Page 09

131 18 0
                                    

Canggung banget. Gue lagi di luar kelas sebelah. Hari ini gue bakal nemuin dia. Aduh, kok jadi deg-degan gini, ya? Beberapa kali ingin balik kanan, meneruskan proposal yang ditugaskan Kaisa—ketua OSIS. Pikiran memang menyuruh gue "nanti saja". Tetapi kaki tiba-tiba berat gitu.

Memilin jari tangan ketika Yulia berdiri di depan gue. Iya, akhirnya gue memberanikan panggil Yulia, untuk minta tolong panggilin April. Tapi, katanya April sedang tidak ada di kelas, lagi makan di kantin. Iya juga sih, ini memang jam istirahat, kayaknya gue salah ambil keputusan.

“Gitu, ya, Yul. Oke, deh, nanti bilangin aja gue nyaru dia.”

“Oki doki!” sahutnya. “Eh, Soni, minggu depan dateng ke acara reuni SMP, gak?” Emang iya, ada reuni minggu depan? Berusaha tenang gue menjawab "lihat sikon" yang diangguki Yulia, sepertinya cewek itu sudah tahu gue seperti apa.

Entah kenapa debaran yang gue rasa berangsur mereda. Mungkin karena tidak jadi bertemu dengan April kali, ya? Gue menarik napas sebelum pamit kepada Yulia. Mungkin nanti sepulang sekolah gue bisa ketemu April. Benar-benar harus mematangkan niat dulu.

Tapi, nanti gue harus gimana, ya? Ajak langsung alias to the point atau basa-basi menjelaskan dulu? April kayaknya nggak suka yang bertele-tele. Atau basa-basi memperkenalkan diri dahulu, sebagai orang yang diutus pak Shandy untuk .... Ya Tuhan, kok, jadi segugup ini, sih?

Langsung masuk ke kelas aja. Tapi, saat kaki tepat di ambang pintu, gue memutuskan untuk ke tempat lain. Di bangku gue ada Cellin yang sedang asik memainkan handphone-nya. Cellin, gue harus gimana nanggapin dia? Kemarahan di diri gue jangan sampai memuai!

Pilihan gue jatuh buat ke ruang OSIS, ya ke mana lagi. Tadinya perpustakaan tempat yang cocok, tapi otak sedang menolak untuk dimasuki bacaan random. Di ruangan ini hanya ada tiga orang. Ada Kak Laras dan Kak Dita yang sedang mengotak-ngatik komputer. Sepertinya membuat poster untuk program OSIS yang baru resmi dua minggu ke belakang.

Karena gue tidak enak kalau numpang ngelamun aja, jadinya membereskan kertas-kertas yang berantakkan di atas meja nggak buruk juga. Gue rapiin biar lebih enak dilihat.

"Son, rajin banget," kata Kak Dita yang melewati gue. Mungkin aneh, ini bukan jadwal piket gue. Dan dengan senang hati malah membereskan kekacauan yang ada di sini.

"Eh, iya, Kak. Daripada buang-buang waktu buat di pakai nggak jelas," balas gue dengan senyuman.

Sebentar lagi bel masuk gue segera bergegas buat ke kelas. Gue pamitan sama Kak Laras dan Kak Dita yang kelihatannya belum menyelesaikan pekerjaannya. Tadinya gue ingin menawarkan bantuan, tapi urung karena tidak punya hak dibagian itu. Lebihnya tidak enak mengganggu fokus kak Dita.

Di koridor, gue bertemu Pak Shandy yang sepertinya akan ke kelas sebelah. Gue tahu jadwal Pak Shandy soalnya. Dia senyum ke gue, tapi bukan senyuman biasa. Seperti menyiratkan apa gitu di rautnya.

"Gimana, udah dapet April?"

Eh, loh? Dapet? Gue malah cengo. Pak Shandy menepuk pundak gue akrab, seperti kepada teman sepantaran saja.

"Maksud saya, udah bilang belum? Gimana perkembangannya?"

Aduh Pak Shandy apa-apaan, deh? Gue jadi sensitif banget kalau tiba-tiba bahas soal ini. Kenapa sampai segininya, sih? Ini gue terlalu takut sama nilai gue atau sama hal lain?

Gue berjalan beriringan dengan Pak Shandy. Lalu membantu membawakan buku-bukunya yang tebalnya melebihi 500 halaman. Sesaat rasanya ingin memberikan masukan, kalau anak milenial lebih suka cara belajar yang modern, nggak pakai buku-buku tebal seperti ini. Bisa, kan, buat slide presentasi di power point semenarik mungkin agar belajar tidak bosan? Emang, ya, beberapa oknum memang tidak mau mengerahkan waktunya untuk itu.

ZWEITSON Where stories live. Discover now