Page 07

135 20 0
                                    

Seperti biasa, gue pulang pakai kendaraan umum. Sebenarnya di rumah ada motor, ayah yang belikan itu saat gue kelas 9. Sudah gue bilang, ayah itu tidak jahat. Pulang naik bus sampai halte dekat gerbang komplek. Untuk sampai ke rumah, gue harus berjalan sekitar 200 meter-an.

Di perjalanan menuju rumah tidak terlalu sepi, terkadang berpapasan dengan tetangga dan akhirnya bertegur sapa atau sekadar saling senyum sopan. Meskipun ini perumahan elit, orang-orang di sini baik dan ramah.

Sore ini katanya ada langganan ibu yang datang untuk belajar bikin kue lapis. Namanya tante Farida. Orangnya baik banget sama ibu, sama gue juga. Setiap tante Farida mengadakan acara di rumahnya, pasti dia pesan kuenya di ibu. Baru enam bulanan, sih. Sedangkan ibu buka usaha ini baru tiga tahunan.

Hari ini gue dikejutkan juga sama satu hal. Ternyata tante Farida itu orang tuanya kak Fajri. Iya, kak Fajri kakak tingkat gue di sekolah, sahabatnya April. Selama ini gue baru tahu. Soalnya tante Farida suka datang sendiri kalau ke sini. Baru kali ini diantar orang.

Ah, waktu itu pernah datang sama kak Fauzan. Gue tahu kak Fauzan alumni SMA Kencana dan pernah dengar juga kalau dia kakak kandungnya kak Fajri. Kenapa gue tidak ingat sama sekali, ya? Ternyata memang benar kata orang yang mengikrarkan dunia tak selebar daun kelor.

Baru ingat juga, waktu itu tante Farida pernah cerita sama gue kalau anak bungsunya juga sekolah di tempat yang sama dengan gue. Tapi hanya bicara itu saja. Tidak menyebutkan namanya siapa.

Gue salim sama Ibu, sama tante Farida juga. Ternyata kak Fajri cuek juga, ya, orangnya. Gue lihat dia main handphone terus, mungkin main game online. Lalu saat Ibu menyuruh gue bersalaman dengan kak Fajri, dia tidak melirik sedikit pun muka gue.

Setelah itu gue langsung ke kamar, tidak lupa berpamitan dulu.

"Aji, Bunda nggak ngajarin kamu kayak gitu, loh."

"Iya, Bunda, maaf barusan tanggung banget. Kalau lengah sedikit aja Aji bisa kalah."

Gue menguping pembicaraan mereka dibalik tembok ruang tengah. Terdengar tante Farida menegur kak Fajri. Ya, mungkin karena sikapnya tidak sopan.

Kali ini magnet kasur tarikannya lebih besar. Tiba-tiba ngantuk lihat guling sama bantal. Setelah menyimpan tas di meja belajar, langsung mengambrukkan diri tanpa mengganti seragam sekolah. Berharap saat membuka mata nanti, salah satu beban yang menggelayut berkurang.

***

Malam ini ternyata Ayah pulang. Hanya satu hari saja di sana? Tadi gue sempat mengucapkan makasih secara langsung ke Ayah soal hadiahnya kemarin. Ya, karena chatt dari gue tidak kunjung dibalas, dibaca juga tidak.

"Ayah kemarin ke Salatiga bukan dinas, tapi nemuin Zweissy."

Gue menghentikan aktivitas mengunyah. Sendok dan garpu refleks terjatuh menimbulkan bunyi beradu dengan piring. Pandangan gue terjatuh tepat di wajah Ayah. Dengan gusar, gue berusaha menelan nasi yang ada di mulut dibantu dorongan air.

Jantung gue mulai deg-degan tidak karuan. Ini kali pertamanya setelah sekian lama Ayah tidak membahas lagi tentang kembaran gue itu, Zweissy Setyandina.

Ibu juga sama seperti gue, langsung menatap Ayah seperti meminta penjelasan.

Ruangan makan seketika di selimuti keheningan di antara kami bertiga. Ada penghalang di tenggorokan sehingga menyulitkan untuk sekadar menuntut untuk diberikan penjelasan.

Perasaan yang tiba-tiba hinggap ... entah apa, tapi benar-benar menyesakkan.

"Ayah, kok, nggak bilang kalau mau nemuin Zweissy?" tanya gue dengan berani.

Ayah tidak menjawab apa pun. Kami masih saling menatap. Penglihatan mulai mengabur terhalang genang air di mata. Jadinya, gue tidak dapat melihat ekpei Ayah saat ini.

"Ayah?" Pria berkacamata itu malah bangkit dari kursi dan menyudahi acara makan malamnya. Ketika Ayah akan berlalu untuk ke ruangan kerja, gue menahannya dengan sebuah ucapan.

"Ayah kenapa, sih, segitunya sama Zweitson? Zwei tahu kalau Zwei salah. Tapi, apa Ayah nggak ada perasaan iba sedikit pun sama Zwei? Yah, Zwei juga anak Ayah. Zwei pengen kita kayak dulu lagi. Zwei nggak mau Ayah terus-terusan bersikap gini. Seolah nggak peduli dan cuek sama Zwei, sama Ibu juga." Bukan ucapan, ini kalimat.

Entah ada apa dengan diri gue dapat mengeluarkan ucapan seperti itu dengan beraninya. Ibu mengusap tangan gue untuk menenangkan. Ayah berhenti, membelakangi gue sama Ibu.

Gue berdiri. "Oke, Ayah boleh benci sama Zwei. Ayah boleh cuekin Zwei sampai kapan pun. Tapi Zwei mohon, Ayah jangan benci sama Ibu juga. Kasihan Ibu, Yah. Ibu istri Ayah, nggak seharusnya Ayah giniin Ibu. Mana yang dulu bilang dengan lantang nggak akan bikin Ibu kecewa, mana, Yah?!"

Bibir gue bergetar, genang itu sudah berhasil lolos membuat aliran sugai di pipi. Dan Ibu mulai mengeratkan genggamannya di tangan gue.

"Rasa sayang itu nggak bisa dipaksain. Jadi Zwei nggak bisa maksa Ayah buat bisa sayang sama Zwei."

"Sayang, udah!"

Ayah pergi melenggang ke ruangan lain, yang tidak salah pasti ruangan kerja. Ibu memeluk tubuh lemah gue dan gue menangis di pelukan Ibu.

"Ibu nggak boleh nangis. Cuma Zwei yang boleh nangis karena ini," ujar gue sembari terisak, karena Ibu ikutan menangis juga.

Tidak habis pikir dengan ayah. Berlalu begitu saja tanpa meninggalkan seucap kata.

_____

Happy youn1t's day!

Penasaran sama Zweissy gak? Atau udah tahu? Xoxo!

5 Juni 2021

ZWEITSON Where stories live. Discover now