi karena sibuk dengan kuliah dan pekerjaanku. Akan tetapi mau bagaimana lagi? Kuharap ia mengerti akan kondisiku.

Kini, jam dinding menujukkan pukul empat sore. Para pelanggan mulai berkurang perlahan demi perlahan. Aku pun melepaskan appronku dan bersiap untuk berganti pakaian. Namun, Mas Bas tiba-tiba menghentikan langkahku.

"Sya, tunggu."

Aku menoleh. "Kenapa, Mas?"

"Ada yang nyari kamu. Ditunggu di luar katanya," tuturnya membuatku bingung.

Tanpa bertanya lagi pun aku langsung keluar dan menemui sosok yang katanya mencariku. Dari belakang punggungnya aku bisa tahu pasti itu siapa.

"Jean!?"

Jean berbalik badan, menoleh ke arahku. "Kenapa tidak angkat telepon? Tidak menjawab pesan? Maksudmu apa?"

"Aku sudah menduga kau akan bertanya untuk itu." Aku menghela napas berat, menahan rasa lelah di pundakku.

Setelahnya aku langsung mengutarakan dan menjelaskan kegiatan apa saja yang sedang kulakukan dari pagi hingga sore hari sampai tak sempat membalas beberapa pesan dan panggilan Jean. Aku menjelaskan panjang kali lebar untuk membuat Jean benar-benar percaya, hingga akhirnya lelaki itu pun memelukku.

Jean melepas pelukannya. "Maaf, ya, aku egois. Aku kira kau memang sengaja hanya membaca pesanku dan mengabaikanku." Ia menunduk pasrah, merasa bersalah.

"Hey, tidak apa. Aku senang kau peduli seperti ini. Ingat, Je, aku tidak akan mampu mengabaikanmu meskipun sebentar. Ya ... kecuali hari ini, karena aku benar-benar banyak sekali pekerjaan," balasku yang juga meminta maaf.

Jean tersenyum simpul, kembali mendekapku sembari sesekali mengusap-usap punggungku. "Semangat, ya."

"Sebetulnya hari ini mama minta dibeliin ayam katsu, Sayang. Tapi aku berpikir, sepertinya kau bisa membuat lebih enak dari masakan restoran. Tapinya lagi, kau capek. Jadi, ya, sudah, tidak usah. Biar aku belikan saja nanti," jelasnya.

"Jangan," sergahku, "aku siap, kok! Setelah ini kau antar aku pulang, ya. Nanti aku langsung masakkan, kau bawakan untuk mama," titahku antusias pada Jean.

Kulangkahkan kakiku kembali memasuki kafe dan pergi ke ruangan ganti. Kemudian, berpamitan pada teman lain dan Mas Bas yang juga bersiap untuk pulang. "Misya, tenang saja, ya, nanti kucatat uang lembur untukmu."

Sedikit kalimat yang menyegarkan pendengaranku sebelum pulang. Aku mengangguk begitu antusias, lalu pergi ke depan menemui Jean.

Lelaki itu sudah bersiap di atas motornya sambil membawa sebuah ponsel dalam genggamannya. Dia terlihat sangat fokus berkutat pada ponselnya hingga tak sadar diriku telah berada di sampingnya. Aku pun sedikit berdeham untuk mengambil alih perhatiannya.

"Eh, maaf, Sayang. Tadi ada pesan dari temanku sampai nggak sadar kau sudah berada di sini."

Jean dengan segala instingnya lalu memasukkan kembali ponsel tersebut ke dalam saku dan sebelum aku menaiki motornya, lebih dulu ia berucap, "Tunggu dulu," sergahnya menghentikan langkahku.

Dia menarik pijakan kaki belakang motor agar aku bisa duduk dengan posisi yang nyaman. Kemudian setelahnya ia mengulurkan tangan saat aku hendak menaikkan kakiku ke atas motor Jean. Aku pun membalas ulurannya lalu menautkan helm tersebut hingga berbunyi klik!

"Sudah siap?" tanyanya sedikit menoleh ke arahku.

"Iya, sudah," ujarku di sebelah telinga kirinya.

Jean mengangguk, mengambil salah satu tanganku untuk dilingkarkan pada pinggangnya. "Pegangan," pungkas Jean langsung melajukan motornya menembus kemacetan jalanan sore ini.

~Bersambung

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 08 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Coffee Shop Where stories live. Discover now