Tonari no Qwerty-san : FILE 07

131 4 0
                                    

FILE. 07 : Backspace

Aku yakin ini pasti ujian paling buruk sepanjang riwayat perkuliahanku yang sebenarnya baru berlangsung selama beberapa bulan. Bukan ujian akhir semester yang memang berpengaruh besar terhadap nilai akhir, tapi ujian tiap minggu yang wajib diikuti ini punya pengaruh yang lumayan mengingat dosen nyentrik yang suka sekali duduk di meja itu tidak punya waktu banyak selain memberi ujian. Ia tipikal dosen yang masuk kelas hanya untuk membagikan modul, lalu pertemuan berikutnya adalah tes. Mahasiswa asing sepertiku tentu saja agak kaget dengan sistem belajar macam ini.

            Namun bukan salah sistemnya. Aku sudah bisa beradaptasi selama kira-kira empat bulan perkuliahan di sini hingga seharusnya tidak ada masalah bagiku dengan ujian itu. Hanya saja, mengingat masalah semalam, aku tak dapat mengerjakan soal-soal tersebut dengan tenang. Mungkin ujian kali ini nilaiku D, atau bahkan F. Setidaknya aku punya dua tabungan B+ dan satu A yang bisa menyelamatkanku di ujian akhir nanti.

            Sayangnya begitu pulang, pintu kamar 302 itu masih tertutup.

            Aku mencoba mendekat, mengetuknya. Kali ini tidak terdengar suara apapun. Aku menghela napas panjang. Setidaknya Qwerty-san tidak lagi menangis. Walau sebenarnya aku cukup bertanya-tanya, mengapa ia menangis? Apa aku melakukan kesalahan yang membuatnya kesal? Sejak pagi tadi, sudah puluhan pesan kukirim. Isinya tentu meminta maaf, dan memintanya untuk bertemu denganku. Hari ini aku bahkan sengaja tidak datang ke perpustakaan untuk membantu Tuan Roberts karena menganggap Qwerty-san akan membukakan pintunya untukku.

            Sayangnya... tidak.

            Ketukan yang ketiga kali, aku hampir menyerah. Mungkin Qwerty-san hanya membutuhkan waktu, begitu pula aku.

            Hingga kuputuskan untuk kembali ke kamarku, tapi begitu berbalik...

            “Whoa!” Hampir saja aku jatuh karena terkejut melihat pria jangkung yang ada di depanku kini. “O-oh...” Mike-san, astaga—mengingat kejadian semalam aku jadi malu bertemu dengannya. Apa yang harus kulakukan? Minta maaf, tentu saja minta maaf. Aku benar-benar lelah semalam, emosiku pun tidak stabil, jadi... “Ehm, soal yang semalam...”

            “Dia belum juga keluar?”

            “E-eh?” Tiba-tiba saja Mike-san mengalihkan pembicaraan yang membuatku ikut mengerlingkan pandangan pada pintu kamar subjek yang ia bicarakan. “Belum. Sepertinya sesuatu terjadi, tapi...”

            “Ahahaha,” Mike-san tertawa, eh? “Soal yang semalam itu, aku minta maaf ya,” di sela tawanya yang renyah, tiba-tiba ia meminta maaf. Loh, bukannya aku yang salah karena... telah memukulnya ya?

            “Ah itu, harusnya aku yang minta maaf,” kepalaku menunduk-nunduk, tanda bahwa aku benar-benar menyesal. “Emosiku sedang tidak stabil, jadi soal pukulan itu...”

            “Salahku juga sih, tidak apa-apa. Walau yaa... rasanya lumayan sih, masih sakit,” pria jangkung di hadapanku ini membuat gurauan dengan membentuk ekspresi lucu di wajahnya. Ia lalu menepuk-nepuk bahuku, “Maaf juga, tapi kemarin itu benar-benar... aneh.”

            Aneh? Sejujurnya aku tidak mengerti pada apa yang Mike-san ucapkan. Ini pasti berkenaan dengan Qwerty-san, dan kupikir aku harus mendengarkan cerita darinya juga. Untuk itu, aku mengundangnya masuk ke dalam kamar apartemenku, menyuguhkan teh, dan kue-kue kecil yang Hinata bawakan untukku kemarin.

            Ternyata ia bukan pria menyebalkan seperti yang selama ini kukira. Mike-san cukup humoris, dan akhirnya aku tahu kenapa Qwerty-san bisa berteman baik dengannya. Di apartemen ini, hanya ada beberapa orang yang mau berbaur dengan sekitarnya. Sisanya hanya orang-orang yang sibuk sendiri dengan pekerjaan mereka. Jarang sekali ada penghuni baru yang menyapa tetangga. Sungguh tingkat individualis yang ternyata lebih tinggi daripada yang kurasakan di negeriku.

Tonari no Qwerty-sanWhere stories live. Discover now