Page 08

123 19 0
                                    

Setelah menyuarakan sebagian isi hati kepada ayah beberapa jam yang lalu, gue memutuskan untuk menenangkan diri. Berjalan kaki menelusuri jalanan komplek yang sudah sepi. Hanya ada deru angin, embusan dinginnya menerpa kulit secara langsung–gue tidak menggenakan penghangat tubuh. Setiap langkahnya ditemani suara binatang malam yang tertangkap telinga.

Sangat suka suasana ini. Damai.

Pukul sebelas malam. Tidak khawatir dengan ibu, karena sebelum pergi, gue terlebih dahulu memastikan bahwa ibu sudah tertidur pulas. Jadi, ibu tidak akan kelabakan mencari gue. Mungkin ayah juga sudah tidur, di ruang kerjanya.

Hanya ingin melupakan kejadian tadi saja. Gue kira, ayah akan memarahi atau mengeluarkan kata menyayat hati membalas perkataan gue tadi. Ternyata tidak sama sekali, melengos begitu saja. Terkadang, memikirkan cara bagaimana mendapatkan perhatian dari ayah sungguh membuat pening.

"Sy, kalau lo lihat kejadian tadi, gue minta maaf."

Semakin malam, udara semakin dingin. Hanya kaos tipis pendek yang gue kenakan. Setelah sampai ke jalan raya, gue memutuskan untuk pulang. Gue mengembuskan napas sendu sebelumnya.

Sampai kapan gue mampu bertahan? Untuk saat ini ibu salah satu alasan gue untuk bertahan. Oke, kalau ayah tidak dapat menjadi ayah yang dulu, kita harus berani mulai dari nol.

Tapi ... ayah benar-benar udah terlanjur benci terhadap gue.

Sampai kapan? Apa selamanya?

***

"Zweitson, kayaknya gue lebih suka rambut lo gondrong. Jangan dipotong, ya, rambutnya. Sisy suka rambut lo gitu. Gemes aja gitu lihatinnya. Pengen ngacak-ngacak gimana ... gitu!"

"Mana boleh kayak gini, yang ada nanti kena tegur OSIS, apa kata warga Kencana rambut gue kayak gini. Nanti sore gue potong. Kemarin kena tegur pak Gilang."

Zweissy berdecak kecewa mendengar respon gue. Kemudian perempuan berambut cokelat itu kembali memasangkan bandonya.

"Zwei, gue kangen sama lo."

"Ketemu tiap hari kok kangen. Ngawur! Cepetan pake sepatunya, nanti telat."

"Kangen!"

Mata Zweissy berkaca-kaca. Kakinya melangkah pelan, dalam sekejap tubuh mungilnya sudah berada dalam pelukan gue. Dia menyandarkan kepalanya di dada gue. Pelukannya kuat ditemani isakkan yang terdengar memilukan.

"Sy?"

Gue merasakan gelengan kepalanya.

"Sisy?"

Semakin kuat. Sampai tangannya meremas seragam belakang yang gue pakai.

"Zweissy?!"

"Sy! Sisy!"

Saat itu mata gue terbuka. Mengamati sekitar. Gue tahu ini di mana, kamar. Mimpi. Mimpi yang sama tapi tidak serupa.

Gue mengubah posisi tubuh menjadi duduk. Meraba punggung, cengkraman dia seolah nyata.

***

Dari tempat ini, gue memandang hamparan sawah yang terdapat di belakang SMA Kencana. Kantin lantai empat. Mungkin kalo Zweissy masih ada, kita satu sekolah. Pulang-pergi bareng, makan di kantin bareng. Sampai orang-orang menyangka kami adalah sepasang kekasih.

Zweissy tumbuhnya seperti apa, ya? Apa persis seperti yang ada di mimpi? Cerewet, tukang ngatur tapi mandiri. Secantik apa wajahnya? Sampai cowok-cowok mengantri untuk mendapatkan cintanya. Dan gue, jadi kakak kembaran yang super posesif.

Setiap kali gue memimpikan Zweissy, belum pernah wajahnya terlihat jelas.

"Lagi ngelamun, ya?"

"Cantik banget pasti."

"Hah!"

Pekikkan itu sangat menggangu ketenangan. Dan di hadapan gue, sudah ada Cellin dengan bandonya yang tidak pernah absen. Dan apa itu? Dia pake blush-on ke sekolah?

"Jangan teriak-teriak di kantin."

"Sori, soalnya—"

"Siswi Kencana nggak boleh pake make-up. Dan lo pake blush-on merah banget."

"Aku gak pake blush-on, Zwei."

"Mana ada orang ngelakuin kesalahan secara sengaja mau ngaku? Bawa buku tata tertib lo ke ruang OSIS."

Sepertinya gue tidak ada urusan lagi di kantin. Pergi ke begitu saja tanpa mendengar Cellin yang terus meneriakkan nama gue.

Ada urusan yang lebih penting. April. Ya, gue masih punya misi dari pak Shandy.

***

22 Juni 2021

ZWEITSON Onde as histórias ganham vida. Descobre agora