Tiga Belas ; Vanilla Latte

5 0 0
                                    

Seperti biasa, selepas pulang dari pekerjaan paruh waktu, di bawah rintik hujan aku menyempatkan diri untuk menghampiri kafe Jean yang terlihat cukup padat oleh segerombolan pembeli. Aku melihat di kejauhan, Geena dengan pegawai yang lain tampak kewalahan melayani customer. Ku percepat langkahku pergi ke sana, sebelum akhirnya hujan mengguyur tubuhku tanpa ampun.

Aku membantu semata-mata karena teringat makan malam bersama Jean kemarin malam. Di saat Jean benar-benar membuatku merasa dicintai di hadapan orang-orang yang membenci kebersamaan kami. Ya, siapa lagi kalau bukan mama dan Sashee.

Sesaat kami akan pulang pun mama Jean hanya mengucap sepatah kalimat. "Antar Sashee pulang," pungkas mama dengan mengangkat sedikit dagunya, sebelum kami beranjak pergi.

Satu ucapan yang membuat aku dan Jean saling membulatkan mata. Hal itu tentu membuat Jean semakin menautkan ekspresi ketidakpahaman pada mama. Lagi-lagi aku berusaha menahan Jean agar lelaki itu bisa mengendalikan amarah, terlebih ini masih berada di dalam restoran. Aku tidak ingin membuat suasana yang terbilang cukup romantis dengan segala dekor yang sudah dihias sedemikian rupa hancur begitu saja.

Sebetulnya sudah hancur, tetapi aku hanya berusaha mencegah agar tidak terlalu buruk. Tidak salah bukan? Akhirnya aku menyuruh Jean menuruti perintah mama meski diriku pun merasa gondok.

Sekarang aku tak lagi mengingat kejadian semalam. Kini pandanganku fokus menatap lurus ke depan, membuka pintu dan menuju Geena yang tengah membuat secangkir coffee latte.

Geena menatapku sekilas sambil mengangkat salah satu tangannya untuk memberiku instruksi 'tunggu sebentar' , kemudian kembali fokus kepada tugasnya; meracik kopi.

Aku meraih sebuah notebook di depan kasir lalu menuliskan sesuatu pada Geena. 'Geena aku hanya ingin membantumu, boleh? Kau terlihat kewalahan.' Seperti itulah kalimat yang kutulis dan ku tunjukkan padanya. Geena awalnya bingung, tatapannya seakan memberiku pertanyaan 'Apa kamu bisa?' langsung ku mengangguk antusias. Aku juga menulis kembali dalam buku kecil tersebut untuk meyakinkan Geena jika aku juga seorang barista.

Gadis itu mengangguk, lalu menyerahkan catatan yang berisi sebuah pesanan; Glassful of Vanilla Latte, Less sugar. Diriku mengangguk paham. Tangan dan jemariku mulai bergerak, meracik minuman tersebut.

Aku harus menunggu selama beberapa menit agar susu tersebut berbuih sebagai latte. Setelahnya aku mengantar menuju meja pelanggan yang sudah menunggu sejak aku menginjakkan kaki di kafe Jean.

Baru aku maju dua langkah setelah mengantar kopi tersebut, terdengar gelagar pecahan gelas kaca, menyentakkan ku. Lantas aku menoleh, juga beberapa pasang mata melihat ke arah seseorang yang baru saja pesanannya ku antar. Pria paruh baya berjas hitam itu memuntahkan segelas vanilla latte yang baru saja kuracik.

Pria dengan tanda pengenal Hoffmann di sisi kirinya itu pun bangkit dari duduknya seraya memaki di hadapanku. "What's coffee is it?"

Dahiku mengernyit, benar-benar tak mengerti. "It's tasteless!" sentak nya membuatku terperangah. Padahal aku yakin, aku tidak melakukan kesalahan. Bukannya resepnya sama? Aku meracik kopi itu seperti yang biasa ku buat di Éin Café, tempatku bekerja.

Tubuhku mematung. Sepertinya aku melakukan kesalahan besar. Otakku tak mampu berpikir dengan baik. Hanya satu ketakutan ku, Geena. Aku takut dia terkena marah oleh Jean sebab diriku yang memaksa dan meyakinkan Geena untuk menerima bantuan ku. Aku juga takut jika karena aku, akreditasi kafe Jean dan pandangan orang-orang terhadap kafe ini akan menurun.

"I'm so sorry Mr Hoffman. That's my mistake," ujarku seraya menunduk.

Pak Hoffmann membuang muka sembari pergi melangkahkan kaki mendahului ku. Namun, ternyata Jean berdiri tepat di belakang ku entah sejak kapan, dengan sigap menghentikan pergerakan Pak Hoffmann.

Mereka kemudian berbincang. Ah, tidak, lebih tepatnya Pak Hoffmann yang meminta ganti rugi atas ketidak nyamanan sebab kopi yang sudah ku sediakan.

Dari jauh aku melihat  Jean hanya mengangguk tersenyum, meminta maaf. Lalu memberikan tempat duduk lain bagi Pak Hoffmann. Sementara Pak Hoffmann menghela napas berat, tetapi tetap menerima permintaan maaf Jean. Setelahnya lelaki jangkung itu beranjak pergi untuk kembali membuatkan pesanan yang baru untuk Pak Hoffmann.

Dari yang kudengar tadi, Jean sepertinya sedikit membelaku di hadapan Pak Hoffmann dan menjelaskan padanya posisiku yang bukan sebagai seorang karyawan di sini.

Aku benar-benar merasa bersalah padanya. Sambil membawa nampan yang telah kosong, aku melangkah ke pojok ruangan. Duduk sembari melihat rintik hujan yang menetes berurutan, membuat sedikit embun di kaca, menunggu Jean selesai melayani Pak Hoffmann.

Ingin aku menghampiri Geena, tetapi ia masih sibuk dengan pelanggan lain. Hingga beberapa menit lamanya, sosok Jean muncul di hadapan ku dengan raut kecewa.

Dia duduk dengan tatapan menusuk ke arahku. Takut. Akan tetapi tetap kuberanikan diri menatapnya untuk sekadar meminta maaf.

"Je, aku-" ucapku terpotong. Jean mengembuskan napas kasar. Kini menatap ke lain arah, tak ingin memandangku sedikit pun saat ini.

Jean mendengus. "Lain kali kalau tidak bisa, jangan meracau. Biarkan saja Geena yang mengurus."

"Iya. Aku minta maaf, Je," balasku dengan sedikit menekuk wajah.

Laki-laki di hadapan ku kini mengusap dari wajah hingga ujung rambutnya secara kasar. "Astaga. Maafkan aku Misya. Aku tidak bermaksud membuat mu sedih. Aku hanya ...." Jean menjeda kalimat. "Aku hanya kesal dengan mama hari ini. Juga kerjaanku dikantor mama yang sedikit melelahkan. Maaf jadi melampiaskan ini padamu," jelasnya tertunduk lesu.

Aku beringsut. Tanganku meraih milik Jean, menggenggamnya. "Je, tidak papa. Aku mengerti," ucapku seraya menepuk-nepuk pelan bahu Jean.

"Sya...," panggilnya pelan. "Dingin," sambungnya. Kini tatapan Jean beralih nenjadi lembut.

Aku terkekeh. Mengerti maksud perkataan Jean. Tanpa menunggu lama, aku pun langsung merentangkan tangan dengan tersenyum lebar menghadapnya karena memang hari ini gerimis turun membasahi sedikit jalanan.

Jean tertawa, begitu juga aku. Lelaki itu kini berhamburan dalam dekapanku. "Je, maafkan aku juga Geena."

"Bukan salah kalian. Tidak papa, hanya masalah kecil, toh, Pak Hoffmann masih mau menerima menerima kompensasi," jawabnya masih dengan posisi yang sama.

"Tapi aku takut pandangan orang-orang terhadap kafemu jadi buruk, Je-" Belum sempat aku melanjutkan kalimat, telunjuk Jean mengarah pada bibirku membuatku mau tak mau terdiam seketika.

Jean melepas pelukannya dariku. Lalu berganti menangkup wajahku. "Tidak, aku bisa pastikan tidak sesuai bayanganmu. Aku tahu pasti kau ingin membantu Geena. Mungkin juga Geena lupa memberitahumu jika vanilla latte di kafeku ada sedikit racikan khusus, maka dari itu Pak Hoffmann lebih suka bersantai dengan kopi itu di kafeku," jelas Jean mendetail.

Aku mengangguk paham. Pantas saja Pak Hoffmann tidak selera dengan minuman yang kubuat, juga pantas jika kafe Jean semakin banyak pengunjung, ternyata lelaki di hadapanku ini punya banyak cara untuk menarik pelanggan dengan keunikan tertentu menurut versinya. Aku beruntung, turut bangga pada Jean.

~Bersambung

Coffee Shop Where stories live. Discover now