55 | partner lembur

171K 21.5K 909
                                    




55 | partner lembur



SABRINA lembur sendirian, setelah akhirnya Gusti dan Timothy pamit pulang beberapa puluh menit yang lalu.

Sebenarnya tadi Akmal sudah menawarkan diri untuk menemani, namun Sabrina merasa tidak enak hati.

Besok pagi Akmal wisuda, setelah seharian tadi wira-wiri ke kampus untuk mengurus berbagai berkas, serta mengikuti acara gladi bersih. Tidak mungkin Sabrina membiarkannya tidur di sofa kantor, sementara besok dia harus melakukan prosesi sakral yang fotonya bisa jadi akan dipajang di ruang keluarga rumahnya seumur hidup. Setidaknya untuk malam ini, dia harus tidur cukup, dan di tempat yang nyaman.

Sebenarnya tadi saat Sabrina turun untuk mandi, Zane masih berada di ruangannya juga. Murni kebetulan—meski jelas Sabrina tidak akan keberatan jika Bosnya itu ternyata memang sengaja menunggunya.

Tapi jelas tidak mungkin, sih.

Tadi Zane sudah mengeluh semalam kurang tidur dan ingin segera pulang, namun ada yang harus diurusnya karena Mbak Iis tidak ada. Jadi sudah jelas bahwa nama Sabrina tidak ada dalam agendanya.

Selesai berpakaian, Sabrina mengoleskan pelembab wajah dan lip balm, lalu segera keluar membawa tas berisi pakaian kerja yang tadi dipakainya.

Dia punya satu kaos oblong tersimpan di loker. Jadi malam ini dia selamat dari tidur memakai kemeja dan rok ketat.

Ketika dia tiba di mejanya untuk menyimpan tasnya, dilihatnya lampu ruangan Zane masih menyala.

Tapi Sabrina memang sudah bertekad hari ini tidak akan mengganggunya—meski hatinya sudah memberontak ingin menggoda Zane sejak tadi siang, dia mencoba profesional. Bagaimanapun juga, dia ikut senang melihat Zane giat bekerja. Dia juga ingin perusahaan kecebong tempatnya bekerja segera bermetamorfosis menjadi katak, yang bisa melompat.

Sabrina bersiap turun lagi karena lapar, menimbang-nimbang sesaat untuk menawari Zane sekalian atau tidak, tapi tidak jadi. Ingat dia sedang miskin dan harus menghemat uang tunainya.

Akhirnya dia pilih makan sendiri saja.

Urusan perut Zane biar dia pikir sendiri.

"Lo nggak pulang?"

Sabrina terhenyak di depan pantry sambil memeluk mangkuk kosong.

Zane sudah berdiri di kaki tangga. Sudah memakai jaket dan mencangklong tas laptopnya, dan sedang memandangnya dengan kening mengernyit.

Hati Sabrina potek.

Padahal seharian tadi dia sudah berdoa semoga Zane tidak usah pulang. Meski sibuk dengan pekerjaan masing-masing, minimal masih berada di atap yang sama.

"Kagak. Nginep sini," sahut perempuan itu, berusaha terdengar cuek bebek, seperti biasa. "Kerjaan gue belum kelar."

Zane menghela napas. "Masih banyak?"

"Berkas buat pencairan besok? Udah, sih. Ini lagi ngerapiin semua yang mau gue titipin ke Timothy pas ditinggal ke Sydney nanti, biar dia nggak bingung."

Zane manggut-manggut sekilas. "Ambil selimut di ruangan gue kalo mau."

Harapan Sabrina pupus sudah. "Tengkyu."

Dan sebelum suasana hatinya ketahuan, dia segera kabur.

"Mau ke mana?" Zane bertanya lagi.

"Beli bakso, laper." Sabrina menjawab tanpa menoleh.

"Pakek baju kayak gitu?"

Sabrina menghentikan langkah, otomatis memandang jadi dirinya sendiri, dari sandal jepit yang dia kenakan hingga kaos oblongnya. "Kenapa emang? Gue pakek celana, kok."

Zane berdecak, meletakkan tasnya di sofa. "Lo di sini aja, biar gue beliin."

Sabrina melongo, tapi pasrah saja menyerahkan mangkuknya ke Zane. Bahkan dia segera kembali ke pantry untuk mengambil satu mangkuk lagi.

"Dibayarin, kan?" Perempuan itu masih sempat-sempatnya bertanya.

Zane cuma mendengus pelan dan segera berlalu, sementara Sabrina menunggu di sofa dan mulai membuka laptop.

Tidak ada yang dia kerjakan.

Dia hanya menunggu. Gundah.

Padahal Zane hanya pergi membelikan makanan, tapi kenapa terdengar manis?

Eww. Sabrina cepat-cepat menggeleng.

Zane kembali tak lama kemudian.

"Pakek cabe banyak, kan, punya gue?" Sabrina langsung menyambut dengan senang hati, dengan dua pasang sendok garpu.

"Hmm." Zane cuma menggumam pelan.

Sabrina mesem dan langsung makan dengan lahap. Tidak sadar bahwa dia terlihat kalap.

"Pelan-pelan dong, makannya. Lo belum makan dari kapan, sih? Kayak laper banget gitu."

Sabrina berhenti mengunyah. Melongo. "Kan tadi pergi sama lo sampai sore, nggak sempet makan siang."

"Segitu kurang? Mau nambah?"

Sabrina menggeleng. "Gue nggak serakus itu, kali. Nanti kalau gue gendut, nggak ada yang mau sama gue."

Zane tidak menyahut, cuma berdecak-decak, fokus dengan makanannya sendiri.

Dan bakso miliknya habis duluan.

"Kenapa nggak dikerjain di rumah, sih?" tanyanya kemudian sambil minum. "Seneng amat nginep di kantor."

Sabrina menelan baksonya terlebih dahulu, baru menjawab. "Tadi tuh gue kira bakal ribet yang mesti disiapin buat pencairan. Kan biasanya Mbak Iis yang ngurus, gue nggak ngerti. Ternyata cuma dikit, bentar udah kelar. Padahal Milo udah terlanjur gue titipin tetangga. Nanti kalo gue pulang, gue dighibahin karena plin plan. Ya udah, gue ngerjain yang lain aja mumpung di sini."

"Ya elah, begitu doang alesan lo nginep?"

Sabrina manggut-manggut.

"Ya udah sih, ke tempat gue aja, daripada tidur di sofa. Kayak nggak pernah ke sana aja!"

Sabrina berpikir sejenak.

"Males ah, ribet mondar-mandir, tidurnya cuma bentar. Mending lo temenin gue nginep di sini."

Zane kontan ngakak.

"Karyawan kurang ajar, sih, lo emang. Lembur minta ditemenin Bos!"

"Ya kalau merasa tersinggung dimintain tolong sebagai Bos, sebagai temen satu almamater kan bisa. Sekalian ngerayain, akhirnya lo berhasil beliin gue makan setelah dua kali gagal, Bang."

Kedua alis Zane bertaut.



... to be continued


Warning: Physical Distancing! [COMPLETED]Where stories live. Discover now