Di Ambang Keraguan

108 2 0
                                    

DI AMBANG KERAGUAN

Verlyn menghentikan Yaris  merahnya di depan rumah minimalis berpagar besi hitam. Jam digital di dashboard  menunjukkan pukul 4.30, setengah jam lebih awal dari waktu yang dijanjikan. Seharusnya, Verlyn segera menekan bel dan menemui sang kekasih. Tetapi, hatinya tidak membuncah dengan rindu, kegalauan mengaliri hatinya. Verlyn menekan tombol off radio, mematikan mesin mobil, menghela napas sedalam-dalamnya dan menutup matanya, mencoba menenangkan dirinya sebelum melangkah masuk ke dalam rumah Teddy. Seandainya AC di mobil bisa juga menyejukkan pikirannya yang panas. Memory berputar ke masa-masa di kala pertentangan tidak terjadi di antara mereka. Ketika cinta masih bersemi, menebar harum dalam setiap hari yang mereka lalui bersama. Tidak hendak menyalahkan siapa pun, Verlyn berusaha memahami setiap keputusan yang dilontarkan Teddy. Pertengkaran memang bisa dihindari, tetapi hasil akhirnya adalah rasa sakit yang meresap di dadanya. Setiap kali berpikir menggantung karirnya, rasa sakit itu kembali tertoreh. Tak memahami betapa pentingnya mengajar dan terutama menulis, Teddy tetap memaksanya melepaskan karir yang sudah mendarah daging dalam diri Verlyn. Bagaimana seandainya Verlyn meminta Teddy menghentikan hobbynya, menonton F1 Race? Pernahkan Verlyn memintanya ? Tidak, karena dia menyadari F1 itu sudah seperti pacar kedua Teddy. Tetapi, apakah Teddy memahami kalau dunia mengajar dan menulis itu penting baginya ? Sepertinya tidak. Sekarang, Teddy menilai semuanya dengan uang. Menurutnya uang yang dihasilkan dari karir itu tidak banyak. Teddy bisa mencukupkan semua keperluan Verlyn bahkan lebih. Tapi, bukan itu masalahnya, dengan mengajar dan terlebih menulis, Verlyn merasa hidupnya berarti. Terlebih dunia tulis menulis yang sejak remaja ditekuninya, kini membuahkan hasil. Beberapa novel sudah dihasilkannya. Walaupun belum termasuk dalam jajaran penulis terkenal, tetapi hari ini adalah titik awal dari kesuksesannya. Book-signing "Jangan Katakan Cinta" yang digelar publishernya, berlangsung dengan sukses. Semua yang dirintisnya sudah mulai berbuah. Tetapi, semua itu tidak ada artinya bagi Teddy. Menurutnya menulis itu konyol. Verlyn berusaha memahaminya, tetapi setiap kali dia berusaha, hanya rasa sakit yang tersisa di hatinya.

4.45.....ponsel Verlyn menjerit-jerit. Tanpa melihat layar ponselnya, Verlyn sudah menebak siapa yang meneleponnya.

Verlyn menekan tombol terima, "Hallo"

"Kamu sudah di mana, Lyn ?" suara Teddy terdengar resah. "Sudah hampir jam 5."

Verlyn menghela napas panjang, "Just arrived, Ted."

"Good..I'll open the gate." Teddy langsung menutup teleponnya.

Verlyn menggelengkan kepala dengan kesal. Telepon langung ditutup begitu pesan disampaikan. Oh, aku ini pegawainya atau kekasihnya. Satu lagi perubahan Teddy yang membuat hati terasa ngilu. Dulu, setiap mengakhiri percakapan , Teddy tidak pernah lupa mengucapkan "I Love you" tetapi sekarang seperti yang penting adalah kalimat perintah. Lha, apakah aku ini karyawannya, sehingga Teddy main perintah saja. Sepertinya His wish is my command.

Tepat saat Verlyn sudah berdiri di depan gerbang, pintu depan terbuka dan Teddy dengan setelah jas rapi keluar menghampirinya.  Teddy menggandengnya.

"Biar Pak Yatmo yang membawa masuk mobilmu. Orang tuaku sedang bersantai di backyard."

Verlyn hanya mengangguk, enggan berbicara.

"Sudah hampir jam 5 dan kamu tiba pas sekali."

Verlyn mengeluh dalam hati. Tidak bisakah Teddy bertanya apakah Verlyn merasa lelah, bagaimana kondisi lalu lintas. Tidak bisakah sang direktur ini berbasa basi dengan calon istrinya ?

Verlyn mengikuti langkah Teddy, tidak berniat berbicara. Sementara di sisinya, Teddy terus berceloteh tentang acara makan malam di rumahnya, yang akan dihadiri oleh seisi keluarganya. Teddy belum lama ini diwawancarai oleh sebuah stasiun TV dengan tajuk Pengusaha Muda yang Sukses. Malam ini, keluarga Pranata merayakan keberhasilan Teddy dengan makan malam keluarga dan mengundang beberapa teman dekat keluarga.

Cinta dalam Secangkir CappucinoWhere stories live. Discover now