dia berjanji

6.6K 1K 143
                                    

Hamparan langit yang sepi akan bintang tengah menjadi atapku saat ini. Tubuhku beralaskan rumput yang sedikit basah. Lalu udara sepoi-sepoi khas musim panas berhembus pelan menerpa kulitku.

Berbaring di pinggir sungai han adalah obat terbaik jika ingin menghirup udara segar. Saat melihat aliran sungai dan kelap-kelip lampu yang bergerak di atas jembatan, aku tak lagi merasa tertekan. Mataku menerawang ke atas langit, berharap ada bintang yang muncul berkelap-kelip di sana, namun jangankan bintang, bulan saja tertutup awan.

Aku berhenti melamun saat merasakan sesuatu yang dingin menyentuh kulit pipiku. Mataku yang awalnya terpejam sekarang bertemu dengan sosok Park Jimin. Dia menampilkan senyum kecilnya sambil menyerahkan sekaleng minuman. Lalu dengan tanpa persetujuan siapapun disini ia menjatuhkan diri di sebelahku, berbaring di bawah langit.


Untuk sesaat kami tak melakukan apapun atau berbicara tentang sesuatu. Sampai pada akhirnya kami saling memanggil nama masing-masing secara bersama-sama. Membuktikan bahwa sebenarnya aku dan dia ingin menanyakan berbagai macam hal.

"Kenapa bintang tak muncul?" Tanyaku lebih dulu sambil menoleh ke arahnya dan senyumku muncul saat ia sedikit terkikik geli mendengar pertanyaan anehku.

"Karena hujan." Jawabnya singkat. Ia masih sibuk mengamati apa yang ada di langit sementara aku sibuk menatapnya. Bahkan tangannya telah bergerak-gerak menggambar sesuatu di udara yang kosong.

"Sok tahu." Ungkapku, "Apa yang hujan lakukan sampai membuat bintangnya tak muncul?"

"Bintang takut kehujanan. Mereka tidak punya payung. Jadi, mereka berteduh. Biar tidak basah."

Yang aku tahu itu teori paling bodoh untuk anak seumuran aku dan Jimin. Imajinasinya tak jauh berbeda dengan tetanggaku yang masih berumur lima tahun. Jimin memang memiliki wajah yang imut, tapi aku tidak tahu kalau otaknya juga sama imut dengan wajahnya.

Oh, apa barusan aku sedang memujinya?

Tanpa sadar aku menertawakannya diam-diam. Tapi tak berselang lama, Jimin mengetahuinya. Laki-laki itu menghentikan kegiatannya menatap langit dan berganti menatapku.

"Kau mau dengar cerita?"

Aku menutup mulutku saking kencangnya aku tertawa. Tapi dia mengabaikanku. Ia menopang kepalanya dengan tangannya. Tubuhnya menghadap ke arahku. Dan tinggi badan kami yang terpaut sekitar 20 sentimeter menharuskan diriku mendongak agar mata kami sejajar dan nyaman untuk bertatapan.

"Ada seekor ikan koi di dalam vas kaca."

Satu kalimat pertama yang ia ucapkan membuat diriku tertegun. Senyumku luntur. Otakku memutar jelas gambaran mimpi yang aku mimpikan tadi.

"Ikan itu adalah ikan satu-satunya yang hidup di dalam sana. Ia berenang tanpa gangguan. Hingga suatu hari, seorang pengganggu menemukannya."

Aku menahan nafas.

"Sang ikan yang merasa dirinya jenuh pada lingkungan hidupnya saat ini bersusah payah berenang ke atas permukaan. Keinginan untuk lolos dari vas membutuhkan sebuah perjuangan. Maka dari itu, walaupun ia tahu tidak ada gunanya menabrakkan diri pada dinding vas, ia berharap seseorang itu menolongnya keluar."

"Jim, itu terdengar seperti mimpiku."

Suaraku sangat kecil dan parau. Jantungku berpacu dua kali lipat, mimpi yang datang menjadi bunga tidurku itu seperti kutukan. Sakit seperti yang dirasakan oleh si ikan masih dapat kurasakan. Dan aku tidak dapat membayangkan-

"Apakah ikannya mati atau hidup?"

- bahwa aku sama sekaratnya.

"Dia sekarat."

Sweet EscapeWhere stories live. Discover now