Jangan Pernah Lupakan Aku

1.3K 199 38
                                    

Kamis sore tepat pukul 16.00 waktu setempat.

London, 6 tahun yang lalu...

Sasuke: *menatap kosong pada satu titik* "Bagaimana caranya agar bertahan hidup?"

Psikiater: "Ini kemampuan dasar manusia, secara otomatis kita akan memilikinya tanpa perlu berpikir rumit tentang itu."

Sasuke: "Tapi aku memiliki gagasan selama bertahun-tahun bahwa aku tidak berhak. Aku ingin mati, tapi aku juga ingin bahagia."

Psikiater: *terdiam beberapa saat, mencatat beberapa hal di papan dada* "Seperti tubuhmu yang terluka setelah kejadian bulan lalu, luka-lukamu sembuh dan tubuhmu membangun jaringan secara otomatis. Itu tandanya tubuhmu ingin bertahan hidup. Mereka ingin kamu hidup."

Sasuke: *terdiam, melirik bekas luka di pergelangan tangan kiri* "Semakin sering aku menjalani perawatan, luka dalam diriku memudar dan menghilang. Tapi hatiku yang sakit semakin membuatku larut dalam depresi. Ini bukan berarti aku mengurung diri seperti masa lalu, ini bukan lagi berjam-jam penderitaan sendirian dalam kegelapan seperti di masa kecil. Tapi aku merasa sangat tertekan sampai ke ujung spektrum yang ekstrem. Aku merasa gagal dan kesepian. Aku...hanya ingin menghilang"

Psikiater: *tertegun*

Sasuke: "Tapi...aku juga ingin bertahan hidup, aku ingin bahagia dan merasa pantas untuk itu."

Psikiater: *menurunkan papan dada dalam pangkuan* "Sasuke, coba berfokus pada perasaanmu sendiri tanpa membandingkan emosi gelap dalam diri atau melarikan diri dari emosi tersebut. Seperti halnya menikmati kegembiraan, kamu akan merawat diri dengan melihat ke dalam kegelapan diri dan berbincang dengan diri sendiri."

Sasuke: *terdiam*

Psikiater: "Bagaimanapun kamu pribadi yang luar biasa, lebih dari pantas untuk hidup dan bahagia."

Alarm berdering pelan dan proses konsultasi berakhir. Psikiater tersenyum dan meninggalkan ruangan usai berpamitan pada Sasuke yang masih terbaring di kursi, pria muda itu tidak menjawab hanya memalingkan wajah menatap jauh ke jalanan dari balik jendela lantai 5.

Di luar ruangan Uchiha Itachi menunggu, si Psikiater menghampiri dengan tersenyum.

"Mr. Uchiha, ada baiknya Anda membawa adik Anda kembali ke negara asal kalian. Mari mencoba metode ini, dengan memaksa Sasuke untuk berdamai dengan diri sendiri dan secara bertahap menghadapi semua sumber masalah dan traumanya. Inilah yang dapat saya sarankan." ujar si Psikiater dengan tenang.

Itachi hanya mengangguk menanggapi. Saat si Psikiater pergi, Itachi memandang Sasuke yang masih terdiam di atas kursi dengan memandang ke luar jendela. Mata Itachi berkaca-kaca, menahan hatinya yang hancur.

Di pandangnya Sasuke dari ambang pintu, adiknya nyaris mati untuk kesekian kali. Itachi pikir pria muda itu sudah sembuh dari depresinya dan dia memutuskan melepaskan Sasuke untuk mengambil kuliah masternya di Amerika. Tidak dia sadari bahwa mimpi buruk itu belum lepas sepenuhnya.

Uchiha Sasuke, adik laki-lakinya yang berbaring seperti cangkang kosong dalam ruangan itu, adik laki-lakinya yang mendapatkan summa cumlaude dari Wharton kemudian melenggang dengan mudah ke Harvard. Adik laki-lakinya yang banyak dipuji orang sebagai jenius dengan masa depan menjanjikan. Adik laki-lakinya yang sangat tampan dan menakjubkan itu. Bagaimana bisa seseorang tampak begitu sempurna namun hancur sekaligus.

"Sasuke..."

.

.

.

The Greener GrassWhere stories live. Discover now