Chapter - 9

1K 102 0
                                    

Tiati part panjang dan ngebosenin :(


■■■■■


2 Minggu berlalu

*Tokk... Tokk.. Tok


Ketukan dengan irama cepat itu membuat Hito yang tengah meneguk segelas air putih di dapur terlonjak kaget.

“Selamat malam bapak dokter, saya punya istri teriak-teriak sakit..”

Seorang warga asli pulau ini berbicara dengan cepat dalam nafas yang tersengal. Nampaknya bapak yang tidak diketahui namanya itu berlarian saat perjalanan kesini.

“Ada apa To?” (namakamu) yang baru saja keluar dari kamarnya menghampiri Hito dan seorang bapak di pintu rumah.

“Begini ibu dokter saya punya istri teriak-teriak sakit, saya punya istri sudah ingin melahirkan.”
(namakamu) dan Hito diam mencerna ucapan bapak yang kesusahan berbicara dalam bahasa Indonesia.

“Istri bapak sedang hamil? Dan akan melahirkan?” (namakamu) coba mengkonfirmasi ulang atas informasi yang berhasil dicerna otaknya.
Bapak yang berdiri dihadapannya hanya mengangguk cepat. (namakamu) dan Hito terkesiap menyadari situasi genting yang tengah mereka hadapi.

“Bapak tunggu dulu disini, saya siapkan alat dulu.” (namakamu) menyusul Hito kearah kamar kosong yang memang dikhususkan untuk menaruh segala peralatan medis.

“Aduh gimana ini, kita belum siapin prasatnya.” (namakamu) mengobrak abrik tumpukan tas, mencari tas yang cukup besar untuk menaruh semua prasat.

“Tenang (nam..) jangan panik, kita nggak boleh panik.” Hito menyiapkan segala prasat yang dibutuhkan.

“Aduh Hito gimana aku bisa tenang? Istrinya bapak itu mau melahirkan, sedangkan kita dokter bukan bidan. Emangnya disini nggak ada bidan apa? Astaga.. Mana Salsha tidur.”
(namakamu) menghela nafas frustasi, pasalnya ini kali pertamanya harus menangani persalinan. Memang pas kuliah ia sempat melakukan pratik proses persalinan, itupun melalui phantom.

“Steffan juga tidur, kita berdua pasti bisa bantu si ibu. Kamu harus percaya sama kemampuan kamu. Okay?” (namakamu) mengangguk paham.

“Okay! Ini udah semua?”

“Udah, ayo cepet.” Hito menarik tangan (namakamu), dengan sekali hentakan (namakamu) melepaskannya.

“Tunggu! Snelli, kita nggak mungkin tugas tanpa snelli.” (namkamu) berlari ke kamarnya begitupun Hito. (namakamu) mengambil snelli dan ponselnya, ia rasa ponselnya akan berguna untuk dokumentasi.

Mereka terus berlari melewati hutan, untungnya ini musim kemarau. Jadi tanah yang mereka pijak tidak becek. Keadaan lingkungan ini sangat gelap, tidak ada penerangan apapun. Mereka hanya mengandalkan cahaya bulan, dan flash dari ponsel. (namakamu) menggenggam tangan Hito erat, (namakamu) ketakutan ia tak pernah membayangkan kalau masa baktinya akan seperti ini, sudah seperempat jam mereka berlari tanpa henti tapi tal kunjung sampai.

“Bapak, masih jauhkah?”
(namakamu) sedikit berteriak, ia sudah sangat lelah.

“Saya punya rumah masih jauh dari sini.” Bapak itu mengehentikan larinya, Hito melihat (namakamu) yang sepertinya kelelahan.

“Bapak bisa bantu sayakah? Tolong bapak bawa tas ini.”
Hito menyerahkan tas yang ia jinjing dan berjongkok dihadapan (namakamu).

“Ayoo naik (nam..) kita nggak punya banyak waktu, dan saya nggak mungkin tinggalin kamu disini. Tapi kalo kamu nggak mau saya gendong, saya terpaksa harus ninggalin kamu disini.” (namakamu) mengedarkan pandangan kesekitar, ia brigidik ngeri. Disini sangat gelap ia tidak tahu apa yang akan mengancamnya nanti, lagi pula kalau ia memutuskan untuk kembali ke rumah dinas ia tidak yakin akan sampai semua jalan terlihat sama, akhirnya ia menerima tawaran Hito.

Tasbihku Bukan Rosariomu - IDRWhere stories live. Discover now