Page 06

165 19 0
                                    

Kata hati dan perbuatan memang dasarnya saling bermusuhan. Selalu bertolak belakang dan tidak dapat diajak bekerjasama. Terkadang gue kesal sekesal-kesalnya sama diri sendiri karena memiliki penyakit itu.

Semalam gue memantapkan hati untuk tidak memakai hadiah dari Cellin. Bahkan, akan mengembalikannya lagi kepada Cellin. Tetapi, kenapa hari ini gue pakai kedua barang dari Cellin itu? Hati gue berbisik, lepasin aja apa susahnya. Tapi hati yang lain juga menyuruh untuk tetap pakai. Belajar bagaimana cara menghargai pemberian orang lain.

"Cell, makasih kadonya."

Dan dengan bodohnya tadi sempat mengucapkan terima kasih sama Cellin. Dapat ditebak bagaimana reaksi Cellin yang sangat heboh seperti bertemu dengan idola yang sudah lama diimpikan.

"Zweiiiii? Kamu pakek gelangnya? Aduh ini aku nggak lagi mimipi, kan? Kalau misalnya ini emang beneran mimpi, nggak apa-apa Tuhan, nggak usah repot-repot bangunin Cellin! Aaaaaaaa, seneng banget!"

Cellin merebut tas gue, terus diamati dengan detail sembari dibalik-balik. Sebelumnya dia berjingkrak ria sembari meremas gemas keduanya tangannya.

"Gancinya juga dipake, seneng banget nggak boong!"

Jelas Cellin kesenangan bukan main. Rasanya jadi makin benci sama diri sendiri. Apalagi tadi Cellin hampir berhasil peluk gue, kalau saja Pak Shandy tidak masuk kelas. Sepanjang pelajaran berlangsung, Cellin yang duduk di seberang dipisahkan dua bangku pun tidak berhenti menatap ke tempat gue dengan senyuman yaang terlewat bahagia. Hanya dapat menghiraukan dan berusaha setenang mungkin. Gue belum berhenti merutukki kebodohan yang dibuat hari ini. Sial.

Setelah jam pelajaran selesai, tiba-tiba saja Pak Shandy suruh gue ikut ke ruangannya. Bagus, jadi dapat menghindar dari Cellin tanpa membuang tenaga. Gue kira Pak Shandy akan membahas mengenai OSIS, karena dia salah satu pembimbing OSIS Kencana. Ternyata bukan.

Ntah kenapa guru yang terkenal dengan tingkah aneh dan berwajah jenaka itu menyuruh gue untuk ... meneui April. Si cuek dan tidak pedulian itu. Saat itu juga, kepala mendadak pusing. Kenapa perkataan saat itu terkabul? Kesialan apa lagi yang harus ditanggung hari ini?

Pak Shandy memerintahkan gue mengajak April untuk menjadi master of ceremony acara perpisahan kelas 12 nanti. Katanya, April itu sangat mahir jadi pembawa acara. Dan Pak Shandy mau April ikut serta. Itu artinya, menjadi partner gue di atas panggung nanti. Sabar yang seperti apa yang harus gue lakukan?

Kenapa harus April, dan kenapa harus gue orang yang menjadi korban? Mendengar desas-desus orang lain saja, gue sudah ingin menyerah duluan.  Tidak semudah itu.

"Jadi, saya harus bisa ajak April sampai April mau, Pak?"

"Iya lah. Pokoknya kamu harus berhasil. Kalau nggak nilai kamu bapak potong. Apalagi nilai ulangan harian kamu yang kemarin itu kurang banget Zweitson."

"Ta-tapi, Pak, kenapa harus saya? Kan masih banyak anggota OSIS yang lain."

"Bagus .... Kamu nggak denger barusan bapak bilang apa? Nilai ulang harian kamu kurang. Lagian emang acara perpisahan nanti kamu, kan, yang jadi MC?"

"Yaudah, Pak, saya ngalah."

"Nah, gitu, dong. Sekarang kamu boleh kembali ke kelas."

Pak Shandy ada-ada saja. Ingin tidak menurut nanti nilai gue gimana nasibnya? Baru ingat ulangan harian kemarin cuma dapat 67. Karena  tidak fokus dan jawab asal-asalan, padahal soal PG mudah. Gara-gara memikirkan sesuatu yang ... sudahlah, tidak jauh dari ayah juga.

Untung saja Cellin tidak membuat ulah. Mugkin karena sudah terlalu senang gue memakai gelangnya. Seketika gue lihat pergelangan tangan cukup lama dengan hidmat. Hey, apa gue harus bikin Cellin senang terus agar dia diam? Tapi tidak, itu ide yang buruk.

Pulang sekolah gue mengintip kelas sebelah. Kirain sudah kosong dan sudah tidak ada penghuni. Saat gue akan mendongak, ada seseorang yang baru keluar ternyata. Tidak tahu melihat gue atau nggak, dia melewati gue begitu saja. Sedikit kaget karena ... mana mungkin tidak melihat. Manusia apa bukan, sih? Secuek itu .... Embusan napas sengaja diterpakan ke rambut.

Dia April. Zweitson, ayo mulai jalankan misi lo buat bujuk dia. Tapi gue malah diam saja melihat punggung April yang semakin menjauh lalu menghilang menuruni tangga. Ok, kegagalan pertama sebelum melakukan apa-apa.

Ya Tuhan, gue baru ingat kalau April satu kelas dengan Yulia. Yulia itu pernah satu kelas sama gue waktu kelas delapan. Apa gue minta bantuan Yulia? Eh, tapi, kan, itu tidak bisa. Kalau begitu gue harus berinteraksi dengan Yulia. Tidak, gue tidak mau.

Ya sudah, gue bakalan berusaha sendiri saja. Semangat Zweitson, lo pasti berhasil. Walaupun sepertinya sulit bukan main. Gue bisa, gue bisa! Bukan untuk apa-apa, melainkan untuk menyelamatkan nilai yang bakalan hilang kalau gue gagal.

***

24 Mei 2021

ZWEITSON Where stories live. Discover now