78 | galaunya dipending dulu

158K 21.2K 1.5K
                                    




78 | galaunya dipending dulu



"TIM!"

Sabrina berusaha keras mengatur napas. Dadanya sesak. Rasanya ingin menangis.

Mana ada undangan pernikahan H-2 belum tersampaikan? Salah cetak pula! Bisa abis dia dibantai klien! Mana kliennya anak Gubernur! Mana kliennya sepupu Bimo! Dan yang salah cetak adalah undangan untuk Papa Zane, calon mertuanya! Ya Tuhan, lutut Sabrina benar-benar dibikin lemas.

"Paan?" Timothy, yang kemarin-kemarin diserahi tanggung jawab untuk mengambil alih pekerjaan Sabrina selama project Sidney, menoleh dengan tampang tak berdosa.

"Sini kasih gue lihat daftar undangannya Bang Faiz."

Sabrina duduk di kursi terdekat.

Karen yang melihatnya memucat, dengan sigap menggeser gelas minum Sabrina ke pemiliknya.

Timothy mengutak-atik laptopnya sesaat. "Ada paan, sih? Ampe biru gitu muka lo? Kayak lagi sekarat."

"Di daftar undangan ada nama bokapnya si Bos?" Sabrina balik tanya dengan suara lemah.

Timothy hanya mengangkat bahu. "Mana tau, gue? Ribuan gitu, cuma sekilas lihat. Udah gue kasih kurir semua, dan laporan pengirimannya juga udah gue kirim ke elo."

"Gue belum sempet lihat." Sabrina menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangan dan mulai sesenggukan. Seperti biasa, suaranya keluar lebih dulu ketimbang air matanya.

"Emang ada beberapa VIP yang belum nyampe undangannya, sih. Tapi udah gue konfirmasi ke CPnya."

Timothy lalu menyerahkan laptopnya.

Sabrina segera mengambil alih. Menggulirkan layar dan membaca dengan cepat. Keempat temannya langsung datang merubungi karena kepo.

"Namanya siapa, ya?" Sabrina menggumam.

"Lo nggak tau nama camer?" Akmal mendelik.

"Abram, Abram." Juned menepuk-nepuk pundak Sabrina untuk menenangkan. "Cari yang belakangnya Abram. Kenapa sih, emang?"

"Undangannya salah cetak. Mbak Iis tadi dikabari sama sekretarisnya. Kira-kira kerjaan dia apa, ya? Ampe jadi tamu VIP gitu. Gue jadi lemes, nih."

Karen mengambil alih mouse dari tangan Sabrina yang mulai terlihat gemetaran. Menggulirkan layar dengan cepat.

"Coba sheet yang ini, deh." Timothy menunjuk layar dengan jari, menunjuk sheet daftar undangan belum tersampaikan.

Hanya ada lima nama di sana.

Dan semua pasang mata langsung tertancap ke baris teratas.

"Abraham? Parah sih kalau nama belakang yang salah." Timothy menggumam.

Tapi Sabrina punya kecemasan yang berbeda. Napasnya kali ini benar-benar terputus. Pandangan matanya jadi buram, dan kepalanya mendadak terasa berat.

Ini nggak lucu sama sekali.

"Gileee, Bang Zane anaknya Dirut Abram Hotel? Kok nggak meyakinkan?"

"Kan, gue bilang juga apa!" Karen mendengus keras. "Dulu gue udah nebak, begitu lihat Bang Jeff. Malah pada ngakak denger hipotesis gue!"

"Kalau orang yang ini sih baru balik dari LN kemarin, dan nggak langsung ngantor. Sekretarisnya juga nggak ada. Tapi udah gue telepon dari dua minggu yang lalu, malah." Timothy bersuara. Ingat betul karena undangan bermasalah hanya segelintir jumlahnya.

Sabrina menggangguk suram.

Speechless.

Sakit.

Was-was.

Yang namanya Roger bukan cuma pacar Ibel, kan?


~


Timothy yang akhirnya berangkat ke Abram Hotel untuk menyampaikan undangan baru dan permohonan maaf, karena Sabrina nampak akan mati jika harus mengurusnya sendiri. Sisanya langsung berangkat ke Sheraton untuk persiapan venue.

Bimo sudah menunggu di sana, dan saking banyaknya yang harus dikerjakan untuk gladi resik besok malam, Sabrina jadi tidak punya waktu untuk meladeni keresahan hatinya.

Sebenarnya mudah saja mencari tahu jawaban dari pertanyaan yang berkecamuk di benaknya sejak tadi itu. Tapi dia pilih mengabaikan saja. Pilih menunggu bom meledak dengan sendirinya. Minimal biar cuma dia yang kena. Ibel jangan.

Bahkan saking sibuknya, dia jadi kehilangan selera untuk menanyakan kabar Zane yang seharian memang tidak menghubunginya.

"Keliatan capek banget, Sab."

Satu kecupan mendarat di puncak kepalanya dari belakang, membuat jantung Sabrina nyaris copot.

Zane merengkuhnya.

Orang yang seharian diabaikan, padahal sedang berjuang keras memohon restu di rumah Papinya.

"Udah beres, kok." Sabrina menyahut suram, mengelus pelan tangan yang melingkari pinggangnya.

"Yang lain mana?" Zane bertanya lagi.

"Di pos masing-masing. Abis ini koordinasi bentar, terus balik."

"Good."

"Lusa Papa lo dateng, nggak?"

"Ke sini? Diundang?"

Sabrina mengangguk, melepas pelukan Zane dan balik badan.

"Liat aja sendiri. Kalo pejabat penting yang ngundang, kayaknya kecil kemungkinan nggak dateng, kan?"

Sabrina cuma menghela napas.

"Lo pucet, Sab. Sakit?"

Sabrina menggeleng lemah.

"Abis ini mau ke tempat gue aja?"

Perempuan itu menggeleng. "Gue pulang aja, deh. Elo juga pulang ke apartemen lo sendiri. Malem ini pengen tidur nyenyak soalnya."

"Dih, emang kalo sama gue nggak nyenyak?"

"Enggak. Sempit sama gerah soalnya."

Zane menjitak kepalanya dengan gemas. "Terus lo nggak penasaran bokap lo ngomong apa aja sama gue, gitu?"

"Abis acara aja, ya, ngobrolinnya. Sekarang lagi hectic banget. Tenaga gue keforsir."

Zane merengkuhnya lagi dan mengusap-usap belakang kepalanya dengan sayang. "Oke, oke. Cepet kelarin kerjaan lo, gue tunggu di lobby. Nanti baliknya gue anter."



... to be continued

Warning: Physical Distancing! [COMPLETED]Where stories live. Discover now