Dua Belas ; Dinner dan Dansa

7 4 0
                                    

"Sashee?" lirihku yang ternyata bisa didengar jelas oleh Jean.

Lelaki itu turut menoleh menatap apa yang sedang kulihat saat ini setelah kami berbincang tawa bersama. Jean juga nampak terkejut melihat gadis itu di sana, Sashee. Ia memandangku dengan raut gusar. Aku melebarkan senyum padanya seolah memberi isyarat 'Aku baik-baik saja, Je.' Meskipun sebenarnya tidak. Hatiku sungguh remuk melihat Sashee berdiri dengan senyum merekah di samping mama Jean seakan menunggu pria di sebelahku ini datang.

Di sana, aku seakan tak dianggap. Namun, Jean yang selalu memperlihatkan jika aku ada. Dia selalu membuatku merasa spesial di samping mamanya yang sibuk mengurusi Sashee. Terlihat dari raut Jean, laki-laki itu seakan ingin mengumpat ke arah mamanya, tetapi berulang kali aku menahan dirinya.

Mama Jean menyambut kami dengan baik. Ah, tidak, maksudku menyambut Jean, puteranya. Hanya Jean, tidak sedikit pun melihatku. Mama Jean hanya melirik sinis, sekilas ke arahku. Aku hanya mampu tersenyum simpul menatap pandangan tak sukanya padaku.

"Je, kamu duduk di samping Sashee, ya?" titahnya saat Jean hendak duduk berdampingan bersamaku.

Laki-laki di sampingku ini langsung menolak perintah itu dengan tegas. Meyakinkan ku jika hanya seorang Misya-lah yang benar-benar ada di hatinya, tidak yang lain. Jean menggeleng dengan tatapan mata yang menyorot tajam ke arah mamanya.

Dia kembali menggandeng lenganku di hadapan mama dan Sashee. "Hanya Misya yang akan berada di sampingku. Tidak siapa pun."

"Sini, Sayang," ujarnya membawaku dalam meja yang bersanding tepat di sebelahnya.

Kami saling berhadapan dengan Sashee juga Mama Jean. Aku bisa melihat ekspresi Jean yang nampak kesal pada mamanya, sementara yang di pandang malah menundukkan kepala. Mama Jean rupanya juga merasa takut dengan puteranya jikalau Jean mendadak serius seperti saat ini.

Diantara kerenggangan yang terjadi, Sashee membuka obrolan. Dia memanggil pelayan dengan melambai tangan yang dengan cepat datang ke meja kami.

"Lebih baik kita pesan dulu saja. Mih, tidak masalah, biarkan saja Jean duduk di sana. Toh, nanti yang benar-benar duduk di pelaminan, kan, Sashee," tuturnya menggenggam erat punggung tangan Mama Jean sembari tersenyum lebar. Entah mengapa, tetapi aku merasa jika ujaran dan tatapan sindiran itu ditujukan padaku.

"Mimpi," pungkas Jean memandang sinis ke arah Sashee.

Sepersekian detik, Jean langsung mengalihkan perhatiannya pada diriku dengan tatapan yang sungguh manis. "Pesanlah, Sayang. Atau mau kusamakan saja dengan milikku?"

Sekilas, aku melihat nama-nama dari menu restoran itu. Di sisi lain, aku juga mencuri pandang melihat Sashee dan Mama Jean. Sungguh, aku juga ingin sekali berada di posisi Sashee yang bisa dekat dengan Mama Jean selayaknya ibu dan puterinya sendiri. Jujur, aku iri.

Jean berdeham, membuatku mengerjap. "Ah, iya. Terserah kau saja, Je," balasku. Lelaki itu hanya tersenyum dan sesekali mencubit pipiku gemas.

Aku tahu, Jean sebisa mungkin menjaga perasaanku saat ini. Hal ini juga yang membuatku semakin yakin, se-berantakan apa pun perasaanku, jika Jean ada di sisiku, maka aku akan baik-baik saja.

Sambil menunggu pesanan kami datang, Jean memecah keheningan dengan sebuah pertanyaan yang dilontarkan pada mamanya. "Apa maksud mama? Bukannya kemarin mama setuju aku mengajak Misya untuk dinner bersama, karena kami ingin membahas hubungan kami."

Jean menghela napasnya sejenak. "Tapi kenapa sekarang seperti ini, Ma? Kenapa mengajak Sashee yang bahkan bukan salah satu anggota keluarga kita."

"Jika Sashee bukan keluarga kita, lantas apa bedanya dengan Misya? Dia juga bukan-"

"Dia calon istriku, Ma." Jean membalas spontan dengan penuh penekanan pada kalimat yang baru saja ia ucapkan, membuat mama Jean berdecak seketika.

Aku mengeratkan genggamanku pada Jean sekadar menyalurkan rasa tenang. Pandanganku teduh ke arahnya. Sebaliknya, emosi Jean masih membumbung terlihat di setiap sudut wajahnya yang menegang.

"Misya, aku tidak bisa melihatmu diperlakukan seperti ini oleh mama," bisiknya padaku dengan kerutan yang terpampang di dahinya.

Diriku hanya menggeleng sembari memasang senyum kecut menahan rasa itu. Meski Jean mungkin tahu aku juga merasakan sakit sepertinya, tetapi aku berharap ia tak memperpanjang masalah ini. Jean terlihat setuju dengan helaan napas kasar sebagai jawaban.

Selang beberapa menit setelah kesengitan obrolan antara Jean dan mamanya, pelayan datang membawa menu masakan yang sudah kami pilih masing-masing. Jean memperlakukan ku layaknya tuan puteri dengan memotongkan sedikit daging yang akan kumakan.

Sudut bibirku tertarik melihat Jean dengan segala keromantisannya. Aku bahagia sebelum akhirnya Sashee menyeletuk. "Punya tangan setidaknya dipakai." Sashee melengos menatap kami sambil mengunyah satu slice daging ke mulutnya.

"Kalau iri bilang saja," sindir Jean yang kini kembali memotongkan daging dan menyuapkannya padaku.

Jujur saja, perilaku Jean benar-benar membuatku tertawa sekaligus bangga. Bangga sebab Jean terang-terangan memilihku dibandingkan dengan Sashee. Bahkan aku tak percaya jika Sashee seperti tak memiliki rasa malu terhadap ku setelah dulu dia dengan sengaja merebut Sean dan sekarang juga akan mengambil Jean dari diriku? Tidak akan kubiarkan.

"Misya, setelah ini kita dansa, ya?" ajaknya berbisik padaku.

Spontan aku memelototkan mata. "Jean aku tidak pandai berdansa," balasku turut berbisik.

"Akan kuajari, Sayang," tuturnya sembari mengedipkan mata. Aku hanya terkekeh menganggukkan kepala, mengiyakan ajakannya.

Makan malam berangsur dengan sedikit obrolan yang kaku. Tentang Mama Jean yang bertanya akan perkembangan bisnis dan kafe Jean, sementara aku hanya terdiam membiarkan ibu dan anak itu saling bertukar cakap satu sama lain. Setidaknya tidak ada perdebatan lagi setelah ini.

Selepas menyelesaikan suapan terakhir, Jean meneguk sedikit air mineral, sebab kebetulan dirinya sendiri tidak menyukai minuman beralkohol seperti kebanyakan laki-laki di kota ini.

Jean beranjak dari tempat duduknya, lalu mengulurkan tangan padaku. Aku menatap Jean dengan penuh keheranan seraya mengerutkan kening. Dia yang mengerti maksudku hanya sedikit menganggukkan kepala seperti menyuruh untuk membalas ulurannya. Aku melihat mama dan Sashee yang terlihat melengos ke arahku. Sementara Jean mengangkat daguku, melihat memberi isyarat untuk melihat Jean saja, bukan ke yang lain.

Aku beranjak dari tempat dudukku. Sekarang, kami saling berhadapan satu sama lain. Jean menarik pinggangku dan meletakkan salah satu tanganku di bahunya, lalu satu lainnya digenggamnya erat, sedikit terangkat ke atas. Langkahnya yang maju-mundur, ke kanan dan ke samping membawaku hingga ke tengah panggung tempat para pemusik yang sedang mengawai kan biolanya, membuat suatu alunan indah.

"Misya, kau cantik sekali dengan gaun ini. Sangat cocok di tubuhmu," tuturnya pelan, tetapi masih bisa kudengar.

"Kau juga tampan, Tuan Jean Narengga."

Sesaat, Jean terkekeh mendengar kalimat ku yang bahkan aku sendiri tak sadar telah mengucapkan itu. Sedikit menggelitik, tetapi ayolah, ini saatnya meromantisasi hidup bukan?


~Bersambung

Coffee Shop Where stories live. Discover now