I'll Never Leave You

2K 232 72
                                    

Matahari baru memunculkan dirinya, menunjukkan binarnya pada setiap orang. Pagi buta saat ini markas survey corps sudah terlihat ramai. Banyak anggota yang berlalu lalang membawa peralatan. Jika sudah seperti ini, artinya dalam waktu dekat misi untuk merebut kembali Tembok Shinganshina akan dilaksanakan.

Sasha tidak berhenti menguap sejak tadi. Suara Hanji sudah memenuhi indra pendengarannya di pagi buta seperti ini. Hanji terlihat begitu semangat dan antusias saat mengenalkan senjata terbaru mereka, thunder spears.

Sasha beberapa kali terantuk, tetapi kembali tersadar saat mendengar suara Hanji yang keras. Anggota lain pun sama, mereka tidak terlalu fokus memperhatikan Hanji. Bahkan, Connie sedari tadi tertidur pulas di samping Sasha.

Tidak apa-apa aku tidur, nanti aku meminta penjelasan ulang saja dari Sasha, pikir Connie.

Yah, Connie tidak tahu saja kalau Sasha pun tidak begitu memperhatikan. Connie, Sasha, dan anggota yang lain berjengit di tempat saat mendengar Hanji berteriak kesal. Hanji tahu hanya beberapa orang saja yang memperhatikannya, padahal senjata itu sangat destruktif dan berbahaya tidak hanya bagi target, tetapi juga bagi pemakainya.

“HEI!” teriak Hanji, “Apa tidak ada dari kalian yang memperhatikan?” tanya Hanji dengan kesal.

Seisi ruangan mendadak kehilangan rasa kantuknya. Rasa kantuk mereka hilang karena rasa kaget berlebih. Jantung mereka pun berpacu dengan cepat, rasanya mereka bisa mati konyol karena terkejut di tempat. Beriringan dengan itu, Levi masuk ke ruangan dengan begitu santai. Hanji tersenyum lebar melihat kedatangan Levi. Levi sendiri pun bingung apa yang membuat perempuan berkacamata itu tersenyum begitu lebar padanya.

“Nah, mungkin kalian lebih bisa memperhatikan jika Levi yang menjelaskan,” ucap Hanji tiba-tiba.

Sang pemilik nama terkejut. Ia baru saja datang dan Hanji tiba-tiba menyuruhnya menjelaskan mengenai semuanya. Levi menyesal mengapa harus melangkahkan kakinya menuju ruangan ini. Padahal dirinya saat ini bisa menyesap tehnya dengan khidmat tanpa gangguan sedikit pun. Levi berdecih tanda tidak setuju dengan perbuatan Hanji. Namun, apa boleh buat? Melihat wajah Hanji yang memelas membuatnya terganggu.

“Baiklah akan ku jelaskan. Kalian perhatikanlah, jika ada yang tidak memperhatikan kalian bertanggung jawab membawa senjata ini!” ucap Levi dengan tegas. Nada bicaranya datar dan dingin, terkesan tidak berperasaan.

Anggota yang berada di sana langsung terduduk tegap, memasang telinga mereka baik-baik. Memastikan tidak tertinggal satu detail pun. Levi itu terkenal dengan ucapannya yang mutlak dan selalu menepati ucapannya. Ancamannya tidak bisa dianggap sebagai bahan untuk menakut-nakuti belaka. Tentu saja tidak ada yang mau membawa senjata itu sendirian. Berat satu thunder spears itu lima kilogram dan di depan sana ada banyak sekali. Bukankah itu sama saja seperti bunuh diri?

Levi memulai penjelasannya dengan lengkap. Ia tidak segan-segan menunjuk secara acak orang-orang yang ada di dalam ruangan itu. Eren dan Jean bahkan sampai mengeluarkan keringat dingin. Mereka memiliki ketakutan tersendiri pada Levi. Apalagi jika mengingat kala Levi menendang perut mereka semalam—saat Eren dan Jean berkelahi di ruang makan—itu saja sudah mimpi buruk bagi mereka.

“Eren,” panggil Levi sambil menunjuk Eren.

“AH IYA AKU SIAP!” jawab Eren dengan lantang.

Levi mengernyitkan dahinya. Jean yang berada di samping Eren mati-matian menahan tawanya. Eren bodoh sekali memang. Mimik wajah ketakutan tercetak jelas di wajah sahabatnya itu. Armin dan Mikasa hanya bisa tersenyum sambil menggelengkan kepala mereka.

The Sound of The Rain [COMPLETED]Where stories live. Discover now