2 | cursed

433K 31.7K 986
                                    




2 | cursed



DUA puluh menit berendam cukup membuat mood Sabrina membaik. Rupanya essential oil pemberian Ibel, kakak perempuannya yang sekarang sudah punya pekerjaan mapan, memang perlu diacungi jempol.

Segera dikosongkannya bak mandinya, kemudian melompat keluar, meraih handuk di gantungan.

Setelah mengeringkan tubuh, Sabrina menggunakan handuknya untuk membungkus rambutnya yang basah, kemudian menuju ke wastafel untuk melakukan night skincare routine. Usianya baru dua puluh tahun. Tentu ritual sepenting ini tidak boleh terlewatkan. Dia tidak mau lagi dikira anak kembar setiap kali sedang berjalan bersama kakaknya yang terpaut usia enam tahun. Memangnya dia terlihat setua itu?

Sabrina mengoleskan sleeping mask sebagai step terakhir, kemudian menepuk-nepuk mukanya dengan puas.

Gonggongan Milo sudah tidak terdengar lagi dari ruang tengah.

Diliriknya sekilas baju kotor yang tadi dia biarkan begitu saja berserakan di lantai, mengabaikannya, langsung menuju kasur. Ditendangnya sandalnya sampai terlepas dan menjatuhkan diri, terlentang di tengah-tengah kasur besarnya.

Ah, setumpuk pekerjaan rumah masih menanti. Coba dia sekaya Ibel, bisa mempekerjakan asisten rumah tangga, pasti jam segini dia sudah bisa tidur nyenyak.

Kemudian pandangannya jatuh ke cermin meja riasnya. Damn!

Segera ditariknya selimut sampai menutupi tubuhnya.

Dia tadi tidak lupa mematikan sambungan video call dengan Zane, kan?

Goblok banget, Sab! Dia mengutuk diri sendiri. Tapi kemudian berusaha tenang.

Yah, kalaupun dia tadi langsung pergi begitu saja, mana mungkin Zane tidak mematikan sambungan duluan? Zane tidak sekurang kerjaan itu, membiarkan panggilan terhubung sementara sudah tidak ada lagi urusan diantara mereka.

Tapi Sabrina tetap khawatir juga.

Dengan tubuh terbungkus rapat menggunakan selimut, dihampirinya meja riasnya, dan diambilnya ponsel yang masih melekat di cermin itu dan memeriksanya.

Tidak ada keterangan waktu kapan panggilan diakhiri. Hanya ada keterangan kapan panggilan masuk. Dan bahkan seandainya ada cara untuk mengetahuinya, dia juga tidak yakin pukul berapa tepatnya dia melepas pakaian sebelum mandi tadi.

Sabrina cuma bisa berharap yang dikhawatirkannya tidak terjadi. Dan kalaupun terjadi, semoga Zane cukup bijak dalam memperlakukannya.

It's just skin, right? Kalaupun Zane melihatnya sedikit, posisinya ada di kejauhan, pasti tidak sejelas itu.

Tapi Sabrina tetap cemas juga. Lalu diletakkannya kembali ponselnya di cermin dengan posisi merekam video, kemudian dia berjalan menuju tempat tumpukan bajunya di lantai, berdiri di sana sejenak, lalu segera memeriksa hasil rekamannya.

Wah gila, sih. Meja rias dan tempatnya berdiri tadi memang berada di satu garis lurus. Dan sudah jelas badannya terekam semua. Dari ujung ke ujung.

Tapi untungnya agak jauh, jadi memang tidak terlalu jelas. Penerangan kamarnya juga tidak seberapa.

Aaarrrgh!

Sabrina menjambak handuk yang membungkus rambutnya.

Zane tidak mungkin melihatnya, kan?

That's why dia nggak pernah suka video call-an sama cowok. Terlalu riskan. Dia bahkan heran kalau teman-temannya cerita mereka suka video call-an dengan pacarnya sampai ketiduran, dan pacarnya sampai mendengarkan dia ngorok. Please, deh.

Tidak ada pesan masuk juga dari Zane.

Bahkan mengenai map yang sudah berhasil dia temukan.

Sekarang memang sudah hampir pukul satu. Mungkin Zane juga sudah pulang dan tidur.

But how she supposed to face him? Besok pagi mereka harus bertemu untuk urusan pekerjaan.

Chill, Sab. Like what you've said, it's just skin. Bahkan kulitmu juga nggak semulus Kendall Jenner. So what kalau Zane melihatnya sedikit? Anggap saja beramal.

Sabrina berusaha mensugesti diri sendiri, lalu segera menuju ke lemari dan berpakaian. Kemudian membereskan cucian kotor dan memasukkannya ke dalam mesin cuci di ruang laundry.

Milo sudah tidur. Dan tak lama kemudian, kantuknya membuat Sabrina mengabaikan mesin cuci yang masih menyala dan bergegas kembali ke kamar.

Besok pagi saja jemur bajunya, pikirnya sebelum akhirnya benar-benar memejamkan mata di kasur empuk, siap mimpi indah.


~


Zane menekan batang puntung rokok ketiganya ke dasar asbak hingga padam, masih juga belum mengantuk. Padahal biasanya duduk di balkon malam-malam, ditemani rokok dan angin sepoi, membuatnya cepat rileks dan mengantuk tidur.

Tapi kali ini sekeras apapun dia mencoba, Sabrina tetap memenuhi kepalanya. Seperti mimpi buruk, membuatnya terus terjaga.

Zane benar-benar merasa apes.

Bagaimana dia bisa punya karyawan sebodoh Sabrina?

Ck. 

Bukan salah dia juga kalau tadi tidak langsung mematikan ponselnya. Lelaki mana yang tidak suka diberi tontonan seperti tadi? Bagus. Gratis.

Shit.

Demi Tuhan, dia harus tidur sekarang. Dia tidak punya waktu untuk memikirkan hal tidak penting. Besok pagi dia harus bertemu klien.

Pasangan yang akan melangsungkan pernikahan ini kebetulan anak Wakil Gubernur dan dia sudah susah payah mendapatkan kepercayaan mereka. Jadi tidak mungkin dia meminum pil tidur di saat seperti ini. Kalau kebablasan tidak bisa bangun, bisa gawat.

Setelah menghabiskan dua batang rokok lagi dan bayangan tubuh Sabrina justru makin terlihat jelas di kepalanya, akhirnya Zane menyerah. Dia tidak mungkin tidak tidur lagi malam ini, karena kemarin malam pun dia sudah begadang. Diambilnya setengah dosis pil tidur, kemudian mengetik pesan untuk Sabrina, satu-satunya nama yang bisa diingatnya saat ini.


Zane Abram
Besok pagi lo yang nemenin
gue ketemu calonnya
Bang Faiz, kan?

Zane Abram
Telepon gue, bangunin.
Kalau nggak bangun,
samper ke apartemen.

Zane Abram
Tau alamat gue kan?
Passcodenya no telp kantor.

Zane Abram
Thx.


Gadis itu terakhir online sejam yang lalu. Tentu dia sudah tidur sekarang.

Sebagai back up, kalau-kalau Sabrina gagal membangunkannya, Zane menyetel beberapa alarm. Di HP, juga di jam beker.

Kemudian merangkak naik ke kasur, menunggu obatnya bereaksi.

Tapi bahkan dengan mata terpejam pun, dia masih bisa melihat Sabrina. Terus menerus mereka-ulang adegan yang dilihatnya tadi, seperti kaset rusak.

Sial banget, kan?



... to be continued

Warning: Physical Distancing! [COMPLETED]Where stories live. Discover now