OPERA | Decem

4.2K 619 82
                                    

Aku melihat ribuan burung jalak berformasi, membentuk sebuah pertahanan diri. Aku melihat kamu disini, dan ternyata, sesederhana itu rasanya terlindungi.

Seperti nyaman enggan menyingkir dari dirinya, Lessa malas beranjak menuju pintu keluar kelas meskipun bel pulang telah berbunyi sekitar lima menit yang lalu. Kunci toko telah ia berikan pada Anna, menyuruh Anna agar gadis itu membuka toko terlebih dahulu bersama Nael.

Ponsel yang sedaritadi bergetar di atas meja hanya ditatap Lessa, entah ia gugup atau apa, namun perasaan aneh itu kini hinggap di dirinya.

"Lo tau kan fungsi inituh buat apa?"

Lessa dibuat tersentak kemudian mengadah, sejak kapan orang yang sedaritadi menelepon kini sudah berdiri di sampingnya?

Braga mengambil ponsel Lessa, menyimpan kontaknya yang belum tersimpan, ternyata. "Maaf, Kak." Lessa malu, ketahuan basah sedang mengabaikan telponnya.

"Jangan panggil gue kakak, berasa tua." Braga kini duduk diatas meja, meneliti gadis di depannya.

"Iya," jawab Lessa menunduk lagi.

"Yaudah, ayo." Braga masih duduk.

Lessa menatap manik mata hitam itu, "Ke puncak Halma mau apa?"

"Ada yang mau gue tunjukin," jawab Braga santai.

Jantung Lessa seakan dipompa lebih cepat sekarang, apa mungkin Braga akan..? Lupakan Lessa! Satu kesalahan yang Lessa sadari sekarang; ia berpikir yang tidak-tidak, semacam harapan. Bukankah harapan adalah sesuatu yang berbahaya?

"Oke!" Jawab Lessa menghiraukan lamunannya barusan, ia lantas beranjak.

Mereka menyusuri koridor bercat coklat pasi itu, menatap ubin yang dilewati karena sepanjang mereka berjalan, tidak ada yang membuka suara. Bahkan Lessa tahu ubin keberapa yang kini diinjaknya.

Brukk!

Lessa terhenti ketika bahunya tertabrak sesuatu, cukup keras. "Kalau jalan liatnya kedepan!" Bentak gadis di depannya.

"Maaf," Lessa mengalihkan pandangan dari Brisia yang kini memakai seragam kebanggan salah satu ekstrakulikuler sekolah, cheers.

"Tipe lo yang kaya gini, Ga?" tanya Brisia beralih pada Braga.

"Low class sih ya!" sambungnya lagi, lantas meninggalkan keduanya.

"Jangan pikirin," ucap Braga ketika sampai di parkiran.

"Nope, sama sekali gak pikirin." Padahal nyatanya, ucapan Brisia tadi menohok. Lessa tersenyum meyakinkan. "Lagian, kita juga cuma sebatas temen, dia aja yang salah paham. Tipe kamu juga pasti yang high class, makannya sampai sekarang masih sendiri." Lessa tertawa sekarang.

Jujur, Braga menikmati tawanya. Ia mengisyaratkan Lessa agar segera menaiki motor, gadis itu menurut lantas mereka melaju. Membelah keramaian jalan pada sore hari, memangnya, ada apa di Puncak Halma pada sore hari begini?

Pukul setengah empat, mereka sampai di puncak, menaiki motor tentu saja. Track yang dilalui mengizinkan kendaraan untuk naik. "Ada apa?" tanya Lessa tidak sabaran, ia hanya ingin menormalkan detak jantungnya, karena kini detakannya seperti berlari, entah rasa macam apa ini.

Braga tersenyum dan itu menyebalkan, karena membuat detakannya semakin menjadi.

"Engga apa-apa, emang kenapa?" jawab Braga lebih menyebalkan.

Lessa berdecak, "Braga..!" Panggilnya nyaring. "Main-main kamu sama aku?" kesal Lessa.

Braga terkekeh sekarang, dan tolong. Lessa tidak mau diabetes ditempat.

OPERAWhere stories live. Discover now