1. Pulang

170K 22.1K 12K
                                    

Hari ini selesai, seharusnya. Semua proses pemaparan, presentasi, dan segala jenis alur screening sudah ia lalui. Ia hanya tinggal menunggu keputusan yang akan diambil pada saat musyawarah besar nanti, kemungkinan besar dia akan langsung diangkat menjadi ketua himpunan bersama Narendra selaku wakil.

Ia menyalakan bluetooth speaker yang selalu menemaninya, memutar lagu-lagu akustik untuk membuatnya terlelap.

Lampu kamar sudah dimatikan. Akmal menarik selimut hingga ujung kepala, menyembunyikan dirinya yang dipenuhi dengan ketakutan dan rasa cemas dibawah sana. Pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya wajar terus menerus memenuhi kepalanya, seakan meminta jawaban dan penjelasan. Pada saat screening tadi, ada satu pernyataan dari teman seangkatannya yang mengusik pikiran, hampir membuatnya marah jika Narendra tidak datang dan memisahkan.



"Lo sebenernya ngga kompeten-kompeten amat, cuma ya karena ngga ada pilihan lain, udah jelas bakal lo yang naik. Good luck dah, semoga lo ngga gagal dan malu-maluin nama angkatan. Gue cabut dari himpunan, males kalo yang mimpin orang kaya lo," kalimat yang disampaikan oleh Gio itu dikatakan dengan nada yang benar-benar terdengar meremehkan.

Sore tadi, Akmal benar-benar sudah menahan amarah. Ia mengepalkan tangannya dengan sangat erat. Bayangkan saja, disela-sela jam istirahat dengan kondisi fisik yang sudah sangat lelah, ia masih harus berhadapan dengan orang semacam itu.

Akmal benar-benar hampir memukulnya ketika Narendra datang dengan cepat, menjawab omongan tersebut dan membawa Akmal pergi. "Aamiin, aamiin, nuhun doanya. Kalo mau keluar, sok mangga keluar aja. Semoga semua kegiatan diluar himpunannya lancar dan berhasil ya." Hanya itu jawaban yang Narendra berikan, yang malah membuat si lawan bicara merasa kesal sendiri.


Akmal menendang ruang kosong dibawah selimutnya, melampiaskan rasa kesal pada angin. Ia berjengit bangun, mengacak rambut dan menyalakan lampu kembali. Dengan derap yang bersuara, ia duduk di meja belajar, meraih buku catatan berwarna biru tua serta pulpen yang tergeletak tak beraturan.

Malam itu Akmal kembali mengorbankan waktu tidurnya untuk berpikir, berpikir dan berpikir. Cibiran yang meremehkan semacam itu tidak akan pernah ia biarkan, malah harus ia bayar dengan bukti nyata berupa prestasi.

Ia berjanji untuk melindungi periode ini dari omongan-omongan negatif dengan strategi dan pemikiran maju yang akan ia usung.



Berlembar-lembar catatan dan banyak pemikiran telah tertuliskan, namun hatinya masih belum tenang. Mungkin memang hatinya tidak akan berhasil untuk tenang sampai ia benar-benar sampai pada titik keberhasilan.

Jam digital yang ia pasang di meja belajar menunjukan pukul hampir setengah tiga pagi. Dengan pikiran yang masih kalut, Akmal berdiri. Ia meraih hoodie berwarna hitam yang menggantung dibalik pintu, memakai celana jeans, membawa dompet dan ponsel serta menarik kunci motor dari atas meja dengan kasar.



Akmal mengunci pintu kamarnya. Suara ceklekan kunci yang cukup keras membuat Jeno menengok dari kamarnya.

Jeno selalu begitu. Setiap kali ia memiliki waktu untuk beristirahat, bukannya dipakai untuk tidur, malah ia pakai untuk bermain game komputer hingga pagi.

"Mau kemana?" tanya Jeno setelah menekan tombol pause.

"Balik."

"Ke rumah?"

"Iya."

"Jam segini??" Jeno melihat jam dinding yang digantung pada tembok kamar. "Udah kemaleman, Can. Ngga besok aja?"

"Ngga," Akmal masih menjawab pertanyaan Jeno dengan singkat.

"Lo balik naik apaan?"

"Motor."

HIMPUNAN VOL.2Where stories live. Discover now