Page 01

406 36 4
                                    

Gue tidak dapat berhenti bersyukur kepada Tuhan, karena Dia sudah menciptakan alam semesta dengan indahnya. Serta manfaat dari ciptaan-Nya tersebut yang tidak akan dan pernah ada habisnya. Salah satu manfaat yang gue rasakan yaitu, gue akhirnya dapat memiliki teman. Salah satu cita-cita sejak kecil akhirnya dapat terwujud juga.

Gue berteman dengan senja, langit dan laut. Bukan, itu bukan nama orang, sungguh. Iya, bercakkan merah di langit oranye dan hamparan air berwarna biru yang luas. Gue berteman baik dengan mereka. Apalagi dengan senja, aduh ... dia sangat spesial di hidup gue.

Terkadang, gue ingin bermanja-manja dalam waktu yang lama dengan tiga hal tersebut, ditemani kamera analog untuk sekadar mendapatkan hasil jepretan yang terbaik.

"Zwei, ini lontong sayurnya udah jadi!"

Huft, teriakan Ibu sangat menggangu.

"Bentar, Zwei turun!"

Benar sekali, nama gue Zweitson--orang yang ada di prolog. Tetapi, itu julukan untuk orang rumah saja sebenarnya, jika orang yang baru kenal dengan gue lebih memilih memanggil Soni atau Son saja. Memang, nama gue seribet itu untuk diucapkan. Eh, sebentar. Memangnya ada, ya, orang yang mau kenal dengan gue? Aduh, lucu sekali. Gue sadar, ini sudah ketawa-ketawa miris sendiri.

Gue beringsut dari tepi kasur sembari membenahi kacamata yang bertengger di hidung. Mengusap air mata yang tanpa gue sadari ternyata sudah meleleh. Lalu menuruni satu persatu anak tangga dengan lemas.

"Ayah mana, Bu?" tanya gue setelah sampai di ruang makan. Gue duduk di kursi, menatap arah tangga berharap ayah turun dengan senyum manisnya. Tetapi tidak ada, tidak ada ayah.

"Baru aja berangkat."

"Ini hari libur padahal."

Ibu mengusap bahu gue lalu tersenyum. Pasti ibu juga merasakan apa yang gue rasakan.

Kapan, ya, ayah punya waktu untuk gue? Untuk Ibu? Seperti dulu. Yang ada diotaknya hanya kerja, kerja dan kerja. Sudah.

Gue akui, ayah memang baik, mau itu ke gue atau pun ke ibu. Selalu kasih apa yang gue ingin dan minta. Ayah juga tidak pernah berlaku kasar. Tetapi, ayah seolah tidak ada waktu untuk kumpul bersama gue dan ibu. Jangankan kumpul, bicara juga tidak pernah banyak-banyak.

Bahkan, di hari libur pun ayah masih sempat-sempatnya pergi ke kantor. Mau ngapain? Meeting? Ketemu rekan bisnis? Memangnya uang-uang itu untuk apa? Maaf, ayah, kebahagiaan itu tidak dapat dibeli. Tidak dapat dibayar pakai uang.

"Kok cuma dilihatin doang lontongnya?"

Ah, iya, sedari tadi gue hanya melihat bongkahan lontong buatan Ibu. Dengan gesit gue melahap potongan-potongan lontong tersebut. Seperti biasa, lontong sayur buatan Ibu memang juara. Bumbunya pas dan rasanya tidak lebay di lidah. Makanan kesukaan gue, kesukaan ayah juga. Apa ayah masih suka makan makanan ini?

"Zwei, kapan kamu ajak temen kamu main ke sini? Ibu nggak sabar banget buat ketemu Senja, namanya Senja, kan?"

Plis, gue hampir tersedak. Sudah beberapa kali Ibu meminta gue membawa senja ke rumah. Kalau saja Ibu tahu, senja itu bukan manusia, tapi senja beneran. Zweitson tidak punya teman, Bu.

Sambil mengunyah gue menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Bingung mau menjawab apa. Masa gue terus bohong sama Ibu. Dari kelas enam gue bilang ini ke Ibu, bilang kalau gue punya teman sangat baik bernama senja. Beneran bingung. Kalau gue bilang yang sebenarnya nanti Ibu kecewa, gue tidak mau penyakit Ibu kambuh.

Gue mengambil gelas berisi air putih yang sudah Ibu sediakan. Lalu menenggaknya sampai tandas. Bangkit dari kursi makan gue mendekat ke tempat Ibu, lalu mengecup pipinya.

"Zwei cek tugas sekolah buat besok dulu, ya, Bu." Ini cara gue menghindar dari pertanyaan-pertanyaan horor Ibu. Iya, menurut gue itu horor.

Langsung saja gue berlari kecil dengan jantung dag-dig-dug. Takut ibu mengejar gue.

Sekarang gue sudah berada di kamar. Berbeda dengan kamar pada umumnya, kamar gue ini terletak di rooftop. Seriusan. Rooftop gue setting menjadi kamar. Pinggirannya terbuat dari kaca dan kayu, jadi gue dapat leluasa melihat senja dari dalam kamar.

Gue mengambil kamera di atas meja. Langit siang ini sedang bagus-bagusnya, dihiasi kumpulan awan di sekelilingnya yang menggantung berhamburan. Jepretan pertama, kedua, ketiga. Sempurna!

Gue melihat satu-persatu bidikan gue barusan. Tempat pengambilannya tepat, cahayanya juga pas. Lumayan, gue memang ada bakat di fotografi. Saat SMP juga semat mengikuti ekskulnya.

Mengenai pengakuan soal gue tidak punya teman, itu benar, kok. Sedari kecil hidup gue tanpa kehadiran seseorang yang bernama teman. Karena satu kejadian yang mengharuskan gue untuk hidup tanpa ada orang lain di sisi gue, kecuali ayah dan ibu serta adik gue yang sekarang sudah sangat jauh.

Lagi-lagi cairan di mata turun perlahan membasahi pipi. Secengeng inikah gue? Gue sangat merindukan dia.

__________

Hai! Makasih banget sebelumnya, udah mau injek cerita ini. Mau itu YouN1T atau belum, hehe. Kalian baik banget.

Ini cerita fiksi Zweitson, spin-off dari Tentang Kita. Aku kan bawel mulu tuh di lapak sebelah. Ini ngetest dulu sih, rame nggak. Kalau rame aku lanjut unggah, kalau sepi ... aku tetep publish kok. Mungkin.

Cerita ini udah selesai aku tulis pada bulan Juli 2020. Jadi tugas aku di sini tinggal sunting lalu unggah aja, kayak cerita Tentang Kita.

30 April 2021

ZWEITSON Место, где живут истории. Откройте их для себя