Enam Belas ; Secercah Kebahagiaan

1 0 0
                                    

Senja memudar sedikit demi sedikit, digantikan oleh gelapnya malam dan sang purnama. Suasana yang tadinya riuh kini memudar bersama dengan embusan angin yang perlahan terasa semakin dingin. Kafe Moin—milik Jean akan segera tutup, sebab semua stok barang dan minuman yang telah habis tak bersisa berkat promo yang tiba-tiba Jean berikan pada pengunjung.

Hari ini cukup melelahkan bagiku juga karyawan lainnya, tetapi tidak untuk Jean. Katanya, Jean rasa hari ini adalah kenangan paling indah yang telah tercipta dalam seumur hidupnya. Sungguh bahagia melihat diriku dan Geena tersenyum, mengukir tawa bersama karyawan lainnya. Jean juga bilang, dalam hatinya yang paling dalam, mereka lah sumber kebahagiaannya saat ini. Kebahagiaan yang sudah lama tak Jean temukan dalam rumahnya.

Malam semakin larut, Geena dan karyawan lain telah pulang lebih dulu, tinggal diriku dan Jean. Aku bergegas memesan sebuah ojol dalam sebuah aplikasi, lalu merapikan semua barangku dan bersiap untuk pulang. Namun, tanpa sadar aku menabrak tubuh Jean saat membalik badan. "Astaga! Maaf, Je, tidak sengaja."

"Tidak masalah. Ayo kuantar pulang," ajaknya bersemangat, ia menenteng dua buah helm dan menyodorkannya padaku.

Aku sedikit terkejut. "Eh, aku sudah pesan ojol," tolakku secara halus.

Sejujurnya aku memang sedang tidak ingin merepotkan Jean. Aku tahu dia pasti lelah hari ini karena banyaknya pengunjung yang berdatangan. Ojol itu pun juga sudah menerima pesananku dan dia akan segera sampai di sini.

"Batalkan saja," putusan akhir Jean.

"Tidak bisa, Je. Beliau sudah mau sampai, loh. Kasihan juga kalau dibatalkan. Sudah tua orangnya," tuturku lembut.

Diriku berusaha sebisa mungkin agar tak menyinggung Jean dengan perkataanku, sebab aku tahu Jean gampang tersulut emosi jika sedang lelah seperti saat ini. Jean kini hanya terdiam sambil menunduk dan melipat tangan.

Melihat lelaki itu tak membalas sepatah kata pun ucapanku. Aku pun melangkah keluar mendahului Jean. "Tunggu, Sya." Jean menarik lenganku.

Aku membalik badan menatapnya sembari mengernyitkan dahi. "Kenapa? Kalau mau pulang, duluan saja."

"Kenapa kau pesan ojol? Kan, ada aku? Kenapa seperti mengindar? Aku sudah bilang tadi, kan, kalau kau dan para pekerjaku adalah sumber utama kebahagiaanku, Sya. Apa harus kuulang setiap menit kalimatku ini?" tanyanya terus beruntun.

"Astaga, Je...." Aku menghela napas panjang. "Aku tidak menghindar. Aku hanya lelah, kau juga lelah. Makanya, aku tidak ingin merepotkanmu dengan mengantarkanku pulang. Hanya itu maksudku," balasku dengan helaan napas berat.

Jean mengambil tanganku seraya berucap, "Sya, sudah berapa kali aku bilang jika aku senang kau repotkan. Bahkan sekalipun menurutmu itu merepotkan, tapi bagiku tidak sama sekali. Menjadikanmu selalu berada di sisiku adalah misi utama yang aku pastikan akan terlaksana, Sya." Jean menjelaskan begitu dalam, aku bisa melihat raut ketulusan itu dari wajahnya saat berucap padaku.

Tanpa sadar, ternyata ojol yang kupesan sudah datang di depan kafe. Bapak ojol tersebut juga mengirimiku pesan beberapa kali dan membunyikan klakson membuatku tersentak bersamaan dengan Jean.

Saat aku akan berjalan menuju bapak ojol tersebut, Jean turut mengekoriku. Aku rasa dia hanya ingin memastikanku baik-baik saja hingga bersama ojol tersebut, tetapi dugaanku salah. Ketika kami sampai di depan dan bapak tersebut sudah menyodorkanku sebuah helm, Jean menghentikan pergerakannya.

Jean mengeluarkan selembar uang kertas berwarna biru."Ini buat bapak."

Bapak tersebut yang kebingungan pun mencegah pemberian uang tersebut. "Loh, jangan, Mas. Buat apa? Saya ojol bukan pengemis."

Jean terkejut mendengar pernyataan bapak tersebut sampai ia menggaruk-garuk kepalanya. "Bukan begitu, Pak. Ini buat bapak saja. Calon istri saya tadi kepencet memesan ojol."

Ujaran Jean benar-benar membuat mataku terbelalak sempurna. Bisa-bisanya dia mengatakan dengan semudah itu? Calon isteri? Jujur aku terkejut dan aku hanya bisa menahan tawa di sana, sedikit merasa malu.

"Lah, terus ini bagaimana?" tanya bapak tersebut yang masih kebingungan.

"Ya, bapak tidak usah mengantar. Ini bonus buat bapak, anggap saja sudah antar calon isteri saya." Jean menjelaskan ulang.

Sang bapak yang hampir kisaran umur lima puluhan itu pun tersenyum senang, mengangguk-angguk sambil mencium uang yang Jean berikan. "Syukurlah, rejeki hari ini. Terima kasih, Mas, Mbak. Saya doakan semoga bisa sampai pelaminan, ya."

Jean turut mengangguk meng-aamiini. "Semoga, ya, Pak. Terima kasih doa baiknya."

Betapa bahagianya aku karena mendengar dua laki-laki dihadapanku mengucap kata aamiin. Sungguh aku pun merasa beruntung mendapatkan Jean yang tanpa disangka selalu bisa membuatku merasa istimewa menjadi pendampingnya.

Kini ojol tersebut telah pergi setelah ia berpamitan pada Jean. Jelas saja, setelahnya ia langsung dengan semangat yang membara entah darimana asalnya, menggandeng lenganku agar mengekorinya hingga menuju tempatnya memarkir motor.

"Ayo naik," titahnya padaku saat ia sudah berada di atas motor dan memberikan helm yang sedari tadi ia tenteng. Aku menurut mengikuti perintahnya.

Tak lama kemudian, Jean melajukan motornya dengan perlahan. Sambil menikmati embusan angin malam yang menyejukkan, Jean beberapa kali mengajakku bicara sambil menunjuk beberapa papan iklan. Dia memerintahkan aku membaca setiap papan iklan di sana.

Rasanya aneh mendengar perintahnya, tetapi hal itu tanpa sadar membuatku teringat pada masa kecilku. Di mana setiap kali ayah memboncengku dengan motornya, aku selalu mengeja tiap tulisan atau baliho yang berjejer di tiap jalan. Bersama Jean, aku seperti kembali menjadi anak-anak. Sesekali Jean juga menyahutiku dengan tawa kecil setiap kali aku membaca. Lucu rasanya.

Sambil motor Jean melaju sedikit lebih cepat, aku menatap ke atas langit malam. Penuh bintang. Aku tersenyum sambil menikmati pemandangan kerlap-kerlip bintang yang bertebaran di atas sana. Hingga tanpa sadar, Jean sudah membawaku sampai depan gerbang kosku.

Aku melangkah turun dari atas motornya. Kemudian melepas helm, memberikannya pada Jean. "Terima kasih sudah mengantar, Je."

Jean tersenyum ke arahku masih dengan posisi yang sama, di atas motornya. "Jangan berterima kasih. Sudah seharusnya," tutur Jean sambil mengarahkan tangannya untuk merapikan sedikit rambutku yang berantakan.

"Jangan lupa hubungi aku jika sudah sampai, ya," ucapku seraya melebarkan senyuman.

"Aku pasti melakukannya tanpa kau minta, Sayang," balas Jean yang juga tersenyum menatapku. "Aku pulang dulu," pungkas Jean.

Aku mengangguk. "Hati-hati." Lalu kulambaikan tangan ke arahnya hingga Jean dan motornya hampir lenyap dari pandanganku.

Kulangkahkan kakiku menuju tempat ternyamanku. Lega rasanya sebentar lagi bisa segera beristirahat. Namun dari jauh, pandanganku teralih pada seseorang yang tengah berbincang dengan ibu kosku di depan ruanganku. Pakaiannya terlihat glamour dan sedikit fashionable.

Ketika aku melangkah sedikit mendekat, aku seakan mengenali sosoknya meski hanya melihat punggungnya dari belakang. "Nah, ini anaknya, Bu," ujar ibu kosku membuat sosok perempuan tersebut dengan sigap memutar tubuhnya, menoleh ke arahku.

"Sashee!?"

"Halo, Misya," sapanya sembari menyeringai.

~Bersambung

Coffee Shop Where stories live. Discover now