He has changed

14 2 0
                                    

Di chapter 9 ini, author akan menampilkan kemarahan yang selama ini terpendam dalam sosok cantik Verlyn.
Apakah kemarahannya akan ditumpahkan atau hanya dipendam ? Apakah kemarahannya akan mengubah jalur hidupmu.

Verlyn's POV

Masih terisak, aku menyeka air mata yang meleleh di pipiku. Aku tak bisa berhenti meneteskan air mata setiap kali mengingat kejadian tadi. Aku betapa terkejut mendengar gelegar suara Teddy di pesta tadi. Entah apa yang merasuki kepala Teddy Pranata sehingga tanpa awan tanpa angin, dia menyemburkan emosinya. Tiba-tiba, aku merasakan kemarahan melanda diriku saat mengingat Teddy pembicaraanku dengan Teddy. Dia sudah berubah total. Dia tidak lagi menutupi ketidak sukaannya dengan karirku di hadapan orang-orang. Dia tadi sudah menyuarakannya dengan keras di hadapan banyak orang. Teddy sudah tidak peduli lagi padaku. Dia hanya peduli aku berhenti bekerja. Dia hanya ingin aku memperhatikannya. EGOIS ! SELFISH! HE'S NOT MY SWEET TEDDY ANYMORE ! Dan aku semakin terisak. Sesak rasanya dada ini. Aku membersit hidung berusaha menahan isakku.

Smart phoneku kembali menyalak nyaring. Aku tidak perlu melirik siapa peneleponnya. Lagu 'Beautiful Girl' dari Julio Iglasias mengalun menanda siapa si penelepon. TEDDY ! Entah sudah berapa kali dia meneleponku. Tak sekalipun aku menjawabnya. Bahkan whatsapp-nya pun, aku enggan membacanya. Dia sudah kelewat batas malam ini. Apa maksudnya berteriak di tengah-tengah orang banyak dan menyeretku ke halaman hanya untuk mengatakan ketidak setujuannya, padahal masalah yang tidak disetujui olehnya belum tentu terjadi. Belum ada produser film yang mengontak baik penerbitku atau pun diriku sendiri. Lebih parahnya lagi, tidak ada satu kata pun dari Teddy yang memuji pencapaianku. malahan Teddy mempertegas kalau aku harus berhenti dari kesibukanku mengajar dan menulis. Dia hanya ingin aku memperhatikannya. Apa sih yang ada di benak pria yang pernah sangat aku cintai itu? Masa dia cemburu dengan anak-anak didikku? Dengan para fans yang sebagian besar juga wanita ? Siapa sih yang mau dia cemburui? Aku sudah bilang kalau aku bisa mengurangi menghabiskan waktu di tempat kursusku. Alicia bisa diandalkan untuk menangani urusan di sana. Berbagai perasaan melanda diriku. Aku marah, kesal,jengkel terhadap Teddy. Tapi, di satu sisi aku juga samgat mencintainya. Teddy pernah menjadi orang yang mendukung karirku. Dia membantuku tidak hanya ide tapi juga tenaga dan uang. Dia selalu menjadi tempat sandaranku. Aku merasa nyaman berada di sisinya. Tapi, sejak dia sukses menangani perusahaan ayahnya bahkan memperbesarnya, Teddy berubah. Dia tidak sombong. Hanya....dia menjadi lebih egois. Perhatiannya padaku memang tidak seintens ketika dia belum menjabat sebagai direktur. Untuk hal ini, aku mengerti dan memahami tuntutan pekerjaanya. Walaupun demikian, Teddy tidak pernah lupa hari-hari istimewa kami. Aku salut padanya.

"Beautiful Girl" kembali berkumandang dari smart phoneku. Sekali, dua kali hingga tiga kali dan aku masih dengan tega hati membiarkannya. Bahkan kini, setelah puas mencurahkan air mata, aku dengan segenap hati menekan tombol menonaktifkan ponselku. Aku enggan, teramat enggan berhubungan dengan yang bernuansa Teddy saat ini. Aku hanya memejamkan mata dan membiarkan malam membawaku ke negeri impiam di mana, aku bisa kembali menemukan Teddy-ku yang dulu. Teddy yang tidak egois, selalu mementingkan aku di atas kepentingan dirinya sendiri.

****************************
Aku masih ingin berada di dunia mimpi, tapi ketukan di pintu semakin gencar. Ah, aku mengeluh jengkel. Ada apa sih sampai harus membangunkan aku. Apakah ada kebakaran? Gempa bumi? Sepertinya tidak ada teriakan-teriakan, hanya ketukan yang kian bertubi memintaku bangun. Malam kemarin, aku tidur sangat larut, ya terima kasih pada Teddy yang telah membuat mataku sembab dan merusak jam tidurku. Ketukan semakin kencang, mustahil rasanya jika aku pura-pura tak mendengar dan meneruskan tidur. Menggeliat malas, aku membuka mata. Mataku masih mengejap-ngejap, tubuhku masih berusaha menarik setiap bagian jiwaku untuk kembali ke alam nyata. Ketokan di pintu semakin tidak sabar. Aku membuka mulut dan dengan jengkel aku menyahut,"Ya, sebentar" dengan agak lantang. Barulah ketukan itu berhenti. Aku mendekati meja rias, menyisir rambutku agar tidak terlalu terlihat kusut dan meneguk air putih dalam mug bergambar beruang, untuk menyegarkan tenggorokan. Mataku sempat melirik weker mini di nakas tempat tidur. Hampir aku memekik ketika melihat jarum jam penunjuk waktu tersebut. Pukul 6.30. Ada apa sepagi ini sudah menggedor pintu kamar ? Apa papa mama ada acara keluar pagi-pagi? Seingatku hari ini  tidak ada acara apa apa. Dan tidak biasanya pintu kamarku digedor pukul 6.30 pagi. Aku masih bisa beristirahat hingga jam 7. Lagipula ini hari Sabtu dan tidak ada anggota di rumah ini yang masuk kerja di hari Sabtu. Semua bisa bangun siang di hari Sabtu. Ada apa gerangan, sampai aku harus mendengar huru hara kebisingan ini.
Ah, sudahlah tokh aku sudah terbangun. Mungkin ada hal penting yang mengharuskan aku bangun pagi. Aku memutar gagang pintu dan membuka pintu. Dan wajahku langsung cemberut, betapa ingin aku membanting pintu, tapi tangan Teddy yang kuat menahan daun pintu. Merasa tak ada gunanya beradu tenaga dengan Teddy, aku balik melangkah masuk ke dalam kamar.
Teddy membiarkan pintu terbuka dan masuk menghampiriku,"Lyn, I'm so sorry. I didn't mean to hurt you." Wajahnya menunjukkan penyesalan. Aku tak bergeming. Aku malah menyibukkan diri dengan aktivitas melipat selimut dan membereskan ranjang, bersikap seolah-olah Teddy tidak ada di hadapanku.

"Lyn, please forgive me. I know I shouldn't treat you like yesterday. I'm sorry." Kini dia malah menarik tanganku, sehingga wajah kami menjadi berhadapan. Aku menyentaknya dengan jengkel. Teddy tidak menahannya. Dia membiarkan tanganku terlepas darinya. Aku berjalan keluar kamar dan Teddy mengikuti. Aku tidak peduli. Mau dia minta maaf sejuta kali pun, aku masih jengkel dengannya. Kali ini, Teddy berjalan lebih cepat dan berdiri di hadapanku, menahan laju gerakku.
"Lyn, I'm sorry. I must have hurt you. I'm sorry."
Dia terus melafalkan 'I am sorry." Aku menghela nafas, terombang ambing antara bersikap tidak peduli atau memaafkannya. Dengan tarikan napas panjang, aku bertekad untuk mendiamkan Teddy, paling tidak untuk hari ini. Biarlah memberi sedikit pelajaran untuknya. Walaupun, hati kecilku menggelitik diriku untuk memaafkannya. Aku memutar arah, berbalik menjauhi dirinya. Kali ini pun, dia bertindak sigap, kembali melangkah tepat di depannya dan kembali mendengungkan permintaan maafnya. Dengan jengkel, aku menutup kuping.
Tapi Teddy seolah tak peduli, mulutnya terus mendengungkan permintaan maaf. Akhirnya tidak tahan aku mendesiskan kemarahanku, "Cukup, Ted !" Suaraku yang bernada delapan oktaf akhirnya menghentikan rengekan maafnya. Mungkin bukan hanya rengekan Teddy yang terhenti tapi juga aktivitas anggota keluarga lain di rumahku ini. Aku yakin suaraku cukup nyaring terdengar.
"Ini masih jam berapa, Ted? Kamu ini kenapa pagi-pagi datang ke rumah orang , bikin ribut?" Aku sudah mulai bisa menata nada suaraku ke arah normal.
Teddy juga sudah mulai menguasai keterkejutannya dari lengkingan delapan oktaf-ku.
"Aku merasa bersalah kepadamu. Aku ingin minta maaf padamu."
"Maaf?" Aku mencibir.
"Lyn, I'm sorry. I was out of control."
Aku menatap tajam ke dalam mata Teddy. Ya, mata itu menunjukkan ketulusan. Dia benar-benar menyesal. Tapi, dia tetap harus diberi pelajaran. Jangan dipikirnya, mudah saja meminta maaf setelah dia marah-marah tanpa alasan yang jelas. Jadi, aku memutuskan meneruskan marahku kepada Teddy.
"Sorry is not enough, Ted !" Kata-kata itu terdengar begitu tegas keluar dari mulutku. Teddy sempat terperanjat.
"What can I do to make you forgive me, Lyn?" Kedengarannya Teddy sudah putus asa memohon maaf dariku. Tapi, sisi jahatku masih tetap ingin bermain. Aku hanya mengangkat bahu dengan cueknya.
"Lyn...!"
"Aku masih mau istirahat, Ted." Aku berjalan meninggalkan Teddy yang dengan terperanjat memperhatikanku melangkah masuk ke dalam kamarku. Hatiku sedikit berdebar, khawatir Teddy mengikutiku. Tapi, ternyata aman. Aku menutup pintu kamar dan menguncinya. Menanti beberapa saat, harap-harap cemas akankah suara gedoran kembali membahana. Beberapa menit menunggu, sunyi senyap. Ah, hatiku berseru lega. Aku duduk di tepi ranjang dan siap menghempaskan diriku ke dalam rasa nyaman berbaring dan meringkuk di ataa ranjangku. Tak peduli apa yang akan dilakukan Teddy. Biarlah, kali ini aku menghukumnya.

****************************

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 14, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Cinta dalam Secangkir CappucinoWhere stories live. Discover now