Delapan : Perjuangan

5 4 0
                                    

Langkahku mematri jalanan pagi, disambut dengan teriknya sang surya. Padahal, sekarang masih jam tujuh seperempat, tetapi panas ini sudah menyongsong hingga menusuk ubun-ubun kepala. Untuk bisa sampai pada halte bus, aku membutuhkan waktu sekitar lima belas menit. Namun, saat di tengah perjalanan, seseorang memberhentikan mobilnya tepat di sampingku.

Gadis itu mengklaksonnya dengan keras hingga membuatku tertoleh. "Eh, Eira!?"

"Hi, Misya. Mau berangkat bareng?" ujar Eira Syazira—salah satu teman sekampusku menawarkan tumpangan.

Diriku mengangguk antusias. Syukurlah, setidaknya aku tidak perlu capek-capek untuk berjalan lebih jauh lagi menuju halte. Aku mulai memasukkan kakiku ke mobil dan menyamankan posisi di sana.

"Tumben sekali kau berangkat pagi, Ra?"

Eira menatap jalanan dan mulai menancapkan gasnya sembari menjawab pertanyaanku. "Ah, iya. Aku sedang ada janji untuk bertemu sebentar dengan presma kita, Sya."

Aku hanya membulatkan mulut. Kami mengobrol banyak hal, mulai dari mata kuliah tersulit, dosen paling killer, dan juga Eira yang selalu membahas tentang kesulitannya di dalam organisasi. Dialog itu berlangsung hingga kita sampai pada depan gerbang kampus.

"Ra, terima kasih, ya, sudah mau direpotkan untuk menumpangiku."

"Astaga, Sya. Tidak perlu begitu. Aku senang, setidaknya ada teman mengobrol. Lagipun, kau asik juga orangnya. Semenjak kita jadi mahasiswa baru kita jarang mengobrol sepanjang ini," ujarnya diiringi tawa.

Aku turut mengangguk membenarkan ucapannya. "Iya juga. Kau sibuk terus, sih."

"Maaf. Eh, aku akan parkir di sini, ya." Eira membelokkan sedikit kendaraannya tak jauh dari fakultas. Diriku hanya mengangguk.

Kami mulai turun bersamaan setelah Eira mengunci pintu mobilnya dengan smart key-nya. Dia pamit untuk pergi lebih dulu mengerjakan urusan, sementara aku berjalan menuju fakultas sendirian. Eira melambaikan tangan padaku sebelum bayangannya benar-benar lenyap dari hadapanku.

Aku menuju kelas menaiki lift. Bersama dengan sekumpulan mahasiswa yang juga mendapati kelas pagi. Namun, sepertinya aku menjadi orang yang sampai pertama kali di kelas, karena saat aku melihat yang melingkar di tangan kiriku, delapan kurang empat puluh menit. Ini waktu yang cukup lama bagi seorang mahasiswa untuk menunggu kelas pagi, kecuali memang ada tugas.

Dua puluh menit harus menunggu dan benar saja hanya aku sendirian di sini. Demi menghilangkan rasa bosan, aku mulai mengeluarkan laptop untuk mengerjakan tugas dengan tenggat waktu esok hari. Setidaknya meminimalisir jika ada hal tak terduga yang membuatku nantinya malas mengerjakan hingga tak sampai selesai.

Sebelum itu, aku lebih dulu membuka ponsel untuk meminta izin cuti pada Mas Bas—salah satu kepala . Mungkin ini sedikit mendadak tapi aku harap dia memberiku izin, atau setidaknya menggantikan jadwalku hari ini, karena aku harus merawat Jean.

'''

"Selamat pagi. Mas Bas.
Saya izin cuti hari ini,
apakah boleh?"

'''

Lama tidak ada jawaban, aku pun mulai sedikit cemas. Bagaimana jika tidak diizinkan? Tidak mungkin aku meninggalkan Jean lama di sana. Pikiranku mulai melayang kemana-mana. Niat awalku yang ingin mengerjakan pun pupus seketika sebab terpikir oleh Jean.

Tepat saat aku akan mengirimkan sebuah pesan padanya, notifikasi masuk dari Jean hingga tiga kali. Sesegera mungkin aku membukanya.

Coffee Shop Where stories live. Discover now