Page 03

233 28 4
                                    

Rencananya gue ingin mulai berbaur dengan orang asing. Sekarang gue menduduki bangku kelas 11 jurusan IPS. Saat ada LDKS gue tertarik ikutan, dan akhirnya menjadi salah satu orang beruntung yang terpilih menjadi anggota OSIS sampai sekarang.

Tetapi tetap saja, gue tidak begitu ingin akrab dengan orang lain, seperti banyak bertukar pembicaraan. Sebatas kenal saja sudah cukup. Dan sepertinya memang merekanya juga menghindar dari gue. Memiliki teman sebangku juga tidak, melihat memang jumlah siswa di kelas gue ganjil.

Gue yang minta sama mereka jangan deketin gue. Terus gue juga bilang ke mereka kalau gue ini seorang pembunuh. Jadi mereka seolah takut dengan gue. Tapi tidak dengan Cellin, dia malah terus-menerus mendekati gue. Pernah memaksa juga. Untungnya gue tidak ilpil atau pun risi terhadap dia.

Gue mengambil langkah di koridor belakang, habis piket menjaga gerbang belakang karena sering ada siswa yang tidak bertanggung jawab bolos pelajaran. Saat gue melirik bangku taman, ada siswi sedang duduk sembari memangku sebuah buku. Entah kenapa gue tertarik untuk mengamati dia sebentar. Tapi sialnya gue kepergok. Dia langsung pergi dari bangku taman itu, entah karena melihat gue atau karena hal lain. Tapi, sebelumnya dia benar-benar lihat keberadaan gue juga.

Orang itu April, si cewek yang terkenal cuek dan nggak pedulian. Ini kesekian kali gue terpergok sedang mengamati dia. Pertama saat MOPD, sebelum dia pingsan lalu dibawa ke UKS kita sempat saling temu tatap. Kedua, saat sedang upacara tiga minggu lalu. Keempat, satu minggu lalu saat gue tidak sengaja mengintip kelasnya di pagi hari. Dan barusan yang terakhir. Ok, ternyata hanya lima kali. Tetapi, tidak menutup kemungkinan hari berikutnya bakalan terjadi hal yang sama atau bahkan lebih dari sekadar terpergok.

Gue melihat bekas berlalunya April. Entah kenapa dia memilih taman belakang untuk dijadikan tempat membacanya. Di sini memang tenang, tidak berisik dan tidak banyak orang yang lewat. Tempatnya juga bersih dan indah seperti taman utama. Apa dia sama seperti gue? Hobi menyendiri.

Saat memasuki kelas, gue disambut oleh Cellin yang sedang duduk di bangku sebelah gue. Gue tidak marah sama sekali. Hanya saja kesal yang sudah ada di puncak.

"Cellin, pindah. Gue kan udah bilang kalau gue lebih suka sendiri."

"Kali iniiiii aja, Zwei. Aku kan nggak paham materi matematika yang bakalan dibahas hari ini, jadi aku duduk sama kamu biar nanti bisa tanya-tanya sekalian kamu ajarin. Boleh, ya, boleh?" Cellin berdiri sembari memangku tasnya. Sudah berapa kali dia melontarkan kata 'kali ini aja'?

Sebentar, apa katanya? Tidak paham dengan materi yang akan dibahas? Ini Cellin sepertinya pusing. Dibahas saja belum ... aduh kenapa, sih. Kan memang belum dibahas, jadi belum paham. Kok dia seenaknya bilang tidak paham. Ah, gue jadi pusing sendiri.

"Kalau lo nggak paham, tanya sama gurunya langsung."

"Pak Tirta, kan, galak."

"Tanya sama temen lo aja, Dina pinter."

"Kali ini aja, Zwei." Dia mulai memelas dan gue benar-benar muak dengan kata 'kali ini aja'. Jangan sampai perasaan iba gue kambuh melihat wajah sok mengkhawatirkannya. Gue orangnya tidak tegaan. Apalagi lihat muka memohon seperti ini.

Gue menggeleng. Kalau biasanya gue memberi senyum dia untuk meninggalkan gue, sekarang lebih menyeramkan. Tidak ada senyum di wajah gue. Lalu sedikit menggeser bangku sampai bersuara. Agar Cellin takut dan tahu kalau gue sedang marah.

"Boleh?" tanya Cellin.

Ternyata dia masih berusaha merayu gue. Gue tetap tidak menjawab, lebih memilih duduk dan mengeluarkan buku catatan saja dengan kasar.

"Yes!"

Ya Tuhan, apa lagi ini? Cellin salah mengartikan, gue diam bukan berarti mau. Gue menggeserkan meja bukan untuk memberi ruang untuk dia.

Ini anak kenapa, sih? Ya Tuhan! Gue harap setelah ini Cellin tidak meminta satu bangku lagi.

Tetapi harapan gue tidak terkabulkan. Nyatanya, Cellin jadi ketagihan untuk terus satu bangku dengan gue. Sampai tiba saatnya gue kelepasan membentak dia dan buat dia menangis.

Gue bilang juga apa? Lebih tenang hidup sendiri. Kalau sudah seperti ini ribet urusannya.

"Sorry, Cell, tapi gue udah bilang beberapa kali sama lo secara terang-terangan, gue nggak suka diganggu dan lebih nyaman sendiri."

Sebut gue jahat. Setelah mengatakan itu dulu, gue meninggalkan Cellin yang menangis tanpa gue pedulikan.

***

Ini tuh sengaja dipendek-pendek. Tapi di pertengahan bisa nyampe seribu words.

Kalo aku nanya ada yang mau jawab gak? Serius nanya kamu baca Cellin, Kelin atau Selin?

8 April 2021

ZWEITSON Where stories live. Discover now